BAB 7: Sebuah Alasan

24 8 3
                                    

BAB VII: Sebuah Alasan

Calandra masih menatap kosong hamparan rumput di kaki bukit El Dorado. Matanya kian sayu melihat ilalang yang menari-nari diterpa angin. Bukan sekali dua kali bibir mungil Calandra mendesah cukup kasar.

Gaun pastel berenda Saffron di tubuhnya tampak mulai ikut tersibak karena kencangnya angin yang menerpa. Calandra sendiri tampak enggan bangkit dari posisinya. Gadis itu masih duduk dengan memeluk kaki sambil sesekali melihat langit yang tampak semakin gelap. Mungkin akan segera turun hujan.

'Selalu ada alasan?' Calandra tersenyum kecut, alasan untuk dirinya terlalu terkesan menyakitkan. Ayahnya memberi harapan begitu indah dengan ajakan makan malam namun dalam beberapa detik ayahnya mampu membuat Calandra menjadi gadis paling menyedihkan dalam menjalani hidupnya. Calandra menyadari pikirannya terlalu naif namun ia masih tidak bisa mengendalikan pikirannya sendiri jika sudah menyangkut ayahnya.

"Kesempatan terakhir itu, kau gunakan kesempatan terakhir itu untuk menyakitiku lebih dalam lagi. Kau bukan bagian dari daftar kecilku lagi ayah, kau tidak akan pernah lagi menjadi alasanku untuk bertahan hidup. Mungkin jika memiliki kesempatan untuk membunuhmu, meski hanya dalam mimpi penuh ilusi, aku akan melakukanya. Aku harap aku memiliki kesempatan itu, aku sangat berharap bisa membunuhmu" Calandra tertawa miris, menertawakan dirinya sendiri dengan begitu menyedihkan.

"Kau tau apa alasan kakakku ikut dalam permainan?" Calandra bertanya sambil menatap langit. Suara langkah kaki mendekat akhirnya terdengar, Sthepan yang Calandra sadari sudah mengikutinya cukup lama akhirnya menampakan dirinya.

"Dia ingin memenangkan permainan" Calandra menoleh pada Sthepan yang sudah duduk di sampingnya. Hari ini laki-laki itu berpakaian layaknya seorang bangsawan dengan pakaian hitam berpadu warna Charcoal lengkap dengan topi hitam tinggi dan sarung tangan putih bersih yang sama dengan warna celana yang dikenakan pria itu.

Benar-benar tampilan seorang bangsawan. "Sekarang kau berubah dari pedagang menjadi bangsawan?" Sthepan terkekeh kecil dan mengeluarkan jam  saku dengan pola lingkaran bintang yang sama dengan buku harian miliknya.

Calandra memperhatikan membuat Sthepan menyodorkan jam saku itu padanya. "Bagaimana bisa polanya sama?" Sthepan seenaknya mengambil buku Calandra dari pangkuan gadis itu. "Karena buku ini juga berasal dari Newland".

Calandra memperhatikan Sthepan yang tampak tidak berbohong dengan perkataannya. "Nenekku menulis sebelum dia memasuki Newland, bagaimana mungkin dia mendapatkan dari tempat itu. Apa ada seseorang yang memberikan buku ini pada Nenekku?". Calandra menatap Sthepan, menantikan jawaban pria itu.

"Tidak ada yang memberikannya, baik di negeri ini ataupun di Newland, tidak ada yang gratis" Calandra tampak menyimak tanpa memaki Sthepan seperti biasanya, "Nenekku membelinya, dari seseorang yang pernah memasuki Newland. Aku yakin". Sthepan terkekeh pelan ingin mendengarkan lebih banyak.

"Kalau begitu siapa yang mendatangi dan keluar dari Newland dengan bebas?". Mendapati pertanyaan dari Sthepan, Calandra tampak berpikir sesaat dan menemukan jawaban paling masuk akal menurut dirinya.

"Pengunjung? Permainan merupakan tontonan. Newland membebaskan pengunjung yang ingin memasuki Newland untuk menikmati festival dan permainan yang disiapkan Newland bukan? Tentu harganya tidak akan murah dan uang itu akan menjadi sumber pemasukan Newland. Karena itulah permainan selalu diadakan setiap tahunya, bukankah begitu?" Sthepan tanpa sadar membuka mulutnya karena cukup kagum dengan jawaban Calandra.

"Wah kau benar-benar cocok bekerja sebagai Wakil penguasa Newland, hal itu harus nya tidak bisa terpikirkan oleh orang awam seperti dirimu". Calandra hanya tersenyum kecil menanggapi ucapan Sthepan.

The Newland: Kisah Tanah SihirWhere stories live. Discover now