BAB 1: Mathewson

291 28 5
                                    

BAB I: Mathewson

Tik
Tok
Tik

Suara jam terus terdengar ditempat ini. Tempat tinggalku, ah tidak tapi tempat aku terpenjara. Sebuah tempat yang akan membuatmu mengatakan bahwa penjara jauh lebih baik ketimbang tempat ini.

Aku Calandra Mathewson, putri kedua dari Alexander Mathewson, seorang Perdana Menteri dari Raja Arthur. Aku tinggal di Camelot, ibu kota yang terlihat begitu makmur dan damai.

Orang-orang yang tinggal di sini, dikenal ramah dan pekerja keras. Mereka seorang pencari emas yang bisa dibilang selalu beruntung. Karenanya di Camelot perkakas makan ataupun dapur terbuat dari emas karena berlimpahnya emas ditempat ini.

Lahan di tempat ini sangat subur dan kekayaannya juga semakin berlimpah setelah menghubungkan Kepulauan Scilly dengan Western Cornwall. Orang-orang Silures yang tinggal di sini juga dikenal karena devoutness—karenanya lebih dari seratus empat puluh gereja berada di wilayah Camelot ini.

Salah satu gereja adalah penjaraku. Bukan karena aku tidak beriman, bukan juga karena aku penuh dosa. Aku berada di tempat ini karena hanya tempat ini yang mampu menyibukkan dan menahan diriku.

Langkah sepatu yang begitu menggema dalam ruangan membuatku seketika sadar dari siapa langkah kaki itu berasal.

Aroma minyak citrus, bergamot dan kacang tonka yang menyatu menjadi ciri khas dari pria dengan jubah sekelam dan sedingin malam itu.

Begitu terlihat gagah dan berwibawa saat dia memadukan jubah kelamnya dengan sarung tangan berwarna kenari dan tongkat pendek dari emas dengan beberapa bebatuan indah seperti Chrysocolla, Strengite, Rhodochrosite, Fluorite, dan Scolecite menempel menambah nilai keindahan yang jelas selalu dibawa sang Perdana Menteri kemana-mana.

Namun, seindah dan serapih apapun ia membungkus dirinya. Dimata Calandra ayahnya tidak akan lebih dari monster berbalut sutra.

Di matanya sang ayah tidak lebih dari seorang pembunuh yang haus akan kekuasaan.
Selamanya tidak akan berubah.

"Jangan mempermalukanku, tetaplah menjadi gadis gila dari gereja" mata itu adalah mata yang selalu Calandra benci namun juga dirinya rindukan. Calandra harus semakin melakukan banyak hal gila agar mata itu tertuju ke arahnya. Calandra harus semakin merendah agar mulut itu berbicara padanya.

Entah harus melakukan apa agar kepedulian sang Perdana Menteri kembali padanya. Mungkin harganya akan lebih mahal dari kematian ibunda dan menghilangnya sang kakak. Terlalu mahal sampai Calandra tahu kembali ke masa-masa paling dirindukannya adalah suatu kemustahilan.

    Ketidakpedulian sang ayah terhadap dirinya sendiri dan sang kakak membuat Calandra semakin yakin bahwa mungkin memang hal itu dikarenakan dirinya sendiri yang tidak bisa menyenangkan ayahnya. Menyalahkan diri sendiri sudah Calandra lakukan namun ia masih tidak bisa menemukan dimana letak kesalahannya.

Dibandingkan siapapun justru Calandra merasa bahwa dirinya sendirilah yang paling berhak untuk marah, atas semua perilaku dan tindak-tanduk sang ayah yang membuatnya kehilangan sosok ibu dan kakaknya.

Calandra dibuat sendirian sedemikian rupa. Pedih dan sesak di dadanya semakin menjadi namun ia tidak pernah bisa membenci ayahnya lebih jauh dari kebenciannya saat ini. Kenangan manis meski tidak sebanyak kenangan pahit yang diberikan sang ayah masih tertera jelas, terukir dalam benaknya.

Bagaimanapun ia pernah merasa begitu bahagia hidup di dunia ini. Bagaimanapun Calandra pernah merasa beruntung ada dalam keluarga ini.

Entah hanya karena sekedar keserakahan semata atau apa Calandra belum bisa memastikan ayahnya terjebak dalam hal apa sampai membuangnya seperti ini.

The Newland: Kisah Tanah SihirWhere stories live. Discover now