Momen 37 - Kabar Mencengangkan

Mulai dari awal
                                    

Sekarang, Adi berdiri. Dia mendekat ke arah Kelana dengan wajah teduh. Tangannya terbuka lebar dibarengi dengan anggukkan.

Kelana jelas tidak bergerak. Dia melihat suatu aktivitas yang terlihat janggal. Namun entah kenapa, kakinya seolah memberikan dorongan kuat untuk maju, hingga badan Kelana benar-benar mendekat dan berhasil terbenam di pelukan Adi.

"Lana, saya nggak pernah punya niat jahat sama kamu. Saya hanya ingin talent saya berkembang. Itu saja," ucap Adi. "Satu lagi. Kamu sudah saya anggap seperti anak sendiri."

Kelana memejamkan mata dalam rengkuhan. Badan Adi seolah menyebarkan kekuatan yang membuat Kelana merasa tenang dan damai, hingga Kelana tidak bisa berkutik. Dia seperti tengah tidur di kasur paling empuk dan dililit oleh selimut paling lembut yang pernah ada.

"Makasih, Pak," ucap Kelana pada akhirnya.

***

Kelana sudah mendaftarkan jadwal operasi mamanya yang akan dilakukan dalam minggu-minggu ini. Biayanya 234 Juta. Soal sewa toko juga sudah dilunasi untuk satu tahun ke depan. Tidak sebesar biaya operasi, tetapi sama-sama besar di mata Kelana. 78 Juta. Dan ya, sewa toko itu sudah lama turun sejak pandemi. Pengurus kios sepakat untuk menurutkan harga sewa agar tetap terjangkau oleh penyewa. Itu jadi keuntungan tersendiri bagi Kelana karena tidak harus membayar ratusan juta seperti tahun-tahun sebelumnya.

Dua masalah selesai.

Kini, masalah beralih kepada Ken. Kemarin, Adi menelepon Kelana terus-menerus. Apa Ken sama kamu? Tanya Adi dengan nada khawatir. Tentu saja Kelana terbengong mendengar pertanyaan itu. Masalahnya, pertanyaan itu terlontar lantaran Ken tiba-tiba menghilang dari rumah. Saat Kelana berusaha menghubungi Ken pun, nomornya tidak aktif.

Di situasi seperti ini, masalah Ken seolah berubah menjadi masalah Kelana. Menghilangnya Ken menjadi salah satu sumber stres Kelana semalaman. Dia berusaha memikirkan kemungkinan tentang keberadaan Ken. Adi bilang, Ken selalu meminta izin jika ada jadwal. Namun kemarin, Ken pergi begitu saja dari rumah. Dia bahkan tidak masuk sekolah.

Masalah itu pula yang mengantarkan Kelana ke lapangan basket sekarang. Kelana mematung cukup lama di luar garis lapangan. Sesekali, dia mengetuk-ngetukkan ujung sepatu dengan lantai beton lapangan.

"Psttt!" Kelana berusaha mencuri perhatian Bian.

Bian masih fokus mengobrol dengan anggota ekskul basket yang lain.

"Bi, Kelana tuh!" ucap Baron.

"Alah. Dia ke sini bukan buat gue," jawabnya cuek.

Setelah berbicara begitu, Bian melanjutkan obrolan tentang berbagai strategi basket kepada teman-temannya.

Mendapati sikap Bian yang cuek, Kelana memberenggut. Mau tidak mau, akhirnya Kelana berteriak. "Bian!"

"Tuh, kan. Dia mau ketemu sama elo!" Arya yang bersuara.

Bian yang awalnya tidak melihat sedikit pun ke arah Kelana, akhirnya membelokkan badan, tepat ke arah cewek itu. Dalam jarak tujuh meter dari posisi, Kelana bisa melihat tatapan tidak peduli seorang Bian.

"Mau apa?" tanya Bian dengan nada cuek.

"Gue mau ngobrol," jawab Kelana. "Bisa ke sini bentar?"

Bian menjauhi anak-anak basket yang sedang berkumpul, lantas mendekat ke arah Kelana. "Apa?"

"Lo tahu Ken di mana?" tanya Kelana.

Pertanyaan itu disambut dengan curengan ujung bibir kanan. "Gue nggak salah denger? Lo nanya soal Ken ke gue?"

"Kalian kan latihan bareng. Wajar gue nanya sama lo. Lo lupa kalo lo kapten basket?"

Bian memejamkan mata cukup lama. "Pertama, gue nggak pernah punya urusan sama Ken. Sejak awal dia gabung sama tim basket, gue nggak pernah nganggep dia ada. Dia cuman ditunjuk Pak Reza buat ada di sini. Kedua, gue udah mutusin buat nggak ngurusin lo lagi. Jadi menurut gue, nggak ada hak lo datengin gue!"

Kelana menggigit bibir. Dalam pandangan Kelana, Bian yang ada di depannya bukan Bian yang Kelana kenal sebelumnya. Bian yang humoris. Bian yang narsis. Bian yang tengil. Semuanya tidak tampak saat ini.

"Clear kan?" tanya Bian. "Gue masih ada latihan."

"Bi." Kelana menahan tangan Bian. "Kedua sahabat gue udah pergi. Mereka nggak mau temenan lagi sama gue. Sekarang, elo mau kayak mereka?"

"Nggak kebalik?" Bian melepas paksa genggaman tangan Kelana. "Bukannya elo yang pergi?"

"Gue nggak pernah pergi. Gue masih di sini, Bi."

"Oya?" Bian terkekeh. "Inget ya, Lan. Sikap gue yang sekarang itu akibat dari apa yang lo lakuin. Bukannya ini yang lo pengen dari dulu? Lo pengin gue nggak ngejar-ngejar lo lagi, kan? Gue udah ngelakuin apa yang lo mau!"

Pandangan Kelana mengabur mendengar ucapan Bian yang penuh penekanan. Sekuat tenaga, Kelana berusaha menahan supaya air matanya tidak jatuh.

Sekarang, Bian maju satu langkah, lantas dia mendekat mulut ke telinga Kelana. "Kisah kita udah beres sejak di apartemen malam itu," bisiknya pelan. "Ngomong-ngomong, selamat ya. Selain dapet Ken, lo juga berhasil ngembat bapaknya. Dikasih mobil lagi."

Jika pada awalnya Kelana berusaha menahan tangis. Maka detik ini tidak lagi. Air mata itu seolah didorong keras dari dalam hingga tak terbendung. "Maksud lo apaan, Bi?"

"Nggak usah pura-pura bloon, Lan!" Bian menatap Kelana. "Lo main belakang kan sama bos lo? Lo jadi simpenan kan?"

Plak!

Tamparan itu kontan membuat belasan anggota basket menengok ke arah Kelana. Mereka yang sedang fokus latihan tiba-tiba menjadi penonton dadakan. Sementara, wajah Bian terhempas ke sebelah kanan. Tindakan itu membuat Bian beku dengan tangan mengusap pipi.

"Gue nggak nyangka lo bisa ngomong kayak gitu, Bi." Kelana berusaha mengatur napas di sela isak tangis. "Gue nggak nyangka. Orang yang sering jadi tumpuan gue malah mendorong gue ke jurang yang dalam."

Kelana mundur dengan tatapan sayu. Dia sedang berusaha mencari Bian yang dulu. Namun setelah beberapa detik mengamati, Bian yang dulu seolah telah pergi jauh. Kelana bisa melihat dari tatapan penuh emosi dari lelaki itu.

"Gue emang butuh duit, tapi gue nggak semurah yang lo kira!"

Ucapan itu menjadi penanda berakhirnya percakapan. Bersama tangisan, Kelana pergi meninggalkan Bian.

***

Glow Up Moment (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang