[13]

230 46 0
                                    


Ajakan jalan dari Rafdi beberapa hari lalu sangat tak bisa diterima oleh akal Adis. Ia benar-benar tak mengerti mengapa diantara sekian banyak hal yang bisa Adis berikan atau lakukan untuk Rafdi, harus hal itu yang keluar dari mulut Rafdi. Dan sialnya, Rafdi tak memberinya pilihan menolak. Oleh karena itu, hari Minggu ini ketika Adis baru saja selesai bekerja, ia ditelpon Rafdi dan diminta untuk menunggu karena lelaki itu akan menjemput Adis di rumah orang yang bekerja dengan Adis dari pagi tadi.

Selama menunggu jemputan Rafdi, Adis gelisah. Ia tak siap bertemu dengan lelaki itu. Sayangnya, beberapa menit kemudian, Rafdi datang sambil tersenyum cerah padanya.

"Yuk, masuk." Ajaknya.

Dengan terpaksa, Adis pun membuka pintu mobil dan duduk di sebelah Rafdi.

"Udah makan?" Tanya Rafdi langsung.

Adis menggeleng.

"Ya udah kita makan dulu, ya." Ucap Rafdi santai.

Sebelum lelaki itu mulai menyalakan mobilnya, Adis langsung menahannya. "Bentar, Kak."

"Kenapa?" Tanya Rafdi.

"Alasan Kak Rafdi ngajak saya keluar apa?" Tanya Adis to the point. Ia tak bisa berdiam dengan pikiran yang penuh di otaknya. Adis harus tahu alasan mengapa lelaki itu mengajaknya keluar.

"Hiburan aja." Jawab Rafdi santai.

Adis mengernyit, "Maksudnya?"

Rafdi menghembuskan napasnya pendek, "Akhir-akhir ini saya banyak kerjaan. Saya ngerjain thesis, kerjaan di Lab, di sekolah, di Biro lagi banyak-banyaknya. Kebetulan hari ini saya bisa ngeluangin waktu untuk refreshing. Ya udah, saya manfaatkan waktu itu, sebelum besok Senin dan saya kembali ke kerjaan." Jelasnya.

Adis mengangguk. Ia mengerti alasan itu. Namun, diantara sekian banyak orang yang bisa Rafdi ajak, kenapa harus Adis?

"Terus kenapa Kak Rafdi ngajak saya?" Tanya Adis lagi. Ia menatap lelaki di sampingnya dengan serius. Berharap Rafdi mengerti bahwa ajakan Rafdi tidak sepele baginya.

"Kamu nggak mau?" Rafdi balik bertanya.

"Ng.. nggak gitu juga. Saya mau, kok." Jawab Adis kikuk.

"Terus?" Rafdi menatapnya bingung.

"Kenapa saya? Memang.. Kak Rafdi nggak ada teman lagi?" Adis bertanya pelan, takut menyinggung Rafdi. Namun, lelaki itu malah tertawa kecil seolah pertanyaannya adalah hiburan baginya.

"Saya cuman pingin ngajak kamu aja." Balas Rafdi seadanya.

Namun, jawaban itu tak cukup puas untuk Adis. Ia masih bertanya-tanya, mengapa harus dia? Ia tak dekat dengan Rafdi meskipun akhir-akhir ini mereka sering bertemu, bahkan lelaki itu mulai tahu kisah hidupnya yang menyedihkan. Tapi tetap saja, menurutnya, itu tak cukup menjadi alasan Rafdi mengajaknya keluar hari ini. Sayangnya, Adis hanya bisa pasrah dan mengikuti kemana pun Rafdi mau.

"Mau makan apa?" Tanya Rafdi sambil mulai menjalankan mobilnya.

"Apa aja, terserah." Jawab Adis singkat.

Rafdi menoleh sejenak. "Saya kira kamu bukan tipe cewek yang ditanya makan jawabnya gitu."

Adis mengernyit, tak paham. "Saya bisa makan apa aja kok, Kak."

"Kalau sekarang makan ramen mau?"

Adis mengangguk, "Boleh."

"Bener? Biasanya kalau cowok ngasih pilihan makan, cewek nggak terima. Padahal ceweknya bilang terserah. Aneh, kan?"

Adis ikut mengangguk masih dengan mengernyit. Tapi, ia bukan perempuan seperti yang Rafdi katakan. Selama dua puluh tiga tahun ini ia hidup, ia sangat jarang memiliki kesempatan untuk bisa makan apapun yang ia mau. Selama ini, Ibunya memasak makanan yang memang sesuai dengan kondisi keuangan mereka. Ketika Adis di kampus pun ia cenderung memilih membeli makanan yang sesuai dengan isi dompetnya, meskipun ia punya keinginan untuk makanan lain. Tapi Adis tak pernah mengeluh. Memiliki keinginan selalu menjadi musuhnya. Cukup keinginannya untuk berkuliah saja yang membuatnya menderita.

Flawsome | Seri Self Healing✅️Onde as histórias ganham vida. Descobre agora