[1]

703 84 0
                                    

Ada banyak hal yang Adisa takutkan. Dan diantara banyaknya ketakutan yang ia punya, ketakutan saat orang lain mulai mengenal sisi terdalam darinya adalah hal yang sangat ia takutkan. Dan sekarang, perasaan takut itu sedang ia rasakan. Apalagi Rafdi, lelaki yang sedang berdiri di depan kelas itu tampak menatap matanya sekilas.

"Saya nggak akan menyebutkan siapa namanya, tapi saya tahu orangnya ada di kelas ini." Radfi berkata dengan tegas. Ia menyilangkan kedua tangannya di atas perut, dan dengan santai menatap ke seluruh mahasiswa yang ada di kelas.

"Apa ada yang mau mengakui kesalahannya sekarang? Mengakui kesalahan kalau Anda sudah melakukan tindak kecurangan dan juga melanggar kode etik."

Seisi kelas tampak hening. Beberapa diantaranya gelisah, berharap pelaku yang sebenarnya mengaku dan Rafdi berhenti membuat kelas terasa mencekam.

"Pelakunya nggak berani ngaku?" tuntut Rafdi sekali lagi.

Tanpa sadar, Adis meremas tangannya dengan kuat. Keringat dingin membanjiri keningnya tapi ia tetap diam, meskipun ia sangat tahu siapa yang dimaksud Rafdi.

"Oke, saya tanya sekali lagi. Nggak ada yang mau mengakui? Saya nggak akan memarahi Anda, saya hanya ingin tahu alasan kenapa Anda harus menjadi joki di tugas laporan ini. Kita bukan hanya sekadar membuat makalah biasa, tapi ini laporan psikologi yang sifatnya bahkan rahasia. Dan nggak sepatutnya kalian sebagai mahasiswa psikologi yang dituntut melakukan kode etik malah melakukan hal memalukan seperti ini."

Rafdi menatap seluruh mahasiswa dan tatapannya berhenti sejenak saat menatap Adis. Adis yang menyadari itu langsung menunduk. Rafdi jelas tahu siapa pelakunya.

"Oke, saya mengerti kalau Anda berat untuk mengakuinya di sini, dan saya masih akan memberi kesempatan untuk Anda jujur. Silahkan temui saya di lab." Setelah mengatakan itu, Rafdi mengambil laptop dan bukunya lalu pergi meninggalkan kelas membuat kelas yang asalnya hening langsung berisik.

"Gila, siapa sih yang berani-beraninya ngejoki laporan?" seru Dina langsung yang diangguki oleh beberapa orang.

"Gue juga aneh, berani banget."

"Kasus ini pasti bikin Kak Rafdi jadi sensi ke kelas kita deh."

"Iyalah, apalagi Kak Rafdi paling nggak suka sama yang namanya curang."

"Yang nyewa jokinya dari kelas sebelah, ya?"

"Iya, katanya mah sih si Edo."

"Nggak aneh sih kalau si Edo ngejoki. Orang kayak dia yang masuk kampus karena jalur orang dalam mah pasti bisa saja ngelakuin ini."

"Iya, bener."

Selama teman-temannya membicarakan topik yang sedang hangat ini, Adis mencoba menyibukkan diri dengan buku di tangannya, sambil berharap ia bisa mengontrol perasaan cemas yang terus-terusan menghantuinya sejak tadi. Tanpa menyebutkan namanya, Adis tahu teman-temannya sedang menghakiminya habis-habisan, membuat kepala Adis mendadak pening mendengarnya.

Ini nggak benar, serunya dalam hati lalu tanpa aba-aba, Adis bangkit dari duduknya membuat Irma yang sedang duduk di sebelahnya menatapnya heran.

"Mau kemana, Dis?" tanyanya saat melihat Adis yang membereskan barang-barangnya dengan tergesa-gesa.

"Aku baru inget harus ke Bang Eki, Ma." Balasnya bohong.

"Ngapain? Bukannya kamu sudah nggak jadi jurnalis di TV Kampus, ya?"

"Cuman mau bantu-bantu jurnalis baru saja, kok. Sudah ya, aku duluan." Adis pun beranjak keluar kelas. Setelah sebelumnya memastikan tidak ada yang memperhatikannya, kakinya melangkah ke arah tangga menuju lantai tiga. Ia harus bertemu Rafdi.

Flawsome | Seri Self Healing✅️Where stories live. Discover now