[5]

381 60 5
                                    

"Kamu tenang aja mereka nggak akan balik lagi." Rafdi menghampirinya setelah sebelumnya berdiskusi dengan dua orang lelaki itu yang sekarang sudah pergi.

Sejak Adis selesai menelpon kakaknya, ia hanya berkata pada dua orang lelaki itu bahwa ibunya akan pulang besok. Setelah itu ia lebih banyak diam, membiarkan Rafdi yang bernegosiasi dengan dua lelaki itu. Adis hanya sedang merasa sedih. Ia tak hanya sedih karena ternyata keluarganya terlilit hutang, ia juga sedih karena keluarganya memilih meninggalkannya tanpa penjelasan terlebih dahulu.

"Makasih banyak Kak, udah bantu ngomong sama bapak-bapak tadi." Sungguh, Adis sangat terbantu dengan kehadiran lelaki itu.

"Iya. Tapi Kakak kamu pulang besok, kan?"

Adis menggeleng, "Saya nggak tahu. Mbak saya cuman suruh bilang mereka besok pulang."

"Ya udah nggak apa-apa, kita pikirin besok lagi aja. Sekarang kamu masuk gih, udah malam."

Rafdi mengernyit ketika Adis masih diam di tempat.

"Kenapa? Masuk. Saya juga mau pulang."

"Kakak pulang aja."

Kening Rafdi masih mengernyit, "Sampai kamu masuk rumah, baru saya pulang."

Adis mengibaskan tangannya, "Nggak usah, Kak. Kakak pulang aja sekarang."

"Ada apa?" Tanya Rafdi langsung. "Kamu nggak berani di rumah sendiri?"

"Bukan gitu." Adis menghela napasnya kasar. Ia tak ingin berkata jujur, namun saat ini Adis tak tahu harus menjawab apa akan pertanyaan lelaki di depannya. "Rumah saya digadai, saya nggak bisa pulang ke rumah."

Rafdi terdiam sejenak, sebelum tanpa sadar ia menghela napasnya. Dalam hati ikut prihatin dengan kondisi gadis di depannya.

"Kalau gitu.. kamu pulang kemana?"

"Eung.. kayaknya saya mau nginep di tetangga atau teman. Tapi.." Adis melirik jam tangannya yang sekarang sudah menunjukkan pukul sebelas malam lebih. Apa ada orang yang mau menampungnya di jam seperti ini? Ia bahkan merasa sungkan untuk meminta tolong.

"Kayaknya saya mau diem di supermarket depan aja, Kak." Dengan berat hati, akhirnya Adis memutuskan hal itu. Ia tak mau merepotkan orang lain di malam hari seperti ini. Lebih baik ia diam beberapa jam di supermarket 24 jam depan gang rumahnya. Dan shubuh nanti ia bisa pergi ke rumah tetangga atau temannya.

"Itu supermarket 24 jam, kok. Terus pegawainya pun kenalan saya. Jadi kayaknya nggak apa-apa saya diem di sana. Nanti shubuh saya ke rumah kenalanku." Jelas Adis saat Rafdi tak memberikan komentar apapun mengenai keputusannya. Mendadak, Adis pun merasa kikuk karena terus ditatap seperti itu oleh lelaki di depannya. Sungguh, ia tahu, ia memang pantas dikasihani, tapi ia tetap merasa risih jika ada orang yang terang-terangan menatapnya kasihan.

"Saya nggak apa-apa kok, Kak. Kak Rafdi nggak usah merasa kasihan." Ujarnya lagi sambil mengalihkan tatapannya. Ia merasa sangat menyedihkan karena lagi-lagi, Rafdi harus melihat hal yang menyedihkan darinya.

"Saya temenin kamu." Seru Rafdi. Lelaki itu pun lalu menarik tangan Adis untuk kembali masuk ke dalam mobil.

"Eh, nggak usah, Kak. Saya nggak apa-apa, kok." Seru Adis langsung.

"Saya juga nggak apa-apa kok nemenin kamu di sana." Balas Rafdi singkat.

Adis pun menghela napas panjang. Ia merasa tak enak dengan lelaki itu. Dan perasaan tak enak itu semakin menjadi saat mereka sampai di supermarket depan. Tanpa bertanya padanya, Rafdi langsung memesan mie seduh, minuman hangat, dan juga beberapa cemilan. Lelaki itu bahkan mengambil jaket di mobilnya dan menyuruh Adis untuk memakainya. Lalu, tanpa banyak kata, Rafdi duduk di sebelahnya, di depan supermarket yang menyediakan tempat duduk, dan mulai memakan mie seduhnya.

Flawsome | Seri Self Healing✅️Where stories live. Discover now