[11]

215 50 1
                                    


Sejak lima belas menit yang lalu, setelah Adis puas melampiaskan semua emosinya di pelukan Rafdi, mereka pun duduk berdampingan dan saling berdiam diri. Lalu Rafdi bangkit dan berjalan ke dapur kecil di Lab untuk mengambil sebotol minum air putih kemasan.

"Minum dulu. Tenggorokan kamu kayaknya tadi serak." Rafdi menyerahkannya tapi Adis tetap diam. Rafdi pun membuka tutup botolnya dan kembali menyerahkan botol itu di hadapan Adis.

Adis pun menerimanya tanpa kata. Sungguh, rasanya ia malu berhadapan dengan Rafdi sekarang. Kenapa lelaki itu harus lagi dan lagi menyaksikan sisi menyedihkan darinya? Kenapa dari sekian banyak orang di muka bumi ini, harus Rafdi kembali yang melihat sisi lemahnya.

Untungnya, Rafdi memberikannya waktu untuk berdiam tanpa menghujaninya dengan berbagai pertanyaan. Lelaki itu hanya ikut diam dan duduk di sampingnya. Sampai menit-menit selanjutnya, barulah lelaki itu bertanya, "Udah mendingan?"

Adis mengangguk pelan.

"Mau saya antar pulang?" Tawar Rafdi yang langsung dijawab gelengan.

"Nggak tahu harus pulang kemana." Balas Adis jujur.

"Mau saya antar ke rumah Dewi lagi?"

Adis menggeleng lagi. "Nggak mau. Malu."

"Ya udah, nggak apa-apa." Kata Rafdi. Lelaki itu mengeluarkan ponsel dari sakunya dan membuka aplikasi pesan makanan. "Kita pesan makan, ya. Kamu mau makan apa?"

Adis kembali terdiam. Mengapa Rafdi harus bersikap seperti ini? Sikap baik lelaki itu membuatnya terbebani. Ia tak mau lagi punya hutang budi pada lelaki itu.

"Kakak ada perlu di Lab?" Tanya Adis. Ia masih belum berani menatap lelaki itu. Ia masih malu.

"Tadi balik lagi ke sini karena mau ambil casan laptop yang ketinggalan."

"Kalau memang saya boleh diem dulu di sini, Kakak boleh pulang sekarang." Usir Adis secara tak langsung. Ia lebih baik sendiri daripada harus berhadapan dengan Rafdi.

"Saya nggak ada kerjaan lain, kok. Saya di sini aja." Tolak Rafdi.

Adis menggigit bibir dalamnya, menahan kembali isakan yang baru saja reda. "Saya nggak apa-apa, Kak. Nggak usah membuang waktu untuk saya."

Rafdi memperhatikan Adis dari samping. Wajah Adis sangat kentara sekali sedang tertekan. Sebagai manusia dengan empati yang tinggi, Rafdi tak bisa membiarkan Adis sendiri. Terlebih Adis jadi salah satu perempuan yang mulai sering muncul di kehidupannya.

"Saya nggak bisa biarin kamu sendiri." Keukeuh Rafdi. Ia masih menatap Adis yang sama sekali tak mau menatapnya.

"Saya nggak akan ngapa-ngapain. Saya cuman pinjam labnya sebentar. Nanti malam saya pulang."

"Saya yang anter." Keukeuh Rafdi lagi. Sungguh, bagaimana mungkin ia membiarkan Adis di saat tadi ia melihat bagaimana perempuan itu menyakiti dirinya sendiri.

Perkataan Rafdi pun membuat Adis kembali terisak. Ia menutup wajahnya dengan tangan, berusaha menyembunyikan wajahnya pada siapapun. Rasanta ja sudah tak memiliki harga diri lagi di hadapan lelaki itu.

"Kenapa, Adisa?" Tanya Rafdi khawatir. "Maaf buat kamu nggak nyaman. Saya hanya khawatir."

Adis menggeleng. Ia mengerti jika Rafdi khawatir. Lelaki itu sangat baik. Wajar jika Rafdi merasa ingin membantunya. Namun, Adis sulit untuk berhadapan dengan Rafdi.

"Saya malu." Gumam Adis. "Kenapa Kakak harus terus liat sisi menyedihkan saya terus? Saya benar-benar malu."

Rafdi menghela napas pendek. Dengan sedikit paksaan ia mengambil tangan Adis agar tak lagi menutup wajahnya. "Adisa, liat saya."

Adis menggeleng. Ia menunduk dan tangannya masih tetap ditahan Rafdi.

"Setiap orang punya sisi lemahnya masing-masing. Itu hal wajar. Nggak apa-apa, kok."

Adis masih terisak. Ia tahu itu. Tapi ia tetap tak ingin orang lain mengetahuinya.

Melihat Adis yang masih terisak, Rafdi pun kembali menarik Adis kepelukannya. Ia menepuk pundak Adis juga mengelus rambutnya lembut. "Nggak apa-apa." Katanya.

Setelah Adis tenang, ia melepaskan pelukannya. Ia menatap Adis yang wajahnya penuh dengan air mata. Tanpa sadar, ia tersenyum kecil. Melihat Adis yang seperti ini mengingatkannya pada masa lalunya. Ia juga pernah ada di fase terpuruk dan tak memiliki siapa pun di sampingnya. Mungkin itu alasannya mengapa ia tak ingin meninggalkan Adis.

"Mau tahu rahasia?" Tawar Rafdi sambil tersenyum kecil.

Mendengar pertanyaan itu, Adis menatap Rafdi sambil mengusap pipinya. "Apa?" Tanyanya.

Rafdi membuka kancing kemeja bagian tangannya, ia lalu menarik kemejanya sehingga memperlihatkan lengan lelaki itu. Rafdi menunjuk lengannya yang terdapat beberapa goresan pendek. "Saya pernah mau nyoba bunuh diri beberapa kali."

Adis terkejut. Ia menatap Rafdi tak percaya.

"Serius." Kata Rafdi. "Waktu jaman saya baru lulus sekolah. Setelah gap year satu tahun, akhirnya saya bangkit dan berusaha jalanin hidup sebaik mungkin."

"Kenapa?" Tanya Adis pelan.

"Sejak kecil orang tua saya berantem terus. Mereka memang nggak cocok, sama-sama keras dan nggak ada yang mau ngalah. Tapi saya selalu nahan mereka buat nggak cerai. Saya nggak mau punya orang tua yang hidupnya pisah." Rafdi terkekeh sejenak. "Sampai akhirnya saya lulus sekolah SMA, dan baru tahu kalau ternyata Papa punya keluarga lain dan Mama juga punya pacar. Mereka sama-sama punya orang lain tapi berusaha nggak cerai karena saya yang maksa. Akhirnya saya ngalah dan mereka pun cerai dan punya kehidupan masing-masing yang lebih bahagia. Tanpa saya."

Adis kembali menahan tangisnya. Ia tak menyangka bahwa lelaki seperti Rafdi juga punya masa lalu yang tak mengenakkan juga.

"Sekarang saya berusaha bahagia, apapun keadaannya. Dan saya ingin kamu juga seperti itu. Mungkin awalnya bakal terasa sulit, tapi semua bakal terlalui kok. Entah bagaimana pun caranya." Rafdi mengambil tangan Adis dan menggenggamnya. "Nggak apa-apa sedih, tapi cukup hari ini aja, ya."

Dengan pelan Adis mengangguk. "Kenapa Kakak ceritain itu?"

"Biar kamu nggak malu lagi." Rafdi terkekeh. "Itu rahasia dan kelemahan saya. Kamu nyadar kan selama ini saya nggak pernah pake kemeja pendek. Saya malu kalau bekas sayatan ini keliatan. Setiap melihat tangan ini saya juga selalu menyesal. Mengapa dulu saya sebodoh itu, ya. Tapi inilah saya. Saya yang punya masa lalu buruk dan punya kelemahannya sendiri. Jadi kamu nggak usah malu. Saya tahu kamu malu karena saya sering ketemu kamu pas keadaan yang kurang tepat."

Adis menatap Rafdi yang masih terus menatapnya dengan tatapan teduhnya. Perlahan, rasa percaya dirinya mulai muncul. Cerita Rafdi mampu membuatnya lebih baik lagi. Maka, dengan keberanian yang mulai muncul, Adis pun mulai bercerita. "Ternyata saya bukan anak kandung Ibu dan Bapak. Katanya saya anak alm adik bapak. Saya yatim piatu sejak lahir. Seharusnya saya sadar dari dulu, karena Ibu selalu pilih kasih, dan lebih mentingin anak-anaknya daripada saya."

Rafdi hanya diam dan tatapan hangatnya yang masih menatapnya.

"Terus saya malah bersikap egois dan nggak jadi anak yang berguna buat mereka. Harusnya saya balas budi karena mereka udah ngebesarin saya. Biar Ibu nggak usah merasa nyesal karena rawat saya."

"Saya harus gimana, Kak?" Adis bertanya bingung. Ia benar-benar tak tahu harus bersikap bagaimana. Ia merasa sendirian di dunia ini.

Rafdi tak menjawab pertanyaannya, namun lagi dan lagi lelaki itu menariknya kepelukannya. Adis butuh solusi akan masalahnya, namun pelukan Rafdi cukup membuatnya tenang. Setidaknya untuk saat ini, ia bisa lebih tenang.

Flawsome | Seri Self Healing✅️Where stories live. Discover now