My twins girl (04)

83 1 0
                                    

"Papa udah bisa nemuin, Iara?"

"Iara ada dimana sekarang?"

"Apa Iara baik-baik aja?"

"Pa, jawab!"

Adi tersenyum tipis, guratan lelah terlihat diwajahnya. Dia baru pulang pukul 11 malam, Ainun dan Aira yang tadinya nonton tv langsung membondongnya dengan banyak pertanyaan begitu dia pulang.

"Papa belum bisa menemukan Iara," Adi meraup wajahnya frustasi. "Papa benar-benar gak becus."

"Papa jangan ngomong gitu," dengan sedih Aira memeluk Adi. "Papa itu papa yang terbaik sedunia. Bukan salah papa kalau Iara gak ditemukan, ini udah takdir, pa."

Kalau bisa papa pun jangan cepat-cepat menemukan Iara. Batin Aira.

Ainun tersenyum penuh haru. "Aira benar, Mas. Kalaupun memang bukan takdir kita membawa Iara ke mari kita harus apa?"

"Kamu cuma menguatkan mas kan?" Tukas Adi membuat Ainun terdiam, tapi tak lama dia mengangguk dengan tangis yang pecah. Gantian Adi lah yang sekarang memeluk Ainun.

Aira mengamati mereka. Apa cuma dia yang bahagia karena Iara tidak ditemukan? Sungguh? Kalau begitu dia mau Iara ditemukan karena dia tak sanggup melihat keduanya menangis.

"Papa, Mama." Panggil Aira dengan kedua mata berkaca-kaca. "Plis jangan nangis. Tanpa Iara kita juga bisa."

"Sayang, kamu gak paham." Ainun mengurai pelukannya dengan Adi, dia beralih mengusap air mata Aira. "Mama tau kamu pasti masih gak percaya tentang fakta kalau kamu punya saudari kembar. Harusnya mama bilang sedari dulu, tapi mama gak bakal ngira Iara ditemukan."

"Menemukan Iara adalah mimpi kami, Sayang." Lanjut Ainun tersenyum lembut.

"Tapi mimpi aku adalah kita bertiga bahagia," Aira mulai terisak. "Padahal Iara belum ditemukan tapi dia udah berhasil membuat kalian sayang sama dia melebihi aku."

"Aira...."

"Enggak, Pa, Ma." Aira menggeleng keras. "Jangan bilang kalo kalian tetap adil tapi kalian aja terus membahas dia. Iara gak ada! Yang ada cuma Aira." Dia mulai menangis keras. "Aku mau kita kayak dulu aja!"

"AIRA!"

Aira terdiam ketika Adi membentaknya.

"Berhenti bersikap kekanakan, Iara adalah bagian dari kita. Sudah seharusnya Papa mencari Iara. Dia adik kamu."

"Papa jahat," Aira tersenyum pedih. "PAPA BENTAK AKU!" Pekiknya sembari mengeluarkan buliran air mata. "Papa jahat!" Aira berlari pergi dan membanting pintu kamar.

Sulit bagi Aira untuk menerima ini. Adi dan Ainun bisa paham, tapi mereka juga ingin Aira paham. Bahwa mereka pun ingin Iara disini bersama mereka.

"Mas, Aira...." Ainun menatap Adi sedih. "Kita udah ngebuat Aira nangis."

"Gapapa, Ma. Aira sudah besar. Kita gak usah memanjakannya lagi, sebentar lagi dia adalah seorang kakak. Aira pasti bakal sangat menyayangi Iara. Ke depannya Mas bakal sangat sibuk mencari Iara."

Adi berbalik pergi ke kamarnya. Dia butuh mandi air hangat, Ainun masih memperhatikan pintu kamar Aira sebelum Adi memanggilnya untuk tidur.

Sementara Aira tengah bersandar pada pintu. Dia mendengar apa yang Adi katakan. Benar kan? Segalanya akan sama seperti yang ada dimimpi Aira.

Dia mengusap pipinya yang basah, mengusap ingusnya dengan kera baju setelahnya menelfon Genta. Siapa lagi kalau bukan pacarnya? Lagian seharian ini dia tidak bertemu Genta, tidak berbalas pesan, jadi Aira mau menelfon pacarnya. Setelah telfon terjawab, Aira diam saja dia menunggu Genta bertanya. Tapi sampai 5 menit berlalu dan Genta tak kunjung berbicara membuat tangis Aira pecah.

'Kan, Genta memang gak peduli sama Aira!

"K-kok gak ngomong sih?" Tanya Aira sebal masih dengan sisa tangis.

Tapi dengan kejamnya Genta malas membalas dengan. "Kenapa nelfon? Aku lagi ada urusan," dan BOM! Genta mematikan telfonnya. Sangat kejam permisa.

"HUWAAAA," tangis Aira semakin keras. Dia meraung-meraung seperti orang gila setelah melempar benda pipihnya hingga tak berbentuk lagi.

"Mas ini benar kita gak perlu bujuk, Aira?" Tanya Ainun saat mendengar tangis Aira yang mengalahkan aungan serigala.

Adi tampak menimbang. Dia tidak tega juga mendengar Aira menangis seperti ini.

"Kita ke kamar dia sekarang."

"Iya, Mas."

Mereka berjalan cepat menuju kamar Aira. Sesampainya, Adi mengetuk pintu duluan.

"Aira, buka pintunya nak. Papa mau ngomong, jangan nangis seperti itu."

Aira tidak membuka pintu.

Atau pun membalas sahutan Adi.

"Aira," panggil Adi sekali lagi.

Mereka malah mendengar tangis Aira yang makin mengeras. Karena itu pun beberapa pelayan mengintip dari balik tembok.

"Aira," Adi mengeraskan suaranya. Namun Aira tak kunjung membuka pintu.

"Ai—"

"Biar aku coba Mas," Adi mengangguk, dia memberi ruang agar Ainun bisa mengetuk pintunya.

"Aira, ini mama. Tolong buka pintunya, Sayang. Jangan nangis, mama gak mau kamu sedih seperti itu."

Ceklek!

"Aku juga gak mau kalian sedih kayak tadi cuma karena Iara," cicit Aira menyembulkan kepalanya.

Fiks Aira ngambek sama Papanya.

Wajah gadis itu berantakan. Matanya sudah bengkak, pipinya basah, hidungnya kebanjiran ingus dan Aira menatap mereka dengan sorot sayu.

"Tapi Papa malah bentak aku."

"Aku sedih."

"Dulu saat aku rusakin laptop Papa. Papa gak bentak aku, Papa malah cium kepala aku dan bilang gapapa."

"Waktu aku coret mobil Papa. Papa gak bentak aku, Papa malah ketawa dan ikut coret mobil Papa bareng aku."

"Tapi cuma karena aku iri sama Iara yang lebih kalian sayang. Papa bentak aku. Papa bentak aku, Pa. Aku sedih."

"Aku sedih," ulang Aira dengan tangis yang mengencang.

"Maafkan papa sayang," Adi merasa bersalah. Dia mengusap kepala Aira dengan penuh sayang. "Papa janji ini adalah yang pertama dan yang terakhirnya, oke?"

"Jarinya dulu," Aira mengulurkan jari kelingkingnya. "Kalau papa bentak aku lagi. Aku bakal kabur dari rumah."

"Dan papa gak akan biarkan itu terjadi," Adi menautkan jari kelingking mereka.

Aira tertawa kecil. "Aku udah gak marah lagi."

Adi dan Ainun memeluk Aira dengan erat. Memberikan kehangatan yang biasa mereka berikan pada Aira. Tanpa tahu bahwa satu putrinya lagi tengah kedinginan disuatu tempat, meringkuk pada kardus tempat dia tidur dan menangis karena keadaannya.

See you next part~♥️
ListaChoco^^

My Twins Girl (End)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora