27 | Yang Akhirnya Terjadi

909 103 3
                                    

Faisal kini tampak mencari-cari di mana keberadaan Ziva maupun Raja. Semua orang tahu apa yang tengah dicari oleh Faisal, namun mereka berusaha untuk tidak membahasnya. Mereka berupaya untuk berpura-pura sibuk dengan urusan masing-masing, agar Faisal tak perlu bertanya-tanya.


"Jadi karena pekerjaan kami sudah selesai, maka kami sekarang akan pamit Pak Faisal. Untuk urusan administrasi, Bapak bisa transferkan saja seperti biasanya. Kami harus segera pulang sebelum waktu shalat maghrib tiba. Tidak enak kalau sampai kami mendapati waktu maghrib di jalan," ujar Tari.

"Tunggu dulu," cegah Faisal agar tidak ada yang langsung pergi dari hadapannya. "Di mana Ziva saat ini? Kenapa dia dan Raja tidak ada di sini? Bukankah biasanya kalian pulang bersama-sama jika sudah menyelesaikan pekerjaan?"

Wajah Faisal menunjukkan kecurigaan yang teramat sangat jelas ketika mengajukan pertanyaan tersebut. Mereka--orang-orang yang berada satu tim dengan Ziva dan Raja maupun Rian--berusaha menjaga ekspresi masing-masing agar tidak kentara jika ada kesengajaan mengenai tidak adanya Ziva dan Raja saat itu.

"Oh ... Ziva dan Raja sudah pulang duluan, Pak Faisal. Paman dan Bibiku serta Ibunya Raja menelepon mereka berdua, tadi, setelah pekerjaan kami selesai. Mereka diminta pulang lebih awal oleh orangtua masing-masing, karena harus menjalani proses pingitan sebelum mereka menikah dua hari ke depan," jelas Rasyid, mengikuti saran yang Hani berikan tadi.

Mendengar hal itu, tentu saja Faisal ingin sekali marah besar. Ia menyesal karena membantu Rian untuk membeli makanan, sehingga dirinya tidak punya kesempatan untuk bicara lagi dengan Ziva. Padahal ia sudah punya rencana yang seharusnya bisa membuat Ziva memikirkan ulang keputusannya untuk menikah dengan Raja. Tapi karena dirinya pergi membeli makanan demi membantu Rian, akhirnya kesempatan itu menghilang dari hadapan Faisal. Ia ingin sekali menunjukkan amarahnya, namun di sisi lain dirinya tetap harus menjaga nama baik agar tidak tercoreng dan agar tidak dikenal sebagai orang yang emosional.

"Jadi, Ziva benar-benar akan menikah dengan Raja? Ziva benar-benar tidak memberi kesempatan kepada ...."

"Iya, Pak Faisal. Ziva benar-benar akan menikah dengan Raja dan tidak ada kesempatan untuk Pak Faisal. Karena Ziva sejak awal memang tidak pernah memiliki perasaan apa pun terhadap Bapak," potong Hani dengan cepat.

"Jadi kami sebagai sahabat-sahabat terdekat Ziva maupun Raja berharap agar Pak Faisal tidak lagi melakukan upaya pendekatan apa pun seperti yang Bapak lakukan tadi siang. Berusaha mengadu domba antara Ziva dan Raja jelas bukan pilihan yang tepat, Pak Faisal. Raja sudah mengenal Ziva dengan baik dan Ziva sendiri tidak pernah merasa takut jika ada yang berusaha ingin mengadu domba dirinya dengan Raja. Kami harap Bapak sudah paham dan kami boleh pulang sesegera mungkin," tambah Mika, dengan wajah ramah seperti biasanya.

Faisal jelas tidak bisa lagi berkata apa-apa setelah ucapannya benar-benar dihentikan oleh Hani dan Mika. Sejak dulu Hani dan Mika memang selalu saja menjadi penghalang ketika dirinya berusaha mendekati Ziva. Namun anehnya, kedua orang itu justru tidak menghalang-halangi sama sekali ketika Ziva dan Raja terus saling mendekat. Seakan-akan mereka menunjukkan melalui sikap, tentang siapa yang boleh dan siapa yang tidak boleh mendekat kepada Ziva.

"Mari, Pak Faisal. Kami akan pulang duluan. Assalamu'alaikum," pamit Tari, mewakili yang lainnya.

"Wa'alaikumsalam," balas Faisal, dingin.

"Aku akan mengantar mereka sampai ke parkiran sebentar, Pak Faisal. Nanti aku akan kembali lagi ke sini," ujar Rian.

Faisal hanya mengangguk dan membiarkan Rian ikut keluar dari kantor itu bersama Rasyid, Mika, Hani, Tari, dan Batagor. Pria itu sendiri kini mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, setelah tidak ada lagi yang melihatnya.

"Kurang ajar kamu, Ziva! Lihat saja, aku akan datang ke hadapanmu dan membuatmu meminta maaf atas sikap abaimu terhadapku selama ini!" geram Faisal, penuh dengan kemarahan yang tak bisa dijabarkan.

Rian meminta Hani berhenti sejenak sebelum wanita itu masuk ke mobil milik Rasyid. Hani menatapnya dan mencoba menerka-nerka tentang apa yang akan dikatakan oleh Rian sekali lagi sebelum mereka berpisah hari itu.

"Aku serius soal ingin pergi ke pernikahan Raja dan Ziva bersama kamu. Tolong beri aku kesempatan untuk bisa pergi bersama kamu. Angkatlah teleponku jika aku menelepon, karena aku akan menjemputmu agar kita bisa berangkat bersama. Kamu tidak perlu malu akan hal apa pun, Hani. Demi Allah, aku tidak akan menilai kamu dari sesuatu yang kurang pada dirimu. Aku suka kamu dan aku serius ingin mengenalmu lebih dekat. Aku tidak akan memaksamu, maka dari itu aku ingin kamu juga mengenalku lebih dekat sebelum aku akhirnya melamarmu dan menikahimu," tutur Rian, tidak lagi ingin berbasa-basi.

Hani tidak menemukan kebohongan di dalam setiap kata yang diucapkan oleh Rian saat itu. Hal itu membuatnya sulit untuk mengucapkan sebuah penolakan seperti yang biasanya ia ucapkan kepada laki-laki yang berusaha mendekatinya. Tapi bagaimana pun, Hani merasa harus berusaha membuat Rian berhenti di tempatnya agar tidak perlu ada yang kecewa saat semua sudah terlanjur terbuka. Rian kini bisa melihat Hani tersenyum dengan tenang di hadapannya, namun entah apa arti dari senyumnya yang tenang tersebut.

"Kamu mungkin bisa menerima aku apa adanya, Rian. Aku juga yakin akan hal itu. Tapi ... dalam hidup ini tidak selalu tentang kita berdua ketika akhirnya memutuskan untuk menikah. Ada juga campur tangan keluarga di dalamnya, dan keluarga kamu belum tentu bisa menerima aku apa adanya seperti kamu menerimaku. Aku harap kamu paham dengan apa yang aku katakan saat ini dan mulailah berhenti untuk memikirkan hal yang mungkin sulit terjadi," jelas Hani, langsung pada inti yang paling ditakutkan olehnya.

Rian terdiam setelah mendengar penjelasan tersebut. Tebakan Mika bahwa Hani akan berusaha menghindar mati-matian darinya jelas terbukti. Sesaat kemudian, Hani pun berbalik dan hendak membuka pintu mobil milik Rasyid.

"Aku sudah hidup sebatang kara sejak masih TK, Han."

Ucapan Rian sukses membuat tubuh Hani merinding dalam sekejap. Wanita itu pun berbalik kembali dan menatap langsung ke arah Rian untuk melihat ekspresi pria itu sekali lagi. Rian berusaha tersenyum di hadapan Hani, meski saat itu ia harus membahas soal luka masa lalunya.

"Kedua orangtuaku bercerai dan masing-masing memutuskan menikah lagi. Aku tidak ikut siapa-siapa di antara mereka. Aku dirawat oleh Almarhum Kakek dan Almarhumah Nenekku. Ayah dan Ibu kandungku kini juga sudah meninggal. Jadi ... aku rasa tidak akan ada siapa pun dari pihak keluargaku yang akan menilai kekuranganmu. Tapi kalau kamu memang tidak mau aku mendekat, aku akan tetap terima. Mungkin ... memang bukan aku yang kamu cari."

Rian pun berjalan mundur perlahan dari hadapan Hani.

"Hati-hati di jalan, Han. Salam untuk Ziva dan Raja. Sampaikan ucapanku untuk mereka, selamat menempuh hidup baru dan semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah. "

Kaca mobil di belakang Hani pun terbuka dengan cepat sehingga wajah Mika bisa terlihat dengan jelas.

"Kita duluan ya, Han," pamit Mika. "Tolong antar Hani sampai rumahnya, ya, Mas Rian," tambahnya.

Rasyid pun langsung tancap gas dan benar-benar meninggalkan Hani yang masih mematung di tempatnya. Seharusnya Hani jelas langsung meledak saat itu juga dan mengeluarkan sumpah serapah kepada Mika dan Rasyid. Namun kali itu Hani jelas sudah kehabisan tenaga dan kata-kata untuk melakukannya.

"Enggak usah dengar apa yang Mika katakan. Aku akan naik taksi," ujar Hani saat kembali bertatap muka dengan Rian.

"Jangan coba-coba, Hani. Kamu akan aku antar pulang!" tegas Rian, seraya meraih tangan Hani untuk digenggam dengan erat.

* * *

TELUH BELINGWhere stories live. Discover now