14 | Ajakan

949 100 3
                                    

Ziva dan Raja langsung mengejar makhluk tak berkulit--yang tadi mereka lihat sebelum memasuki kantor tersebut--ketika tiba di lantai dua. Makhluk itu tampak sengaja menghindar setelah gagal menyingkirkan Hani dari sisi Rian yang diincarnya. Tari kini mendekap Hani begitu lama, sementara Rian kini tengah ditenangkan oleh Mika dan Rasyid karena panik saat melihat kondisi Hani.


"Sasaran sebenarnya adalah aku 'kan, Mas Rasyid? Lalu kenapa hal yang tidak terlihat itu malah menyerang Hani, bukan menyerangku secara langsung?" tanya Rian.

Rasyid dan Mika kini saling menatap satu sama lain setelah mendengar pertanyaan yang Rian ajukan. Hani juga mendengar pertanyaan itu, namun dirinya jelas sedang tidak bisa menjawab akibat sakitnya bagian leher yang tadi dicekik oleh makhluk tak kasat mata yang menyerang.

"Hal itu terjadi karena Pak Rian sudah meminum air yang tadi Mika berikan, serta karena Hani memang berusaha melindungi Pak Rian ketika sedang melaksanakan shalat ashar. Itu memang tugas Hani dan akan dia laksanakan saat berada di sini bersama Pak Rian," jawab Rasyid.

Rian kini tampak sedikit menyesal karena telah meminum air yang tadi Mika berikan padanya. Ia tahu bahwa tujuan orang-orang yang ada di sekelilingnya sangatlah baik, bahwa mereka ingin berusaha melindungi dirinya dari serangan makhluk tak kasat mata. Namun saat dirinya melihat bagaimana hasil ketika Hani yang mendapat serangan dari makhluk tak kasat mata tadi, ia jelas merasa bersalah dan tidak bisa menerima. Hani kini harus mengalami memar pada lehernya dan sakit pada beberapa bagian tubuhnya setelah dibanting ke arah dinding oleh makhluk tak kasat mata tadi.

"Seharusnya tidak perlu aku minum air itu, agar makhluk tidak terlihat itu langsung saja menyerangku, bukan menyerang Hani," sesal Rian.

Apa yang Rian ucapkan jelas membuat Mika dan Rasyid sedikit kebingungan. Namun mereka berdua berusaha tetap berkepala dingin ketika menghadapinya.

"Andai kata Pak Rian tidak minum air itu sekalipun, Hani tetap akan menjaga Pak Rian sekuat tenaga karena merasa bahwa itu adalah tugasnya. Pak Rian tidak bisa menghalangi Hani untuk tidak menjaga diri Bapak, karena dia justru akan marah kalau dihalang-halangi saat sedang bekerja," jelas Mika, agar Rian jauh lebih paham dengan apa yang Hani lakukan.

"Ya, itu benar Pak Rian. Hani adalah salah satu yang tidak pernah melanggar kode etik saat bekerja. Jadi Pak Rian jelas tidak bisa melarangnya melindungi Bapak saat kami sedang mengerjakan tugas kami," Rasyid pun ikut menjelaskan seperti yang dilakukan oleh Mika.

Hani dan Tari mendekat ke arah ketiga pria tersebut tak lama kemudian.

"Kalian sebaiknya kembali ke bawah untuk memeriksa keadaan para korban yang masih sakit. Ziva dan Raja sedang mengejar makhluk itu, jadi tidak ada yang akan mengawasi para korban di bawah jika kalian bertiga terus berada di sini," saran Hani. "Aku baik-baik saja dan kalian tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku masih bisa menjaga Pak Rian seperti tadi."

"Ya, kamu benar. Kalau begitu kami bertiga akan kembali turun ke bawah. Kamu jangan lupa shalat ashar. Hanya kamu yang belum shalat ashar saat ini," Tari mengingatkan.

"Ya ... mukenaku sudah siap, kok. Hanya tinggal shalat saja setelah aku berwudhu ulang," balas Hani yang sadar kalau wudhunya tadi sudah batal akibat sempat bersentuhan dengan Rian, Mika, dan Rasyid.

Tari, Rasyid, dan Mika benar-benar turun kembali ke lantai bawah. Hani pun melaksanakan shalat ashar setelah keadaan kembali tenang. Rian menatap air di dalam botol yang masih tersisa. Seharusnya ia meminum air itu sampai habis. Namun setelah melihat apa yang terjadi pada Hani, ia mendadak enggan untuk meminum sisa air itu. Ia merasa bersalah karena Hani harus menjadi sasaran makhluk tak kasat mata yang hendak menyerangnya. Rasa bersalahnya semakin besar karena bekas cekikan di leher Hani tampak sangat jelas ketika dilihat.

Hani segera melipat mukenanya setelah selesai melaksanakan shalat ashar. Batagor menggigit-gigit tangan Hani seakan ingin menunjukkan sesuatu.

"Ada apa, Batagor? Hm? Kamu lapar?" tanya Hani, sambil mengusap-usap kepala Batagor.

"Meow," sahut Batagor, sambil berlari ke arah kaki Rian.

Apa yang Batagor lakukan jelas membuat wanita itu menoleh ke arah Rian yang tengah terdiam tak jauh dari sisinya.

"Pak Rian jangan melamun. Sebaiknya Pak Rian terus saja berdzikir, agar tidak terkena serangan mendadak dari hal-hal yang tidak terlihat," saran Hani.

Rian pun menoleh ke arah Hani. Mereka berdua kini saling menatap satu sama lain dan sama sekali tidak ada yang berusaha mengalihkan tatapannya ke arah lain.

"Airnya juga diminum, Pak. Habiskan. Jangan buat aku merasa gagal saat sedang bertugas menjaga Pak Rian di sini. Kalau sampai terjadi apa-apa pada diri Pak Rian karena Bapak kurang membentengi diri, maka aku bisa menyalahkan diriku sendiri karena tidak bersikap keras pada Pak Rian sehingga Pak Rian bisa terkena serangan. Aku tidak mau bersikap keras terhadap Bapak, jadi sebaiknya Bapak mendengarkan apa yang aku sarankan," pinta Hani.

"Kalau aku mematuhi itu, apakah kamu menjamin bahwa dirimu tidak akan terkena serangan dari makhluk tidak terlihat tadi? Apakah aku tidak akan lagi melihat bekas memar yang sama, seperti yang ada pada lehermu saat ini?" tanya Rian.

Hani pun terdiam selama beberapa saat, ketika mendengar pertanyaan yang Rian layangkan kepadanya.

"Sudah bertahun-tahun aku bekerja di dalam tim ini. Jadi menerima memar sedikit seperti ini bukanlah perkara besar bagiku. Pak Rian belum melihat bagaimana jika kami mulai bertarung dengan si pengirim teluh. Biasanya kami mengalami luka berdarah di beberapa bagian tubuh. Jadi ... jangan terlalu dipikirkan jika Pak Rian melihat memar seperti yang ada pada leherku saat ini. Santai saja. Itu memang risiko yang selalu kami terima saat bekerja," jawab Hani, apa adanya.

Rian kini terdiam setelah mendengar jawaban yang Hani berikan kepadanya. Ia segera meminum air di dalam botol hingga tandas, karena dirinya tidak ingin Hani merasa gagal dalam menjalankan pekerjaannya.

"Setelah pekerjaanmu dan anggota tim kamu selesai, bisakah kita bertemu lagi? Aku ingin bertemu kamu lagi di luar kantor ini, di luar pekerjaan kita masing-masing," pinta Rian, dengan nada penuh harap.

Hani tampak diam jauh lebih lama kali itu daripada sebelumnya. Apa yang Rian minta kepadanya jelas bukan sesuatu yang mudah untuk dipenuhi.

"Untuk apa bertemu di luar dan di luar pekerjaan kita masing-masing? Itu terdengar agak ... canggung," tanggap Hani.

"Untuk menghilangkan kecanggungan di antara kita," jawab Rian, dengan cepat. "Aku mau kita tidak perlu merasa canggung ke depannya jika bertemu. Aku ingin mengenal kamu lebih dekat dan aku juga mau kamu mengenalku lebih dekat. Maka dari itu aku ingin kita bertemu di luar setelah pekerjaanmu hari ini selesai. Apakah boleh?"

Rian sama sekali tidak menunjukkan sedang bermain-main dengan permintaannya kepada Hani saat itu. Hal itu jelas membuat Hani tidak bisa memberikan penolakan atas permintaan Rian, seperti yang biasa ia lakukan terhadap pria lain selama ini.

"Ya ... mari kita bertemu di luar setelah aku selesai bekerja," jawab Hani, memberikan kepastian.

Ziva dan Raja kembali muncul. Kali ini mereka langsung mendekat pada Hani.

"Han ... coba bilang sama kita, bagaimana kamu bisa tahu kalau makhluk itu tadi mendadak muncul dan hendak menyerang Pak Rian, sehingga kamu bisa menghalanginya?" tanya Raja, dengan nafas yang tidak beraturan.

* * *

TELUH BELINGWhere stories live. Discover now