12 | Usaha Ruqyah Pertama

935 101 1
                                    

Tari dan Ziva membantu korban wanita yang sakit untuk meminum air yang sudah didoakan bersama oleh ketiga pria dalam tim mereka. Sementara itu korban pria ditangani oleh Rasyid, Mika, dan Raja. Mereka benar-benar membimbing para korban untuk minum sambil mendoakan mereka seperti yang biasanya dilakukan ketika melakukan ruqyah.


"... A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir ...."

Masing-masing dari kelima orang dalam tim itu terus membaca doa yang sama ketika membantu para korban minum. Rintih kesakitan yang tadi terdengar sangat jelas kini mulai berangsur menghilang. Bahkan beberapa dari mereka yang terus saja memuntahkan darah serta beling perlahan mulai berkurang. Ziva bisa merasakan amarah makhluk yang tadi dilihatnya, meski makhluk itu belum juga mau menampakkan diri secara langsung di hadapan Ziva dan Raja. Raja jelas tahu bahwa ada sesuatu yang dirasakan oleh Ziva setelah ia melihat ekspresi wanita itu meski hanya sekilas.

"Tampaknya makhluk itu mulai merasa tidak nyaman dengan usaha ruqyah pertama yang kami lakukan ini," batin Raja.

Rian menatap ke bawah dengan serius saat usaha pertama itu dilakukan terhadap yang sakit. Ia benar-benar berharap akan segera ada titik terang mengenai si pengirim teluh agar teluh beling itu bisa dihentikan.

"Kalau boleh tahu, apa yang akan terjadi setelah para karyawan dan karyawati yang sakit itu meminum air tersebut?" tanya Rian kepada Hani.

Hani berhenti menatap buku catatan dan ponselnya, lalu menatap ke arah Rian.

"Biasanya para korban yang sudah meminum air itu akan mulai tidak merasakan sakit seperti yang mereka rasakan diawal tadi. Bahkan biasanya muntah darah serta beling yang mereka alami juga akan segera berhenti, meski secara perlahan-lahan, Pak Rian," jawab Hani.

"Dan kamu biasanya ikut dalam usaha yang dilakukan oleh semua anggota timmu itu, jika sedang tidak menjaga seseorang?"

"Iya. Aku juga biasanya ikut serta dalam usaha pertama tersebut, Pak Rian."

"Panggil saja aku Rian, tidak usah memakai kata 'Pak' atau 'Bapak'. Aku belum terlalu tua. Usiaku baru dua puluh tujuh tahun," pinta Rian.

"Maaf. Aku hanya berusaha menghormati anda di depan karyawan serta karyawati anda, Pak Rian. Lagi pula, anda saat ini berstatus klien kami. Jadi sudah wajib bagi kami untuk memanggil anda dengan sopan," jelas Hani.

"Jadi kalau kita sudah tidak terikat dengan urusan pekerjaan yang kalian jalani, tentunya kamu bisa memanggilku tanpa memakai kata 'Pak' atau 'Bapak', 'kan?" tanya Rian--lebih terdengar seperti sedang memohon kepada Hani.

"Memangnya menurut anda kita akan bertemu lagi setelah kasus teluh yang kami tangani di sini selesai?" Hani tampak heran dengan apa yang Rian tanyakan.

"Aku berharap begitu," jawab Rian. "Terutama denganmu. Aku berharap kita bisa bertemu lagi meski urusan hari ini sudah selesai."

Ponsel milik Ziva bergetar di dalam saku celana kerjanya, setelah selesai membantu para korban yang masih sakit. Ia segera mengeluarkan ponselnya dan membaca satu pesan yang baru saja masuk. Raja mendekat ke arahnya, namun tidak bertanya-tanya soal apa yang ada pada ponsel milik Ziva saat itu.

IBU
Assalamu'alaikum, Sayang. Ibu hanya ingin mengabari kamu, bahwa Ayah dan Ibu memutuskan akan mempersiapkan pernikahan kamu dan Raja di villa milik keluarga kita. Ada beberapa hal yang membuat kami memutuskan demikian. Calon Ibu mertuamu juga sudah kami beri tahu, sehingga kini calon Ibu mertuamu ikut dengan kami ke villa. Selain suasana di sana jauh lebih tenang, Insya Allah di sana juga akad nikahmu dan Raja bisa dilaksanakan sampai selesai. Ibu harap kamu sama sekali tidak keberatan dengan apa yang kami putuskan.

Usai membaca pesan tersebut, Ziva langsung memberikan ponselnya kepada Raja. Raja ikut membaca pesan dari Mila dan tampak memaklumi jika ada sedikit perubahan rencana.

"Balaslah. Katakan pada Ibu bahwa kamu sama sekali tidak keberatan dengan keputusan Ayah dan Ibu meskipun mendadak. Entah kenapa aku merasa yakin, bahwa keputusan yang akhirnya mereka ambil jelas akan membuat kita bisa menikah tanpa harus menghadapi hal-hal yang memusingkan. Mungkin suasana di villa milik keluargamu memang jauh lebih tentram daripada suasana yang biasanya mereka lihat di rumah," ujar Raja, pelan.

Ziva pun tersenyum seraya menatap Raja yang selalu bisa langsung mengerti dengan tujuan dari sebuah keputusan yang diambil oleh seseorang.

"Ya, aku akan segera membalas pesan itu dan mengatakan yang kamu sarankan. Terima kasih atas masukannya," ucap Ziva.

"Untuk apa berterima kasih? Aku calon Suami kamu. Kita berdua akan menjalani pernikahan yang sedang dirancang oleh Ayah dan Ibu. Aku jelas harus berkontribusi dalam hal apa pun yang terkait dengan pernikahan kita. Tidak adil kalau aku hanya menyerahkan semuanya sama kamu untuk jadi bahan pikiran. Jadi, kamu betul-betul tidak perlu berterima kasih padaku. Sekarang cepatlah balas pesannya. Kita akan memulai pekerjaan yang selanjutnya," saran Raja.

Ziva pun mengangguk dengan cepat. Senyuman di wajah Ziva benar-benar tidak pernah memudar jika sedang menghadapi Raja. Hal itu bisa terlihat jelas oleh Faisal yang kini sedang menatap ke arah kedua insan tersebut dari kejauhan. Ia merasa geram dan ingin sekali memisahkan mereka. Sayang, sikap cerobohnya tadi telah membuat Ziva marah besar sehingga dirinya tidak bisa lagi mendekat pada wanita itu. Semua anggota tim yang bekerja bersama Ziva dan Raja benar-benar tidak ingin Faisal mendekat kembali kepada mereka berdua. Dengan begitu Faisal akhirnya sama sekali tidak punya kesempatan untuk bisa menunjukkan perasaannya kepada Ziva seperti pada pertemuan-pertemuan mereka pada kasus sebelumnya.

Selama ini Ziva sama sekali tidak pernah tersenyum di hadapannya, sekalipun Faisal mencoba bercanda atau sekedar menggodanya secara halus. Ziva selalu bersikap datar-datar saja dan lebih fokus pada pekerjaan. Namun kini wanita itu jelas telah berubah dan perubahan itu disebabkan oleh kehadiran Raja. Faisal benar-benar tidak bisa menerima hal itu, karena merasa bahwa selama ini dirinya telah berusaha sangat keras untuk menarik perhatian Ziva.

"Sial! Kenapa langkahku harus dihambat oleh pria lain? Kenapa juga aku tidak tahu kalau selama ini nomor telepon yang aku hubungi bukanlah nomor telepon Ziva? Kenapa aku bisa terkecoh seperti itu oleh Ziva yang tampaknya memang tidak ingin aku dekati? Seharusnya aku yang ada di posisi laki-laki bernama Raja itu! Seharusnya aku yang akan menikah dengan Ziva, bukan dia!" batin Faisal, merasa tidak bisa menerima kekalahan dari Raja.

* * *

TELUH BELINGKde žijí příběhy. Začni objevovat