Berpenetrasi

12 1 0
                                    


Di perantara gedung sekolah yang sudah termakan usia, aku sering melihat sebuah keajaiban, mataku terpaku melihat seorang, aku tak bisa berpaling, bukan perasaaan takut dan gelisah, namun detakan hati nampak tenang ku pandang, ku pandang dari kejauhan keajaiban itu, takut membuatnya tergores, dan tak berani mendekatinya hanya melihat dari kejauhan,  rintihan jeritan memburuku untuk mendekatinya namun ku tak sanggup, aku terlalu malu.

Namanya Abimanyu biasa dipanggil Abi, dia tak nampak luar biasa bahkan bisa dibilang terlalu sederhana untuk ukuran seseorang yang sedang dimasa celana abu abu, namun kharisma yang terpancar di auranya membawa ketenangan, dengan mata hitam pekat, rambutnya rapih mungkin dia menyemirnya tiap hari, dan muka sawo matang dengan satu bintik kecil disekitar bibirnya, badannya agak bungkuk seakan sedang membawa beban dipunggungnya, bajunya rapih terlipat kedalam celana dan sepatu hitam mengkilat seakan tak ada noda,  kesederhanaanya membuatku terpikat, haruskah ku bilang bahwa aku memiliki rasa.

"Nahisya fokus, matamu melirik kemana, ibu sedang menjelaskan tuh jangan sampai kau bertanya kepadaku lagi mengenai materi yang sudah-sudah, aku tak sudi" kata Rena teman sebangkuku.

"ehh iya maaf, jangan gitu dong" 

"Habis kau tak bisa sedetik pun berhenti untuk menatapi hal itu, sudah kubilang kalau hati suka, tinggal bicara"

"tidak mudah mendekati seorang modelan seperti itu, aku bukan mafia cinta yang muncul dengan satu kata lalu berlanjut ketempat meja makan dimalam hari"

entah sejak kapan aku menaruh semua rahasiaku kepada Rena, dia seperti bank berjalan yang menyimpan semua rahasiaku, aku mengenalnya dari sejak awal kita bertemu disekolah menengah pertama dan saling berbagi kisah hingga kita yakin untuk menaruh rahasia bersama.

"kalau begitu, buat sebuah keadaan yang memaksa kau untuk berbicara dengannya, jarak kau dengannya pun tak begitu jauh, hanya seperlepar batu, lalu jika ada kesempatan bicara lah"

memang jarakku dengannya itu hanya dipisah oleh tiga pasang keramik dari samping

"apa yang kau maksud, pikiranku tak bisa menjangkaunya"

Tiba-tiba Rena mendaratkan pensilnya kesebuah kertas putih miliku, tak tanggung tanggung, goretannya memenuhi semuanya, goretan yang tak jelas seperti bayi yang sedang belajar menulis, tentu hal itu membuatku terkejut tak terkira dengan tindakannya.

"APA YANG KAU LAKUKAN RENA" teriak ku memenuhi seisi sekolah

teriakku membuat semua orang tertuju matanya padaku, semua terheran dengan tingkah laku-ku yang tiba tiba, Ibu Dewi menghentikan coretannya di papan tulis, berhenti menjelaskan lalu berkata dengan lirih kepadaku.

"jangan berisik ya... perhatikan" lalu kembali dengan materi yang ia bawakan 

"apa sih yang kamu lakuin, hah... sekarang bagaimana cara aku menghapusnya" bincangku dengan nada rendah

kepalaku diputar oleh tangannya, sekejap memalingkan fokusku mengenai materi, lalu diarahakannya ke sebuah solusi dari permasalah ini sekaligus memberikan sedikit sentakan padaku mengenai tujuannya melakukan ini semua

"kamu mau tau caranya ?"

"hah... gak mungkin lah, ini konyol ragaku tidak seberani itu untuk bergerak mendekatinya"

"kalau begitu gerakan hatimu, biarkan hatimu yang berbicara"

buah hasil dari perilaku Rena ternyata satu langkah skakmat untuk membuatku dekat dengan Abimanyu, jadi ini keadaan yang memaksa yang disinggung olehnya tadi, sekarang aku terpaksa meminjam penghapus darinya, tentu ada opsi lain, namun kesempatan ini tentu tak terulang dua kali, langkah selanjutnya adalah mengasosiasikan raga dan jiwa ku untuk bergerak mendekatinya lalu berbicara padanya satu dua patah kalimat.

Let Him GoWhere stories live. Discover now