Lembar Kelimabelas: Euforia

792 96 0
                                    

Lembar Kelimabelas: Euforia

Danny tidak bisa seenaknya membawa Yoga ke rumah sakit. Sekalipun ia nekat, sang ayah tidak akan suka dan akan semakin menghukum adiknya itu. Ia benci ketika dirinya tidak bisa melakukan apa pun untuk melindungi keluarganya.

Setelah membaringkan Yoga di atas ranjangnya, Danny melesat ke dapur untuk memasak air. Ia segera kembali dengan baskom air hangat dan juga kain bersih.

Dengan penuh kehati-hatian, Danny membuka kancing seragam Yoga satu persatu. Ia tidak langsung melepaskannya begitu saja atau nanti kasur Yoga akan kotor oleh darahnya.

Danny tak pernah merawat orang sakit sebelumnya. Dulu ketika ibu mereka sakit, sang ayah akan segera membawanya ke rumah sakit. Mendapatkan penanganan terbaik dari dokter di sana. Lalu ketika ayahnya mabuk setiap malam karena kematian sang ibu, Danny tidak terlalu peduli. Sebab begitu fajar menyingsing, Hanan sudah siap di dapur memasak untuk anaknya.

Perlahan ia mulai membersihkan tubuh adiknya yang masih terpejam itu. Sesekali meringis ketika melihat luka terbuka di punggung si bungsu. Luka yang baru kering kembali dihiasi oleh luka baru.

Menghela napas berat, Danny mengangkat baskom berisi air yang sudah berubah warna menjadi merah. Ia menaruhnya di atas meja belajar. Sebelum pergi membuka lemari untuk mencari baju bersih.

Sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh Danny kalau ia akan merawat orang sakit. Terlebih lagi itu adiknya. Dia merasa sedikit kesulitan, tetapi juga tidak tahu harus bertanya pada siapa. Hanya mengandalkan insting, Danny bergerak. Semoga saja tindakannya ini tidak akan membuat luka adiknya semakin buruk.


*


“Hngg.” Yoga melenguh ketika membuka mata. Merasa bahwa seluruh tubuhnya terasa kaku ketika dia gerakkan. Hal yang pertama ia lihat adalah langit-langit kamar bercat putih yang awalnya buram kini terlihat dengan jelas. Keningnya mengerut. Seingatnya terakhir kali ia berada di halaman belakang tengah mendapat hukuman dari sang ayah. Lalu kenapa justru sekarang ia berada di kamar?

Kondisi kamar yang remang-remang membuat Yoga sadar kalau kini hari sudah petang. Ia tak mampu bergerak banyak, jadi ia mengarahkan matanya untuk melirik ke arah jendela yang langitnya menunjukkan semburat oranye.

Kriet.

Masih dalam kondisi berbaring, Yoga mengalihkan pandang menuju pintu. Kondisi yang gelap membuatnya sulit untuk melihat siapa yang memasuki kamarnya.

Tak!

“Lo udah sadar?”

Yoga refleks memejamkan matanya begitu cahaya lampu yang sangat terang itu menyala. Butuh beberapa saat sebelum ia membuka mata kembali untuk menyesuaikan penglihatannya.

Dilihatnya sosok Danny yang membawa segelas air putih berjalan ke arahnya. Meletakkan air itu di atas meja belajar sebelum menarik kursi untuk duduk. Yoga hanya melihatnya dalam diam. Ingin bersuara untuk menjawab, tetapi tenggorokannya sangat kering dan terasa perih.

“Ada yang sakit?” tanya Danny yang segera dibalas gelengan oleh adiknya itu.

Danny mengulum bibirnya. Tahu kalau itu adalah kebohongan. Namun, dia tidak bertanya lebih lanjut. Justru kini menyodorkan segelas air putih pada Yoga. Membantu adiknya itu untuk minum perlahan.

“Ma ... kasih,” ucap Yoga lemah.

Danny mengangguk. Pemuda yang memakai sweter hijau muda itu lantas bangkit, merapikan selimut adiknya yang tidak berantakan sama sekali. Kemudian beranjak keluar.

Tepat sebelum menutup pintu, Danny berucap, “Gue ke bawah dulu. Nunggu ojol bawain bubur buat lo.”

Bahkan setelah pintu ditutup pun, Yoga masih memandanginya. Merasa aneh sekaligus senang akan perhatian yang diberikan kakak tertuanya itu.

Ini tidak biasa, tetapi Yoga merasa senang karenanya. Perasaan hangat memenuhi rongga dadanya, menghantarkan beribu kupu-kupu beterbangan membawa euforia yang ia harap adalah kenyataan. Bibirnya mengukir seulas senyum tipis. Berharap dalam hati, semoga ini bukanlah mimpi. Kalaupun itu memang mimpi, Yoga berharap untuk tidak bangun agar bisa merasakan kasih sayang dari kakaknya itu.


*


Ting tong!

Begitu mendengar suara bel berbunyi, Danny yang baru saja duduk di sofa ruang tengah langsung melompat dan berlari ke depan guna membuka pintu.

"Berapa, Bang?" tanyanya langsung begitu pintu terbuka. Kepalanya menunduk dengan kedua tangan sibuk merogoh kantong celananya mencari uang.

"Bang, Bang. Lo kira gue siapa?!" balas Jian sewot.

Danny mendongakkan kepala. Melihat Jian dari atas ke bawah seperti scanner. Rambut adiknya itu basah. Seragam biru tua khas futsalnya juga basah kuyup meneteskan jejak air ke lantai keramik hitam tersebut.

"Minggir, lo!" serunya sambil mendorong Danny ketika kakaknya itu tak kunjung menyingkir, justru malah terdiam bodoh dengan mulut terbuka.

Danny terdorong ke samping. Memberikan ruang untuk Jian melangkah masuk. Namun, sebelum adiknya melangkah lebih jauh, Danny lebih dulu berteriak, "Hei! Berhenti!"

Membuat Jian yang baru melangkah jadi terpaksa harus berhenti dan membalikkan badan menatap Danny jengah. "Apa lagi?" tanyanya kesal. Dia merasa sangat kedinginan dan butuh mandi air hangat sekarang, tetapi Danny menahannya entah untuk apa.

"Lepas sepatu lo." Danny menunjuk sepatu hijau futsal milik Jian yang meninggalkan jejak becek di lantai. Matanya melotot tajam.

Menghela napas berat, Jian akhirnya melepas sepatunya dan melemparkannya ke Danny dengan tidak sopan. Untungnya Danny segera menghindari lemparan maut itu. Diam-diam dia bersyukur, kalau saja sweter hijau mudanya terkena lemparan sepatu milik Jian, dia pasti akan mengomel selama berhari-hari pada adiknya itu lantaran kesal.

Sementara si pelaku pelempar sepatu itu kini sudah berlari gesit menuju kamarnya. Menghindari semprotan luar biasa dari si sulung.




*


Double up special day 11!

Diary of Yoga ✓ [Open PO!]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt