Lembar Keenam: Yoga Nggak Kuat, Bunda

964 114 0
                                    

Lembar Keenam: Yoga Nggak Kuat, Bunda

Yoga selalu menanti hari Jumat. Karena saat itu sekolah akan pulang cepat dan dia bisa pergi menemui bundanya. Yoga merasa tidak sabar ketika mendengar penjelasan guru di saat jam terakhir. Sesekali mata cokelatnya melirik pada jam dinding di depan.

Kring! Kring! Kring! Kring!

Bel berbunyi empat kali yang menandakan waktu pulang. Guru perempuan berusia hampir setengah abad itu membetulkan letak kacamatanya sebelum membereskan buku-bukunya.

“Baiklah, itu saja pembelajaran kita hari ini. Selamat siang dan sampai bertemu minggu depan,” ujarnya lalu keluar kelas.

Tentu saja setelah Bu Naya keluar para murid di kelas langsung bersorak senang dan berebut keluar. Mereka sampai dorong-dorongan karena pintu yang hanya muat untuk satu orang.

Yoga merapikan alat tulisnya dengan tenang. Memasukkan semuanya ke dalam tas ransel biru tua yang sudah menemaninya sejak bangku sekolah menengah pertama. Ia menarik ritsleting tasnya dan memakainya di bahu kemudian bangkit mendekati Juna yang sedang menghapus papan tulis di depan. Besok adalah hari piket Juna, jadi cowok itu memilih menghapus papan tulis sekarang daripada besok datang pagi-pagi sekali.

“Jun, gue duluan, ya?”

Pemilik nama lengkap Arjuna Ryan Kavindra itu menoleh dan melebarkan senyumnya. Pemuda itu mengangguk dan melambaikan tangannya ceria. “Hati-hati.”

Yoga senang memiliki Juna sebagai sahabat dekat. Juna merupakan anak yang ceria, berbanding terbalik dengan dirinya. Keduanya memiliki sifat yang bertolak belakang. Kalau Juna tidak bisa diam dan selalu banyak tingkah maka Yoga sangat pendiam. Juna selalu bisa mengekspresikan perasaannya, sementara dirinya tidak.

Mereka memang memiliki banyak perbedaan, tetapi karena itu pula mereka menjadi dekat.

Tak terasa Yoga sudah tiba di depan gerbang tinggi yang menjulang. Pemuda itu menghembuskan napas panjangnya sebelum masuk ke dalam. Ia tidak membawa apa-apa kemari karena jatah uang sakunya sudah tidak ada. Dia hanya membawa dirinya sendiri dan juga keluh kesah untuk diceritakan pada sang bunda.

Yoga berhenti di sebuah gundukan tanah yang dipenuhi rumput liar. Ah, sudah berapa lama ia tidak kemari sejak terakhir kali? Rasa-rasanya baru kemarin ia ke sini, tetapi rumput liar sudah tumbuh sangat panjang.

Yoga berjongkok, mencabut rumput liar itu dan mengumpulkannya di samping gundukan makam. Setelahnya tangannya bergerak untuk mengelus batu nisan bertuliskan Arizka Putri. Pemuda berseragam pramuka itu kemudian duduk di tanah. Tak peduli jika seragamnya besok masih dipakai.

“Bunda?” panggil Yoga lirih. Ia menatap batu nisan di samping kanannya. Mengusapnya pelan sebelum kembali berucap, “Gimana kabar Bunda di sana?”

“Pasti baik-baik aja, kan? Yoga seneng kalau di sana Bunda baik-baik aja.” Ia tersenyum kecil. Matanya terpejam, berusaha menahan air mata yang hendak menerobos keluar.

“Bunda ... Yoga nggak tahu salah Yoga apa? Tapi Yoga tetep berusaha buat dapetin maaf dari Ayah. Mungkin, Ayah benci Yoga karena Yoga yang bikin Bunda pergi, ya?”

Yoga menundukkan kepala. Kali ini ia tidak kuat menahan tangisnya.

“Kak Danny masih tetep peduli sama Yoga, kok. Meski nggak secara terang-terangan, tapi Yoga yakin kalau Kak Danny emang peduli sama Yoga. Kalau Kak Ji ... Kak Ji nggak pernah nyapa Yoga.”

Bibirnya mengukir senyum sedih ketika mengingat kakak keduanya yang selalu mengabaikan dirinya.

“Ayah baik-baik aja, udah nggak pernah mabuk-mabukan lagi seperti dulu. Ayah udah ada di rumah sejak sore. Nggak pernah lagi pulang malam. Ayah juga mulai mau dateng ke sekolah Yoga buat ngambil rapor.”

Sejak duduk di bangku SMA, Hanan mulai mau datang ke sekolahnya untuk mengambil rapor. Maka dari itu Yoga selalu belajar mati-matian agar nilainya bagus dan tidak mempermalukan ayahnya. Meski hanya sebatas itu Yoga sudah merasa senang.

“Tapi Bunda ... Ayah masih tetep mukulin Yoga. Yoga nggak tahu salah Yoga apa?” Pemuda dengan tahi lalat di dagunya itu mengusap sudut matanya pelan. Ia juga menarik ingusnya agar tidak keluar.

“Mungkin Ayah masih belum bisa nerima Yoga sepenuhnya. Mungkin bagi Ayah, Yoga adalah penyebab kematian Bunda. Tapi kalau itu bisa bikin Ayah lega, Yoga rela, kok, dipukulin Ayah tiap hari.”

Air matanya mengalir semakin deras. Yoga menundukkan kepala. Ia terdiam sebentar, berusaha menghentikan tangisannya.

“Bunda? Yoga capek. Yoga nggak kuat, Bunda. Meski Yoga berusaha buat baik-baik aja di depan semua orang, tetep aja Yoga nggak kuat. Sampai kapan Yoga harus kayak gini?”

Satu isakan kecil lolos dari bibir tipisnya. Yoga menunduk, menutup wajah dengan kedua telapak tangan dan menangis sepuasnya. Ia bukanlah anak kuat. Yoga tetaplah anak yang membutuhkan perhatian dari orang tuanya.

“Boleh nggak kalau Yoga nyusul Bunda aja?” gumamnya lirih.

“Lo ngapain di sini?!”

Yoga tersentak kaget. Dengan gerakan terburu-buru ia mengusap wajahnya lalu bangkit berdiri. Mendapati kakak keduanya tengah menatapnya tajam. Kalau saja tatapan mampu membunuh, mungkin Yoga sudah mati sekarang ditatap sebegitu tajamnya oleh sang kakak.

“Gue tanya sekali lagi. Lo ngapain di sini?!”

“Yoga kangen Bunda,” jawabnya pelan. Gemetar tubuhnya tidak bisa ia sembunyikan mengingat di depannya ada Jian, kakak keduanya yang sangat mirip dengan sang ayah–suka bermain fisik.

“Sialan lo! Lo itu nggak pantes dateng ke sini!” teriaknya penuh amarah. Jian bahkan melempar bunga matahari kesukaan bunda yang ia beli ke sembarang arah lalu menerjang adiknya itu. Memukulnya membabi buta di depan makam bunda mereka.

“Maaf, Kak Ji.” Yoga bersuara susah payah ketika Jian terus saja memukuli wajahnya. Dengan tubuh besarnya, Jian menindih Yoga. Tak membiarkan adiknya itu lolos.

Baru setelah menyadari wajah Yoga penuh memar dan lebam, Jian berhenti. Ia bangkit dan membuang muka. “Pergi,” katanya pelan.

Dengan sempoyongan Yoga berjalan pergi sambil memegang bahunya yang sakit. Ia tak lagi menoleh ke belakang. Hatinya sakit ketika Jian memukulinya sama seperti sang ayah.

“Maaf, Bunda.”




*



Day 5!

Hari ini updatenya pagi banget ya😆

Diary of Yoga ✓ [Open PO!]Where stories live. Discover now