Lembar Keduabelas: Nasi Pecel Pembawa Petaka

759 98 3
                                    

Lembar Keduabelas: Nasi Pecel Pembawa Petaka

Kantin. Tempat yang selalu ramai ketika jam istirahat tiba. Tempat di mana siswa-siswi melepas penat. Tempat di mana mereka bertemu dengan kakak kelas maupun adik kelas. Sekaligus tempat bertemunya siswa-siswi dengan jurusan yang berbeda.

Di sinilah Yoga berada. Kalau bukan karena Juna yang memaksanya, tidak mungkin Yoga akan menginjakkan kakinya di kantin yang ramai.

Yoga tidak menyukai keramaian. Itu sebabnya ia selalu berdiam diri di kelas. Selain itu ia juga tidak terlalu bisa bersosialisasi. Beruntung Juna mau berteman dengannya yang pendiam.

Menghela napas berat, Yoga mengikuti Juna dalam diam. Juna menghentikan langkahnya dan berbalik, menatap Yoga dengan binar cerah di matanya. Kantin adalah surga bagi Juna, membuat pemuda itu semakin ceria.

“Nah, Yoga. Lo duduk di sini aja. Biar gue yang pesen makanannya,” katanya ceria.

Belum sempat Yoga menjawab, sosok Juna sudah menghilang di tengah kerumunan. Yoga menghela napas dalam dan mengambil duduk di kursi kosong yang sudah dicarikan Juna tadi. Tangannya ia letakkan di atas meja. Matanya bergerak melihat ke sekeliling. Ada siswa yang tengah mengantre untuk membeli makanan. Ada pula yang duduk sambil bercanda.

Jreng~

Suara petikan gitar menarik perhatiannya. Yoga menoleh ke tengah-tengah kantin. Terdapat seorang pemuda dengan senyum menawan tengah duduk di atas meja. Sesekali Yoga dapat melihat pemuda itu mengedipkan mata pada murid perempuan yang lewat, membuat mereka menjerit kegirangan.

Beautiful, beautiful.”

Begitu pemuda yang bermain gitar itu mengeluarkan suaranya, murid perempuan langsung berteriak kegirangan. Bahkan ada beberapa yang merekamnya.

“Liat apa lo?” tanya Juna sambil meletakkan piring berisi nasi pecel di atas meja. Ia menarik kursi di hadapan Yoga sebelum duduk.

“Itu siapa?” tanyanya. Menunjuk ke arah pemuda bergitar yang dikelilingi beberapa murid cantik.

Juna mengikuti arah pandang sahabatnya. Kemudian ber-oh ria begitu tahu siapa yang dimaksud.

“Itu Dika. Adik kelas kita yang jadi incaran murid cewek,” jelasnya singkat.

Yoga hanya mengangguk-angguk saja tak lagi bertanya. Ia segera menyantap nasi pecel Bu Mina yang jadi favorit Juna. “Hm, enak,” katanya dengan mulut yang masih mengunyah.

“Enak, kan? Apa gue bilang.” Juna membusungkan dadanya bangga. Ingin menepuk dada kirinya tetapi ingat kalau tangan kanannya tengah kotor sekarang karena sedang makan menggunakan tangan.

Yoga merasa mereka seperti makan di tempat elite karena sambil mendengarkan nyanyian dari adik kelasnya. Suaranya merdu, mungkin itu salah satu alasan banyak murid perempuan mengerubunginya.

“Gue cuci tangan dulu,” kata Yoga cepat sebelum bangkit. Berjalan menuju wastafel yang ada di kantin untuk mencuci tangannya sebentar. Lalu kembali pada Juna yang masih belum menyelesaikan makannya.

“Suaranya bagus, ya.”

Juna mendongak. “Siapa?”

“Dika.”

“Iya, bagus. Tapi bukan itu alasan dia dideketin banyak cewek,” ucap Juna seraya menegakkan tubuhnya. Ia bersendawa pelan lalu terkekeh ketika Yoga menatapnya. Seolah-olah Yoga mengatakan “memalukan” melalui tatapan matanya itu.

“Dika ganteng. Padahal gue lebih ganteng dari dia. Tapi kenapa gak ada cewek yang suka sama gue?!”

“Mungkin karena lo aneh?”

Yoga memasang raut datar seakan tidak bersalah ketika Juna melayangkan tatapan tajam yang sebenarnya tidak berarti untuknya.
“Udah, lah! Gue mau cuci tangan aja,” katanya sambil mengentakkan kaki kesal.

Tak lama setelah kepergian Juna, kantin yang semula ramai karena konser gratis dari adik kelasnya itu menjadi hening. Yoga yakin kalau saja ada jam di sini, ia dapat mendengarkan suara detik jam saking heningnya. Ia pun menoleh untuk mencari tahu apa penyebab kantin menjadi sepi padahal ada banyak murid di sini.

Sosok jangkung Jian berjalan santai memasuki kantin. Tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Penampilannya urakan. Kemeja putih yang seharusnya dimasukkan justru dikeluarkan dengan dua kancing teratas dibiarkan terbuka, memperlihatkan kaus putih yang ia pakai. Lalu entah ke mana perginya dasi abu-abu miliknya?

Bahkan ketika Jian berjalan, beberapa siswa yang ada di dekatnya langsung menyingkir memberikan jalan.
Yoga mengernyit, ia baru tahu kalau pesona kakaknya membuat para siswi rela menyingkir demi Jian.

“Ini kursi gue.” Suara dingin milik Jian bergaung di kantin.

Dapat Yoga rasakan kalau ia menggigil karenanya. Ingin sekali mengalihkan perhatian agar Jian tidak melihatnya, tetapi kepalanya sulit sekali diajak kerja sama.

Dika menjilat bibirnya. Adik kelas itu melompat turun dari atas meja setelah sebelumnya menaruh gitarnya dengan aman. Ia mencari-cari sesuatu di kursi dan meja yang sebelumnya ia kuasai. Kemudian menatap Jian yang tingginya tidak jauh beda dengannya. “Gue gak liat ada nama lo di kursi ataupun meja ini.”

Yoga merasa jantungnya diremas ketika Dika justru melontarkan kalimat bantahan untuk Jian. Ini akan menjadi buruk.

Jian berdeceh. “Lo itu adik kelas. Berani-beraninya bersikap gak sopan sama kakak kelas.”

Dika mengangkat satu alisnya. “Bagian mananya gue gak sopan sama lo? Gue udah duduk di sini lebih dulu.”

Jian mengepalkan tangannya. Napasnya mulai memburu. Tidak pernah ada seseorang yang berani membantahnya kecuali adik kelas songong yang kini berdiri di hadapannya. Semua selalu berada dalam genggamannya. Namun, apa yang ia dapatkan sekarang? Adik kelas ini berani melawannya. Jadi, tanpa pikir panjang Jian langsung mengarahkan kepalan tangannya pada pipi Dika.

Bruk!

Dika terlempar mundur mengenai meja. Membuat meja kantin tergeser ke belakang. Beberapa siswi di dekatnya langsung berteriak histeris dan mundur beberapa langkah, tetapi tidak menjauh. Seakan siap menjadi penonton meski merasa ketakutan.
Yoga tidak bisa diam ketika melihat Dika dipukul oleh kakaknya. Begitu Jian hendak mengarahkan pukulan lagi pada Dika, Yoga langsung berlari sambil berteriak.

“Kak Ji!”

Berhasil. Jian berhenti. Pemuda itu menoleh dan mendapati Yoga tengah berlari ke arahnya. Melihat hal itu membuat amarah Jian semakin di ubun-ubun. Ia berbalik, hendak melampiaskannya pada Dika yang memegangi pipi di depannya, tetapi harus terhenti ketika Yoga berdiri di depan Dika merentangkan tangan.

“Kak Ji, berhenti! Ayah bisa marah!”

“Tahu apa lo?!” Setelahnya Jian beralih memukul Yoga. Memukulnya membabi buta untuk melampiaskan emosinya. Tak peduli lagi bahwa mereka kini menjadi tontonan seisi kantin. Karena yang Jian inginkan hanyalah meredam amarahnya dengan cara memukuli Yoga yang sudah meringkuk di depannya.


*

Day 9!

Apa kabar kamu semua???

Diary of Yoga ✓ [Open PO!]Where stories live. Discover now