Lembar Kesembilan: Semakin Parah

865 107 0
                                    

Lembar Kesembilan: Semakin Parah

Sejak ibunya meninggal ketika melahirkannya, Yoga tak pernah mendapatkan perhatian dari keluarganya. Ayahnya tidak pernah menyukainya. Selalu saja memberikan pekerjaan rumah padanya. Yoga kecil hanya bisa menurut tanpa bisa melawan. Mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa banyak bicara. Dituntut menjadi dewasa oleh keadaan.

Kedua kakaknya juga turut tak menyukainya. Selalu memperlakukannya dengan buruk. Meski begitu, Yoga tetap tersenyum dan tidak mengeluh. Semata-mata ia lakukan agar sang ayah memujinya sebagai lelaki kuat.

Semakin bertambah usianya, semakin banyak pula hal yang harus dia lakukan.

Ayah membuat peraturan khusus untuknya. Di mana ia tidak boleh pulang lebih dari jam 4 sore. Jika pun melanggar, maka sabuk kulit akan melayang ke arahnya.

Tidak peduli akan jerit kesakitan dan tangis yang ia keluarkan. Sang ayah akan semakin beringas mencambuknya. Bahkan pria dewasa itu tak segan-segan bermain tangan untuk memukulnya.

Kedua kakaknya hanya bisa menyaksikan dalam diam di ruang tengah. Danny akan langsung pergi ke kamarnya dan membanting pintu keras-keras. Membuat sang ayah menoleh sebentar dan menghentikan pukulannya lalu bertanya, “ada apa?”. Begitu mendapatkan jawaban, lantas ia kembali memukuli Yoga.

Sementara Jian, pemuda berotot itu justru tetap diam di sana. Menyaksikan kebrutalan sang ayah yang melampiaskan kemarahannya pada si bungsu. Tak jarang senyum meremehkan tercetak jelas di wajah tampannya.

Semakin Yoga menangis dan memohon ampun, semakin berang sang ayah. Pria beranak tiga itu akan tetap melanjutkan kegiatannya. Memukuli Yoga hingga puas. Lalu pergi meninggalkan putra bungsunya ketika sudah lemas tak bergerak.

Setiap malam Yoga selalu memandang langit malam penuh bintang. Lampu kamar ia matikan, menyisakan stiker bintang-bintang yang bercahaya ketika gelap. Lalu ia akan duduk di dekat jendela. Sinar keperakan bulan menyorot ke dalam kamarnya yang gelap gulita.

Yoga melipat kedua tangannya. Mata sendunya menatap ke atas. Kerlap-kerlip bintang seakan siap menemaninya ketika malam.

Bibir tipisnya terbuka, hendak mengeluarkan sepatah kata. Namun, yang keluar hanyalah helaan napas berat. Lantas Yoga kembali terdiam memandangi langit malam.

Angin malam yang dingin tak mampu membuat Yoga menutup jendelanya. Pemuda itu tetap diam di dekat jendela yang terbuka lebar. Sesekali ia menggosok lengannya yang membeku.

“Apa Bunda ada di antara bintang-bintang itu?” gumam Yoga. Binar di matanya tak bisa disembunyikan ketika ia menatap bintang-bintang yang bertaburan menghias langit malam.

“Apa Bunda baik-baik saja di sana?”

Matanya yang berbinar tadi kini meredup seakan kehilangan cahayanya.

“Yoga harap, Bunda selalu baik-baik aja di sisi Tuhan.” Pemuda itu menarik sudut bibirnya membentuk lengkungan tipis yang tak sampai ke matanya. Lalu setetes air perlahan turun membasahi pipi. Ia mulai terisak. Yoga menenggelamkan wajahnya dalam lipatan tangan.

“Yoga nggak kuat, Bunda. Yoga capek,” lirihnya.

Tangisnya semakin deras. Yoga tak mampu menghentikannya. Ia hanya ingin menangis, mengeluarkan semua kesedihan yang selama ini ia pendam sendirian.

Yoga juga manusia yang memiliki perasaan. Ia juga bisa menangis ketika keadaan tak memihaknya. Menangis tak akan membuatnya lemah. Ketika bibir tak mampu berucap, maka air mata yang bisa menjelaskan.

Bintang dan bulan menjadi saksi mata kala Yoga menumpahkan semua kesedihannya. Seakan mengerti dengan kesedihan anak manusia itu, perlahan bulan dan bintang pun meredup. Awan gelap menyelimuti hingga cahayanya tertutup.

Tangan kurusnya terangkat, bergerak mengusap sudut matanya yang masih saja mengeluarkan air mata tiada henti. Pemuda itu bangkit, berniat menutup jendela karena sepertinya hujan akan turun.

Namun, tiba-tiba dada bagian kirinya terasa sakit. Rasa sakit itu perlahan menyebar hingga kepalanya pun ikut sakit. Matanya mulai berkunang-kunang, membuat Yoga harus memegangi tembok untuk menyangga tubuhnya.

“Tuhan, kumohon jangan kambuh lagi,” lirihnya.

Tangan kirinya ia angkat guna memegangi kepala. Rasa sakit yang mendera membuat ia memejamkan mata dan sesekali meringis. Keningnya berkerut menahan rasa sakit yang tiba-tiba. Lalu perlahan tubuhnya merosot karena kedua kaki tak mampu menopang bobot tubuhnya.

Di luar hujan mulai turun membasahi bumi dengan derasnya. Angin kencang berembus menerbangkan tirai jendela. Petir menyambar saling bersahutan.

Dengan kedua tangan yang bergetar, Yoga membuka laci meja belajar di sampingnya. Mencari-cari sebotol kecil obat yang selalu ia simpan dengan baik di sana.

Tangannya terus gemetaran. Bibirnya mulai memucat. Napasnya tak beraturan. Peluh membasahi keningnya. Bahkan Yoga dapat merasakan tubuhnya mendingin seakan-akan ada balok es besar yang melingkupi tubuhnya.

Sebuah botol putih kecil berhasil ada di genggaman. Lantas Yoga mengambil sebutir kapsul dari dalam dan memakannya. Ia tidak perlu air putih untuk menelannya karena tubuhnya masih belum bisa diajak kerja sama untuk bangkit barang sejenak.

Pemuda berkaus biru tua itu segera menyandarkan diri pada dipan kayu di dekatnya. Napasnya masih tak beraturan. Yoga memejamkan mata, merasakan tubuhnya yang kembali normal secara perlahan.

“Tuhan, apa aku bisa sembuh?” gumamnya getir.






*



Day 7 special double update!

Seneng nggak? Seneng nggak???

Harus seneng dong!

Diary of Yoga ✓ [Open PO!]Where stories live. Discover now