03 - Dia siapa?

59 5 1
                                    

Bel tanda berakhirnya pelajaran telah berbunyi sejak lama. Sebagian besar siswa telah kembali ke rumah masing-masing. Sebagian sisanya masih tinggal di sekolah guna melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler. Caca tergolong ke dalam sebagian siswa yang masih berada di sekolah. Sebenarnya Caca ada jadwal kegiatan ekstrakurikuler, tapi dirinya memilih untuk membolos dan berdiam diri di dalam kelas menunggu jemputan.

Dua bulan telah berlalu sejak edaran resmi tentang dimulainya kegiatan ekstrakurikuler. Itu berarti sudah lebih kurang delapan kali pertemuan terlewati. Delapan kali pertemuan bukanlah waktu yang sedikit. Harusnya sudah banyak kegiatan yang terlaksana dalam kurun waktu dua bulan tersebut. Banyak pengalaman baru juga yang sepantasnya bisa didapatkan oleh semua anggota ekstrakurikuler. Namun, hal itu tidak berlaku untuk Caca. Sejak pertemuan pertama Caca hanya duduk di pojok kelas sembari memerhatikan layar lcd proyektor dengan malas.

Palang merah remaja atau yang biasa disebut PMR merupakan ekstrakurikuler yang sangat membosankan. Setidaknya begitu menurut Caca. Bagaimana tidak? Sejak pertemuan pertama hanya membahas sejarah terbentuknya PMR. Apakah hal tersebut lebih penting daripada mempelajari salah satu kewajiban anggota PMR berupa pertolongan pertama pada kecelakaan? Mengapa tidak membahas hal yang berkaitan dengan kesehatan yang bisa sehari-hari ditemui? Atau memberi materi terkait remaja supaya anggota PMR bisa mengedukasi dengan benar kepada teman-temannya? Jika bukan karena paksaan Sang Papa, Caca tak akan pernah mau mengikuti ekskul tersebut.

"Lo gak mau berangkat beneran, Ca?" tanya Dhey sembari mengucir rambutnya. Gadis itu baru saja selesai mengganti seragam putih abu-abunya menjadi seragam olahraga.

Saat ini, Caca bersama dengan Dhey dan Adhis tengah berada di kamar mandi. Caca menunggu kedua sahabatnya berganti pakaian dikarenakan mereka akan mengikuti ekstrakurikuler basket.

"Gak tertarik," jawab Caca acuh.

"Lihat, noh. Tangannya ada apaan. Yang namanya Caca, kalo udah pegang novel, satu dunia bakal dia cuekin," sahut Adhis dengan tangan sibuk merapikan riasan wajanya.

Caca tidak merasa tersindir sama sekali mendengar ucapan Adhis. Justru malah sangat membenarkan ucapan Adhis. Bahkan andai kata ada zombie sekali pun, Caca akan lebih memilih diam menikmati novelnya daripada kejar-kejaran dengan zombie.

"Kan bisa baca novel waktu ekskul. Lo, kan, cuma ikut PMR. Waktu senggangnya banyak," ujar Dhey sembari melayangkan tatapan ke arah Caca lewat cermin di hadapannya. Tatapan yang menyiratkan bahwa Dhey menyayangkan Caca yang telah membuang waktu dengan membolos.

"Kan gue udah bilang. Gak minat. Bukan masalah bisa atau enggaknya gue baca novel waktu ekskul. Tapi gue emang gak suka sama itu ekskul. Gue pikir bakal seru, ternyata malah kebalikannya. Kalau bukan karena papa juga ogah gue join itu ekskul," sungut Caca.

"Alasan bokap lo nyuruh masuk PMR, apa?" tanya Dhey penasaran.

Caca menutup pelan novel di genggamannya, "Papa mau gue dapet bekal tentang kesehatan dan gimana caranya nanganin komplikasi ringan di kehidupan sehari-hari karena hal itu mendukung cita-cita gue sebagai perawat. Tapi nyatanya udah dua bulan gue gabung, cuma sejarah PMR doang yang gue dapet."

Baru saja Dhey hendak membalas ucapan Caca, Adhis telah lebih dulu menyela, "Nah, selesai," ucap Adhis tampak puas dengan riasannya, "Yuk, balik ke kelas!"

Tanpa memedulikan dua sahabatnya, Adhis telah terlebih dahulu berjalan keluar dari kamar mandi. Berlalu begitu saja memutus pecakapan Dhey dengan Caca.

Terdengar desisan pelan dari bibir Dhey sebelum akhirnya mengucapkan kalimat, "Gue bener-bener gak suka sama dia," dengan tatapan tertuju lurus pada titik terakhir dimana Adhis terlihat.

Enigma AnagataWhere stories live. Discover now