Momen 17 - Berbagai Keajaiban

Start from the beginning
                                    

Ken menengok. "Iya, Lan?"

"Boleh minta foto?" Kelana berbicara dengan suara pelan. Selama hidupnya, baru pertama kali dia 'meminta foto' kepada seseorang. Itu juga sepenuh tenaga dia memberanikan diri untuk bersuara.

Ken balik lagi. "Boleh."

Kontan, Kelana menyodorkan ponselnya kepada Bian. Bian sendiri memberenggut mendapati Kelana memunculkan gigi putihnya. Kelana seolah berkata, tolong fotoin gue sama cowok idaman gue!

Beberapa kali, Kelana berfose di sisi cowok yang ekspresinya datar itu. Beberapa kali pula, Bian menekan layar ponsel dengan keras. Untuk pertama kalinya selama hidup, Bian merasa tersaingi. Bukankah selama dua tahun ini Bian adalah seorang solo fighter dalam mengejar Kelana?

"Thanks ya, Ken." Kelana mengangguk malu-malu setelah selesai difoto.

"Sama-sama," ucap Ken. Sekarang,  cowok itu melirik Bian.  "Lo nggak mau foto sama gue?"

Pertanyaan itu disambut kerutan kening. "Elo siapa?"

Mendapati jawaban itu, Kelana langsung melotot. "Masa elo nggak tahu Ken."

"Gue emang ...."

"Sekali lagi makasih ya, Ken. Gue tinggal dulu."

Ken mengangguk.

Kelana menarik tangan Bian untuk menjauh dari Ken. "Jangan bikin malu deh, Bi."

"Gue emang nggak tahu siapa dia. Jadi ..."

"Elo hidup di mana sih sebenernya?" Kelana menggeleng tak percaya. "Di rumah lo ada TV kan? Lo juga make internet kan? Masa elo nggak tahu Ken!"

"Gue hidup di bawah tutup panci. Puas lo?" Bian memonyong. "Udah ah, buruan. Katanya elo khawatir sama nyokap lo. Ada cowok bening aja langsung melipir, minta foto. Waktu ketemu gue pertama kali aja, lo nggak minta foto. Sombong amat!"

Kelana tertawa mendengar ocehan Bian. "Emang lo siapa?"

"Gue idola cewek-cewek di sekolah." Bian menjawab PD.

"Iya, kecuali gue. Gue nggak ngidolain lo sama sekali. Wlee!" 

"Biarpun elo nggak ngidolain gue, tapi gue selalu berusaha ada buat lo!" Ucapan itu terlontar dibarengi sengiran khas Bian. Sengiran yang sepertinya muncul untuk membalut rasa cemburu.

***

"Gue teriak bareng anak-anak pas elo ada di TV." Puan berbicara sambil membenarkan jilbabnya. "Tahu nggak? Anak-anak kelas kita yang biasanya nggak suka sama elo, tiba-tiba bermuka dua."

"Iya, Lan." Iti mendorong kacamatanya. "Lo tahu? Si Caca aja ikut streaming pas lo live di TV. Hahaha. Apa dia nggak inget pernah nyekap elo di toilet?"

Kelana tertawa mendengar ocehan kedua sahabatnya. Mereka memang terbiasa melakukan video call selama Kelana di skors. Dan ya, Kelana sendiri bisa menebak jika sekolahnya akan heboh.

"Kalian sendiri aman kan?" tanya Kelana. "Nggak ada yang bully?"

"Halah!" Puan berdecak. "Makin parah malah, Lan. Saat lo udah naik daun, mereka nyindir gue dan Iti. Kata Caca, 'Kapan anggota geng burik nyusul ketuanya?'"

"Iya iiih." Iti memonyongkan bibir. "Gue sempet diseret pas di toilet sama salah satu anak buah Caca. Dia bilang, 'lo yakin bakal terus-terusan dibela Lana? Dia udah jadi artis. Levelnya beda. Dia udah ada di atas elo'."

Mendengar ocehan kedua temannya, Kelana mengembuskan napas. "Udah ah, jangan berpikiran yang enggak-enggak. Gue nggak bakal berubah kok."

"Bener ya?" Iti mengerutkan kening.

"Iyaaa!" Kelana mengangguk yakin. "Oh iya, kirimin semua tugas yang harus gue kerjain ya."

"Okey, Lan."

Setelah berbincang lama lewat video call, sekarang Kelana mulai menyesuaikan jadwal undangan dari televisi. Jika dihitung-hitung, dua minggu ke depan ada empat undangan dari talkshow yang ada di televisi berbeda. Selain itu, Kelana mulai mencatat beberapa orang yang menawarinya endorse.

Dari awal, Kelana tidak berniat untuk terjun di dunia ini. Namun sekarang, setelah melihat hasilnya, Kelana ada di titik, boleh juga! Dia bisa mengumpulkan jutaan rupiah bahkan hanya dalam hitungan hari. Deal, deal, deal. Beres. Ada beberapa company yang bahkan langsung mentransper uang ke rekening milik Kelana. Padahal, Kelana belum memiliki rate dengan harga tinggi. Dia hanya menembak harga sesuai dengan yang ada di pikirannya.

Saat Kelana tengah mencatat jadwal pekerjaan, ponselnya kembali berdering. Kelana menelengkan mata ke arah ponsel di meja, tepat di pinggir buku catatannya. Nomor baru, kata Kelana di dalam hati. Siapa?

Karena Kelana penasaran dengan nomor baru itu, dia memilih mengusap ikon hijau. "Hallo."

"Hai."

Sejenak, Kelana menegakkan badan. "Siapa?"

"Ini gue, Ken."

Kontan, Kelana berdiri. Satu tangannya menekan dada. Beneran ken? Atau ada yang ngerjain?

"Jangan becanda deh. Elo siapa?"

"Gue, Ken." Cowok itu berbicara sekali lagi. "Gue dapet nomor lo dari tim kreatif Bincang Tawa."

Kenapa dia nggak minta nomor gue secara langsung?

"Ini bukan kemauan gue. Jadi pas sampe rumah, bokap nyuruh gue ngehubungin elo. Karena gue kenal salah satu crue di acara Bincang Tawa, gue minta nomor lo akhirnya."

"Bokap?" Kelana semakin bingung.

"Bokap gue pemilik salah satu management besar. Management ini menanungi ratusan artis papan atas. Dan ...."

"Dan?" Kelana menunggu lanjutan ucapan Ken.

"Bokap gue ngundang lo buat hadir di kantor," jelas Ken.

Kelana mengangguk-angguk. "Jadi maksudnya ...."

"Kemungkinan, bokap gue tertarik buat ngajak lo masuk management gue. Mungkin dia lihat potensi lo yang bagus."

Sehari ini, rasa-rasanya banyak sekali kejutan yang didapatkan Kelana. Selain bertemu Ken, Kelana bahkan diajak hadir di kantor management bapaknya Ken.

"Kapan, Ken?"

"Besok pagi, lo ada jadwal?"

Kelana melihat jadwal yang sudah dia susun di atas meja. "Gue harus jaga toko dulu sih sampe jam empat. Setelah itu, gue free."

"Ya udah, sore hari aja. Nanti, alamatnya gue WA ya."

"Thanks, Ken."

"Ya," ucap Ken singkat sebagai penutup percakapan.

Kelana masih mematung karena tidak percaya dengan percakapan barusan. Sampai kemudian, dia tergopoh ke luar kamar. "Ma! Lana punya kabar gembira!"

***

Glow Up Moment (Tamat)Where stories live. Discover now