Episode 24

656 74 13
                                    

Dehan dan Nesya berlalu meninggalkan Ustadz Ilham dan yang lainnya juga. Kini keduanya sudah berada di dalam mobil, keadaan begitu hening, Dehan juga tak berbicara sama sekali walau setelah perlakuan manisnya ke Nesya tadi. Entah kenapa napasnya terlihat menggebu, pandangannya menyorot tajam ke arah depan sana. Sudah seperti singa yang mau menerkam saja.

"Dehan,"

Akhirnya Nesya yang mengalah untuk memecah keheningan. Selain itu, dia juga sedikit takut melihat ekspresi suaminya yang sedang mengemudi.

"Apa?" Dehan menyahut tanpa menoleh sedikitpun, nadanya juga terkesan ketus.

"Ka-kapan kamu potong ram...,"

"Gak jadi!" sambar Dehan secepat kilat. Benar-Benar ketus, entah apa kesalahan yang istrinya perbuat, perasaan tidak ada.

Nesya sedikit tersentak ulah jawaban Dehan yang begitu cepat dan arogan, "Kenapa gak jadi? Ayo sekarang aja kalau gitu," ucapnya hati-hati, takut salah bicara.

"Aku bilang gak jadi, ya gak jadi!"

Nesya berani menjawab apa lagi kalau Dehan sudah berkata begitu. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah menghela napas berat, seberat memahami sifat suaminya.

"Yaudah kalau gitu," tanggapnya mengikut saja.

"Gak ada otak memang," dumel Dehan tiba-tiba.

Tentu saja Nesya terkejut mendengar lontaran itu. Perasaan, dia tidak salah apa-apa.

"Ma-maksud kamu ak...,"

"Bukan, tapi si Ilham Ilham itu!" sambar Dehan dengan giginya yang menggertak kesal. Bukannya terlihat menakutkan, malahan lucu jadinya.

Nesya tampak berpikir sejenak, kemudian tak lama setelah itu, tawa tertahan menyapa di wajahnya, "Heh! Itu Ustadz kamu, kok ngomongnya gitu."

"Biar aja, gak penting!" semprot Dehan terlihat semakin lucu.

"Ih, gak boleh gitu tau. Durhaka namanya,"

"Bilang aja kamu suka sama si Ilham,"

"HEH!" Nesya langsung mendelik tajam ke arah Dehan. Fitnah macam apa yang dilontarkan suaminya itu, benaknya.

"Iya kan, jujur aja kamu," cerocos Dehan semakin menjadi.

"Apasih, Dehan. Dia itu Abang aku."

"Abang apaan gitu, dasar! Kemarin Ali, sekarang Ilham. Besok siapa lagi?"

"Kamu."

Blus ...,

Pipi Dehan merona seketika. Ada apa dengannya, apa dia salting?"

"Ma-maksud kamu apa samain aku sama mereka," dumelnya tiada habis, namun kenapa jadi gugup begitu.

Nesya lalu menatap lekat wajah Dehan yang sudah tak karuan, "Benar, mana bisa disamain, kamu satu-satunnya."

Yang benar saja, pipi Dehan merona dua kali lipat. Sekarang sudah persis kepiting rebus.

"A-apaan sih, g-gak jelas banget," ucapnya gugup, bersamaan dengan tatapan matanya yang bahkan sudah tak menentu arahnya.

Nesya bukanlah gadis naif yang tak paham arti dari semua gestur itu, jelas ia memahaminya. Hanya saja ia lebih memilih diam sekarang, tak ingin menanggapi berlebihan dulu.

....

30 menit kemudian,

Dehan dan Nesya tiba di rumah. Semua rencana gagal, baik potong rambut, maupun makan siang di luar. Semua karena mood Dehan yang begitu menyulitkan, sudah seperti ibu hamil saja.

Nesya masuk duluan ke dalam, sedangkan Dehan memilih duduk bersantai di teras rumah. Menikmati matahari sore yang mulai condong ke arah barat.

Tanpa mengganti baju, Nesya langsung menuju ke arah dapur. Hendak menyiapkan makanan tentunya, karena suaminya itu belum makan siang. Untung saja ia sudah memasak sebelum mereka keluar tadi.

Tak berapa lama, sepiring nasi dan segelas air putih pun sudah sedia di tangannya. Kemudian tampak ia yang lanjut berjalan ke arah pintu depan, menyusul Dehan ke teras pastinya.

Sesampainya di teras rumah, ia mendapati Dehan sedang duduk di bangku, memasang wajah masam.

"Dehan, makan dulu," celetuk Nesya.

"Taruh aja di situ," balas Dehan tanpa menoleh, memaksudkan meja yang ada di sebelahnya.

"Yaudah, kamu makan ya segera," Nesya lanjut meletakkan makanan di atas meja. Dan langsung berbalik badan hendak beranjak masuk ke dalam lagi.

"Eh, mau kemana?" entah kenapa Dehan mencegat.

Nesya menoleh kebingungan, "Ke dalam, mau beres-beres."

"Terus aku gimana?" ucap Dehan tiba-tiba, seraya menatap sedih makanan di meja.

Tentu saja Nesya semakin bingung, "Apanya yang gimana, Dehan?"

Tiba-Tiba terlihat Dehan yang menyingkap sedikit lengan baju panjangnya ke atas, "Nih, kegores tadi pas markir mobil," ucapnya dengan nada terkesan dimanja-manjakan.

"Ya ampun, Dehan," tanggap Nesya pura-pura cemas saja. Padahal hanya ada sedikit goresan kecil disana, seperti goresan kucing saja.

"Apasih, lucu banget kalau dia gini," batinnya heboh kemudian.

"Jadi, kamu mau gimana sek...,"

"Ya, suapilah. Atau aku gak usah makan sekalian."

Senyum Nesya langsung tertahan melihat tingkah menggemaskan suaminya sedari tadi. Sepertinya ia memang sudah mendapatkan lampu hijau.

"Yaudah, aku suapi ya," ucapnya lembut, bersamaan dengan ia yang mengambil posisi duduk di bangku sebelah Dehan.

"Kalau gak sakit, aku juga gak bakal mau kayak gini segala," celotehnya masih saja mengedepankan gengsi.

Nesya hanya tampak tersenyum manis menanggapinya, "Iya, sakit banget pasti ya."

"Nah, makan," lanjutnya mulai menyuapi Dehan makan.

Dehan menerima suapan itu dengan lahap, namun wajahnya masih masam-masam saja sedari tadi.

"Kapan kamu jadi mau potong rambut?" Nesya mencoba mencari topik agar suasana tidak terlalu canggung.

"Gak tau, mungkin besok-besok."

"Iya, besok-besoknya kapan?"

"Ya, gak tau. Pokoknya besok-besok."

"Hm, okelah. Nih, makan lagi."

Dehan pun menerima suapan yang kedua kalinya.

"Ya ampun anak Mama mesranyaaa."

Uhuk...Uhuk....Byurrrr,

Semua makanan di mulut Dehan tersembur keluar, wajahnya panik memerah seketika. Hm, entah sejak kapan Mamanya berdiri disana.

Vote dan komen ya ❤

Bukan Santri IdamanWhere stories live. Discover now