Episode 23

630 72 13
                                    

"Fares, Ali, Aziz, kita pul...," suara seseorang tiba-tiba menyapa dari belakang.

Sontak saja semuanya menoleh ke sumber suara.

"Eh, Ustadz Ilham. Kami makan dulu ya Tadz bentar," jawab Ali dengan cengengesan.

"Hah?!" batin Nesya terkejut melihat sosok Ustadz Ilham yang berdiri di hadapannya.

Ya, selama ini ia belum tahu jika Ustadz Ilham ternyata mengajar di ponpes Dehan dan teman-temannya berada. Begitu juga sebaliknya, ustadz Ilham sama sekali tidak tahu jika suami Nesya adalah salah satu dari muridnya di ponpes.

"Ustadz, mari makan dulu," celetuk Dehan tersenyum sopan.

Ustadz Ilham pun reflek menatap ke arah Dehan yang belum ia sadari keberadaannya sedari tadi, "Loh, Dehan. Kamu disini juga ternya...,"

Srep ...,

Momen yang dinanti pun terjadi, pandangan ustadz Ilham tiba-tiba mengarah ke Nesya yang duduk berhadapan dengan Dehan.

Tentu saja seperti yang diharapkan, matanya kian membulat menatap Nesya.

"Nesya?!" sapanya tak biasa.

"I-Iya, Bang Ilham," balas Nesya begitu kaku, ia tak lagi terkejut karena sudah melihat duluan.

Srep ...,

Dehan dan ketiga sahabatnya langsung menatap tak biasa juga.

"U-Ustadz, kok bisa tau Nesya?!"

Ali langsung mengambil alih dengan segala ketidak mungkinan yang ia rasa.

"Tunggu...Tunggu, ada apa ini sebenarnya? Ijinkan saya yang bertanya duluan," tak perduli pertanyaan Ali, ustadz Ilham malah balik mengambil alih.

"Kalian kenal Nesya?" lanjutnya kemudian.

"Eh, atau gini...gini. Nesya, kamu kenal sama mereka?!" lanjutnya lagi malah terlihat kalang kabut.

"Loh, Ustadz gak tau?" lagi-lagi masih Ali yang menyambar.

Seketika raut wajah ustadz Ilham dilanda kebingungan luar biasa, "Maksudnya gimana?"

"Nesya kan istrinya Dehan, jadi jelas dong kami semua saling ken...,"

"HAH?!"

Belum siap menjelaskan, ustadz Ilham sudah memotong dengan heboh.

"Ustadz kenapa, boleh dijelaskan Tadz apa yang terjadi?" akhirnya Dehan buka suara juga setelah mengamati cukup lama.

"Duduk dulu, Bang," timpal Nesya, seraya menunjuk kursi di sebelahnya.

Kemudian terlihat ustadz Ilham yang menghela napas panjang, bersamaan dengan ia yang turut mengambil posisi duduk di kursi yang Nesya maksud.

Mendapati pemandangan itu, Ali, Aziz, dan Fares langsung turut menarik heboh kursi mereka ke meja yang sama dengan Dehan. Tentunya tak ingin ketinggalan berita.

"Ini Nesya, Adik saya. Kami sudah seperti keluarga sendiri."

"HAH?!"

Serentak terkejut dari Ali, Aziz, dan Fares. Sedangkan Dehan tampak tak bereaksi, entah apa yang dipikirkannya.

"Iya, kenalin, ini Bang Ilham," tanggap Nesya kemudian, tak mungkin ia mengabaikannya begitu saja.

"Nes, ke-kenapa kamu gak pernah bilang kalau kamu adiknya ustadz Ilham?" celetuk Aziz dengan raut wajah terkejut yang belum habis di wajahnya.

"Bukan gitu, masalahnya aku juga baru tau sekarang kalau ternyata Bang Ilham ngajar di Ponpes kalian. Selama ini aku taunya cuma ngajar di ponpes aja, gak pernah kepo soal penpes apa itu, dimana letaknya."

"Iyalah, orang pas Abang ditempatkan di ponpes mereka kemarin, kamu juga udah gak pernah pulang lagi, sibuk sama pernikahan kamu,"

Dengan akrabnya ustadz Ilham menyambar penuturan Nesya. Padahal di kalangan santri ia terkenal dengan julukan ustadz dingin.

"Mana ada, Bang. Kemarin kan Nesya pernah pulang satu kali."

"Pulang apaan, orang gak sempat ngobrol 10 menit udah ijin pamit aja."

"Ih, itukan karena ada urusan mendesak, Bang."

"Iya iya, pokoknya segera lagi lah main ke rumah. Ibu juga udah kangen banget katanya, apalagi anak-anak."

"Iya, Bang. Nesya bakal segera berkunjung."

"Nah, gitu dong. Nanti kita masak seru-seruan lagi bareng anak-anak."

"Ekhem ...,"

Dehan menyeletuk tiba-tiba, jelas terlihat itu kode yang disengaja.

Seketika semua mata menatap ke arah Dehan, wajahnya terlihat begitu dongkol. Hm, apa iya dia merasa cemburu?

"Eh, Dehan. Kenapa kamu tidak pernah cerita soal istri kamu," ucap ustadz Ilham sekedar berbasa-basi saja setelah dikode oleh Dehan barusan.

Sungguh, tatapan Dehan terlihat begitu malas. Tak ada lagi wajah-wajah santun seperti di awal tadi, "Mana mungkin saya curhat soal rumah tangga segala sama ustadz," balasnya terkesan ketus.

"Tidak masalah, saya terbuka pada semua santri saya. Apalagi kamu, sekarang hubungan kita bukan lagi sekedar guru dan murid."

"Iya, ustadz. Nanti kalau ada apa-apa saya bakal cerita."

"Bagus! Jaga Nesya baik-baik ya, saya sangat menyayanginya. Eh, maksudnya keluarga kami sangat menyayanginya."

"Dasar!" sarkas Dehan dalam hatinya.

Sepertinya ia sudah paham dari gelagat ustadz Ilham, sedangkan ketiga sahabatnya justru nampak asik-asik saja. Jelas saja mereka mengiranya hubungan seperti adik-abang pada umumnya.

"Kami besok ada acara di panti, kamu bisa usahain datang kan Nes?" ustadz Ilham melanjutkan obrolan tanpa menyadari perubahan sikap Dehan.

Bukannya langsung menjawab, Nesya malah melihat ke arah Dehan. Barang kali meminta pendapat.

"Kalau Dehan sepertinya gak bakal bisa hadir, kegiatan ponpesnya banyak," anehnya ustadz Ilham, ia terkesan seperti ingin menguasai semua obrolan.

"Bisa kok ustadz, nanti saya sama Nesya bakal datang kesana," sambar Dehan membungkam mantap.

Sontak raut wajah ustadz Ilham jadi tak karuan, "Oh, ba-bagus kalau gitu."

"Nes," panggil Dehan tiba-tiba.

"Iya, kenapa?" balas Nesya terdengar lembut.

"Ayo pulang, sayang. Mama tiba-tiba nyuruh kita ke rumah."

Srep ...,

Ali, Aziz, dan Fares langsung menatap tak bernyawa ke arah Dehan. Dalam benak mereka, sejak kapan ia menggunakan panggilan sayang itu, padahal baru kemarin ia memaki istrinya setiap hari.

Sedangkan Nesya, tidak bisa dipungkiri jika hatinya sangat bahagia akan hal itu. Sekiranya itu hanya ekting Dehan saja, ia akan tetap merasa bahagia karena Dehan sudah memperlakukannya baik di depan orang-orang, terlebih disitu ada orang yang sudah ia anggap sebagai abang kandungnya sendiri.

"Kami permisi dulu ya, Tadz, semuanya," lanjut Dehan, seraya meraih tangan Nesya untuk digandeng.

Ali, Fares, dan Aziz sedikit pun tidak bisa menjawab apa-apa, mereka hanya menatap Dehan dengan ekspresi yang sudah tak terjelaskan lagi. Sementara ustadz Ilham, menganggukan kepala dengan sedikit senyum tipis di wajahnya.

Vote dan Komen donggg biar semanagat!

Bukan Santri IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang