Episode 19

651 67 15
                                    

Mentari pagi kian menyapa, hujan semalam sudah sepenuhnya tiada. Kini yang tersuguh adalah telusupan sinar tajam dari tiap celah jendela.

Jarum pendek menunjuk di angka 07.00 wib. Ada Nesya yang sudah stand-by menyajikan sarapan di meja makan. Lengkap dengan gamis biru polos dan jilbab sarung khas rumahan.

Sejauh menikah dengan Dehan, belum pernah sekali pun suaminya itu melihat sehelai rambutnya. Baik dalam keadaan tidur maupun keadaan yang lainnya. Nesya selalu menjaganya, padahal sah-sah saja jika seandainya Dehan melihat, malahan lebih bagus. Tapi mungkin karena nasib pernikahannya yang malang, sehingga membuatnya merasa bahwa Dehan itu adalah sosok yang asing dalam hidupnya, bukan rumah yang bisa ia jadikan tempat pulang, apalagi tempat berlindung layaknya peran suami yang semestinya.

Namun meski demi kian, sekalipun ia belum pernah terdengar mengeluh, malahan mengurus keperluan suaminya dengan becus. Bukan karena ia bodoh, justru dengan sikapnya inilah bisa dinilai bahwa ia adalah sosok perempuan yang cerdas. Karena menurutnya, pernikahan tetaplah pernikahan. Dan tugas-tugas istri di dalamya harus ia jalankan.

Masalah suaminya mau membuka hati, sudah sedari awal ia serahkan pada Rabb-nya. Begitu juga dengan kebertahanan rumah tangga mereka, bertahan syukur, tidak bertahan ya tidak masalah juga. Karena sejauh yang ia tahu, ia sudah berjuang sebisanya. Sepenuhnya yakin jika Allah tidak pernah tidur.

"Nesya,"

Sapa seseorang tiba-tiba saat Nesya asik menuangkan air ke dalam gelas. Nada sapaannya terdengar ramah dan ceria. Yang tak lain pelakunya adalah Dehan. Hm, langka sekali.

Jelas terlihat jika Nesya mendongak setengah kaget, namun berusaha menanggapi dengan wajar, "Eh, iya. Ada apa?"

"Gak ada kok, manggil aja," balas Dehan santai, bersamaan dengan ia yang mengambil posisi duduk di bangku makan. Entah kenapa wajahnya begitu sumringah di pagi ini, tidak kesetanan seperti hari-hari kemarin.

"Nah, makan,"

Nesya menyodorkan sepiring nasi goreng toping paha ayam ke hadapan Dehan. Lalu mendekatkan gelas yang ia tuang air tadi juga sebagai minumnya.

"Makasih," ucap Dehan dengan senyum tipis sekilas.

Nesya tak menjawab, namun lagi-lagi dalam dirinya menjalar suatu perasaan aneh yang tak bisa terjelaskan. Apa iya dia mulai jatuh cinta dengan suaminya itu?

"Sarapannya dilanjut, aku mau nyuci baju dulu," terdengar suara Nesya setelah terdiam barusan sepersekian detik.

"Eh, duduk aja dulu, sarapan bareng,"

Sungguh tak disangka jika kalimat itu akan keluar dari mulut Dehan. Yang tentunya lagi dan lagi membuat perasaan Nesya panas-dingin.

"Lanjut a-aja, aku sarapannya nan...,"

Srep...,

Dehan menarik tangan Nesya yang hendak melangkah pergi.

"Duduk dulu, aku mau cerita!"

"Hah? Ce-cerita apa?" tanggap Nesya sudah tak karuan.

"Ckck..., makanya duduk dulu biar orang cerita."

"Iya iya," segera Nesya mengambil posisi duduk.

"Eh, tadi malam kamu dengar sesuatu gak?"

Dehan mulai bercerita dengan raut wajah yang begitu serius. Bahkan suapan nasinya sengaja ia hentikan.

"Hah? Dengar apa?" ditanggapi Nesya tak kalah seriusnya.

"Habis kamu tidur lagi kan, nah aku dengar suara aneh dari dekat jendela. Kayak suara orang melintas gitu, cuma sekilas."

"Haduh, mulai lagi," batin Nesya tiba-tiba, sungguh terlihat tak berselera lagi dengan topik cerita.

"Perasaan kamu aja kali, karena kebetulan lagi takut gitu makanya kebawa suasana," tanggap Nesya kemudian, tidak langsung mengungkapkan kejengahan isi hatinya.

"Enggak loh, ini ben...,"

"Udahlah, Dehan. Masa anak santri takut hal begituan, aneh kamu," semprot Nesya tak tahan juga akhirnya.

Dehan membisu seketika, bersamaan dengan matanya yang menatap kesal ke arah Nesya.

"Eh, bukan gitu maksudnya," celetuk Nesya yang merasa tak enak jadinya.

"Udahlah, aku pergi. Percuma juga cerita sama kamu," sambar Dehan dengan wajah marah namun menggemaskan. Kemudian langsung berdiri dari tempat duduknya.

"Eh, Dehan," panggil Nesya benar-benar merasa bersalah.

Dehan tak menggubris, ia langsung berjalan cepat ke pintu depan sana.

"Apaan sih, lucu banget. Bisa-bisanya orang seangkuh kamu punya sisi aneh begini," ucap Nesya dalam hatinya, sembari menatapa Dehan yang semakin menjauh.

***

Dehan sekarang sedang dalam perjalanan menuju ponpesnya, sekitar 5 menit lagi ia akan sampai. Sepanjang perjalanan, ia benar-benar mengumpat kesal terhadap Nesya. Rasanya harga dirinya turun saat Nesya mengatakan hal demikian, walaupun sebenarnya fakta. Tapi tetap saja ia tidak terima itu dengan posisi sebagai seorang suami dan santri.

"Awas kamu ya, Nesya. Nanti malam bakal aku kasih perhitungan biar tau apa itu arti takut. Haha, rasain kamu nanti malam!" ucap Dehan sendirian di atas motornya dengan tawanya yang tak jelas. Untung saja orang-orang sekitar tak memperhatikannya.

Srep....,

Tiba-tiba ia menepikan motornya, lalu menatap intens arah depannya dengan jarak sekitar 8 meter.

"Loh, itu kan Karina. Ngapain dia sendirian di tepi jalan pagi-pagi gini, samperin aja kali ya."

Dalam hitungan detik, motor Dehan sudah berhenti tepat di hadapan Karina.

"Rin," sapa Dehan langsung dengan ramahnya.

Yang disapa pun nampak terkejut, mungkin tidak menyangka jika akan bertemu Dehan, "Loh, Dehan. Kok kamu bisa ada disini?"

"Lah, ini kan jalan ke ponpes. Justru aku yang nanya kenapa kamu berdiri disini pagi-pagi gini?"

"Eum ... aku lagi nunggu taxi, dari tadi penuh semua yang lewat."

"Taxi? Buat apa taxi? Hayo, mau bolos ya pasti."

"Ya ampun, mana ada. Tadi Umi aku nelpon, dia lagi sakit katanya. Dan kebetulan bibi di rumah lagi pulang kampung, makanya mungkin Umi nelpon aku."

Raut wajah Dehan sontak tak enak dibuatnya, bercandanya barusan benar-benar tidak tepat posisi, "Astaghfirullah, Rin. Maaf, aku sama sekali gak tau tad..."

"Aduh ... gak masalah loh, Han. Kamu kayak sama siap aja ngomongnya."

"Eum, Rin," panggil Dehan tiba-tiba.

Karina menoleh sumringah walau dalam keadaan khawatir dengan keadaan Uminya, "Iya, kenapa Han?"

"Ayo aku antar aja, kasihan Umi kamu kelamaan nunggu."

"Aduh ... kayaknya gak usah, Han. Kamu kan mesti ke ponpes."

"Udah, itu urusan gampang. Ayo naik buruan."

"Be-benaran ini gak ngerepotin?"

"Sejak kapan kamu pernah ngerepotin dalam hidup aku."

Setelah itu, Dehan pun menjalankan motornya ke arah rumah Karina yang berjarak sekitar 20 menit dari ponpes.  Sementara Karina di belakang, senyum samar tak menentu disertai pipi yang sedikit merah merona.



Segera...,

Vote dan Komen, jangan lupa!

Bukan Santri IdamanWhere stories live. Discover now