🥀 || 11. Perpisahan Itu

Mulai dari awal
                                    

Gue sesak napas. "Najis!" Tapi, gue mendadak penasaran. "Kalau lo cewek, lo mau nikah sama gue?"

Daren mendelik dan mundur menjauhi gue di sofa. "Ogah! Perempuan penyayang sekelas Rara saja gugat cerai elo!"

Gue pengin meludahi mukanya. "Bajingan," gumam gue pelan dan dramatis.

Daren tertawa. Tawa yang tidak terdengar seperti meledek, justru penuh keprihatinan.

🥀

Buntu! Ruby benar-benar serius pengin cerai sama gue.

Seluruh teman-teman semasa SMA gue berkumpul di ruang VIP Dark Purple Cafe. Terdapat dua meja kayu bundar dan sofa setengah lingkaran yang mengelilinginya. Seluruh yang masih bisa dihitung jari.

"Lo sayang sama Rara, nggak, sih?" Si gadis albino itu menatap gue seperti ingin menghancurkan mata gue.

Gue mendengkus kesal. Kecintaan gue pada Ruby malah dipertanyakan. Gue akhirnya menjawab kalau Ruby itu lebih berharga daripada karir gue. That's truth. Wajah Ruby yang nggak berani gue lihat terang-terangan itu kelihatan menegang. Dia terkejut? Kenapa? Apa cinta gue seremeh itu di mata dia?

Gue ditarik menjauhi meja di mana Ruby berada ke pojok ruangan oleh Daren dan Gemma. Tapi, Sadewa yang tahu-tahu muncul mencuri start untuk bertanya.

"Kenapa sampai digugat cerai, sih, Zel? Goyangan lo kaku banget, ya?"

Daren tersedak saat Gemma membelalak.

"Bangsat!" rutuknya lalu Gemma menjitak bapak beranak satu, bermulut kurang ajar itu, dan memintanya menjauh.

Dari semua wajah di sini, wajah dia yang paling menjengkelkan. Gue nggak mengenal Sadewa selain sebagai ekor Keysha dan sekarang sebagai suaminya, dan ayah dari anak sahabat gue. Mereka sudah punya anak. Itu mengingatkan gue tentang hipotesis mengenai Ruby yang tertunda hamil. Mengingatkan kalau kehidupan gue kalah jauh dibanding kehidupan Sadewa. Ya, kehidupan bukan perlombaan dengan orang lain, tapi melawan kehidupan ideal saja gue tetap kalah.

Pandangan gue, Daren, dan Gemma tertarik pada Sadewa yang sedang menimang-nimang putrinya. Putrinya cantik sekali. Kenapa dia diajak, sih? Dia cuma bikin gue makin terhina.

"Gue nggak pernah bayangin Si Keysha yang married duluan," ujar Gemma.

"Ajaib," sambut gue.

"Gue juga nggak nyangka mereka bisa sampai ke jenjang pernikahan." Seperti disadarkan sesuatu, Daren menepuk tangannya ke depan wajah dan kembali menatap gue. "Tapi, bukan dia yang perlu bantuan."

Gue bergumam berat. "Bantuan apa, sih?"

"Lo sudah komunikasiin ini Rara?" Giliran Gemma yang menginterogasi gue.

Gue bersidekap. "Memang dia kasih kesempatan? Dia nggak ada diskusi dulu sama gue tahu-tahu bawa surat cerai. Apa yang mau gue bahas sama dia?"

🥀

"Lo harus mau!" Daren memaksa. Memamerkan kekayaannya lagi dengan cara menyebalkan.

Meskipun mulut gue menentang dengan segala alasan, hati gue meneriakkan sesuatu yang lain.

"Ngapain, sih, begituan?"

Ide bagus juga.

"Kita sudah terlalu tua buat pacar-pacaran!"

Nggak ada salahnya menyegarkan masa-masa awal kami menikah.

"Sekali enggak, ya, enggak!"

Bisakah gue memanfaatkan kesempatan?

Pagi itu adalah pagi pertama setelah kesepakatan tiga hari terbentuk. Tiga hari untuk berpacaran kembali dengan Ruby, tanpa membahas apa pun yang telah terjadi. Orang tua Daren sering melakukan ini setiap mereka bertengkar besar. Dan, upaya ini selalu ampuh menyelamatkan pernikahan mereka.

Keluar dari rumah orang tua gue, Ruby tampil sederhana dengan gaun putih selutut. Rambut sebahunya tampak lebih panjang ketimbang yang gue ingat. Dia melangkah ringan dan menebar senyuman. Mata sabitnya akan menyipit setiap dia melakukan itu. Gue suka.

Nada bicaranya seperti bisa dicecap lidah sebagai rasa manis. "Kamu yakin gapapa kayak gini, Hazel? Kerjaan kamu gimana?"

Gue tersenyum pendek. "I love you more than my carrier. That's not bullshits, Ruby."

Ruby terlihat berusaha menyamankan diri meski gue yakin jantungnya berdebar sama gilanya seperti milik gue.

Rasanya dua kali lipat lebih canggung ketimbang saat gue menemukan dia di kerumunan acara penghargaan dan mengajaknya menikah tanpa basa-basi. Come on, dia istri lo. Santai, Zel. Eh, masih, kan?

"Jadi, kamu mau ke mana?" Gue berdeham. "Sayang?"

Gue jarang menyebut panggilan ini karena terlalu berharga. Gue selalu ingin memanggil Ruby dengan ini di momen-momen spesial kami.

Dan, ini saatnya.

Momen-momen spesial yang mungkin akan jadi momen terakhir kebersamaan kami. Ditemani derum halus Porche, gue merasakannya.

Perpisahan itu.

🥀

Kalian capek nggak, sih, baca ini? 😂

Post: 23 Feb 2023

Red LightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang