Mendengar tentang bayi, sontak tangis Launa langsung terhenti, nafasnya perlahan menormal. Hal itu membuat Alzion tersenyum lega, pria itu merenggangkan pelukan dan menatap Launa dalam-dalam, lembut, penuh kasih sayang. Alzion masih tersenyum menenangkan, tak memperdulikan darahnya yang terus keluar dari pundaknya. Bibir pria itu memucat, namun tak terhiraukan.

"Kita baikan, ya? Mau?" Alzion mengerahkan kelingkingnya ke arah wanita itu, meminta maaf dan persetujuan. "Kita perbaiki sama-sama, kamu tidak mau kan kita seperti ini terus, hm?" Bujuknya, halus sekali.

"Baikan?" Tanya Launa pelan mengulang memastikan. Ia membalas tatapan Alzion tak kalah dalam.

Alzion mengangguk, pria itu tersenyum tulus. Jujur, ia lelah dengan segala drama yang diciptakannya. "Iya, sayang. Ayo kita berdamai demi mereka, anak-anak kita," kata Alzion mengusap perut buncit Launa. "Aku tidak mau mereka menanggung karma atas segala kesalahanku, aku ingin mereka lahir dan merasakan kebahagiaan."

Bayi dalam rahim istrinya adalah satu-satunya harapan yang Alzion punya untuk Launa mau menerimanya. Menerimanya sebagai Alzion yang mencintainya, bukan Alzion yang melukainya.

Launa mengedip pelan. Anak-anak kita? Apakah itu artinya Alzion telah benar-benar menerima anak dalam kandungannya dan mengakuinya juga sebagai anaknya? Tanpa sadar, Launa tersenyum lega. Ada kesenangan yang tidak ia tahu alasannya apa. Tapi, ia senang sekali saat Alzion mengatakan bahwa ini adalah anak-anak mereka.

Pria itu. Berhasil menciptakan roller coaster dalam dirinya, ia dapat menciptakan gelombang rasa yang berbeda dalam hitungan jamnya. Pria itu berbahaya, tapi sekarang Launa sudah bergantung terlalu jauh dengannya. Launa terjebak dalam ruangan gelap yang semula membuatnya ketakutan.

Tangan Launa perlahan naik, ia menekuk semua jarinya menyisakan kelingkingnya. Menaut melingkarkannya di kelingking Alzion.

Alzion tersenyum bahagia, jantung pria itu berdebar-debar berhambur bunga saking senangnya. Ternyata, salahnya yang sebesar samudra termaafkan oleh luasnya hati Launa. Ia menitikan air mata saking harunya. Alzion memang tidak pernah salah jatuh cinta, perempuan pilihannya adalah wanita paling baik di dunia.

"Kita baikan," gumam Launa menaikan pandangan menatap Alzion.

"Hm, kita baikan."

Tatap mereka mengunci lama, menerobos titik paling dalam bernamakan cinta. Dengan gelombang paling besar yang Alzion punya. Obsesi yang membara-bara itu kini telah dapat ditaklukannya. Dia memenangkan semuanya, terutama hati Launa yang menjadi alasannya bertahan dari semua hal paling menyakitkan yang dilaluinya.

Alzion memiringkan wajahnya, mempertipis jarak guna menemui bibir Launa yang dirindukannya. Ia memejam kala benda kenyal itu bersentuhan. Nafas Launa bagaikan aroma terapi yang menenangkan.

Perlahan, ia membuka bibirnya, mengerakannya penuh rayu dan kelembutan. Memberikan ciuman paling manis sebagai awal permulaan perdamaian. Dengan satu harapan, kebagiaan ini, akan bertahan lebih lama dari selamanya.

******

Di ruangan itu, Alzion duduk di atas meja sambil mengobati bahunya sendiri. Tak ada ringisan sama sekali, justru pria itu tersenyum tiada henti. "Untung aku tidak mati," gumamnya terkekeh sendiri.

Ia mengambil kasa baru, lalu membersihkan lukanya itu. Dan terus mengulangnya. Luka seperti ini sudah sering ia dapatkan, jadi ini sama sekali tak bermasalah baginya.

A Frozen Flower [ Terbit ]Where stories live. Discover now