33

57.3K 5.5K 1.5K
                                    

A Frozen Flower
Sekuntum bunga yang beku
🥀

•1,8k vote - 1,2k komen for the next chapter•

Peluru itu termuntahkan, tepat mengenai bahu Alzion. Keadaan hening seketika, dengan mata Launa bergetar menatap bahu Alzion yang berdarah-darah.

Pengang kupingnya mendengar suara laknat yang teramat menakutkan dalam rungunya. Launa membenci ini, Launa tak dapat mengendalikan dirinya. "Zion..." Launa menggeleng, ia melepaskan tangannya dari pelatuk itu. Menggigit bibir bawahnya sekuat mungkin, menahan ketakutan.

"Nggak, aku nggak maksud t-tadi—," Alzion sendiri tersenyum tipis, pria itu tidak kesakitan sama sekali. Tangannya terangkat mengusap pipi istrinya teramat lembut.

"It's okay sayang. I'm okay," bisik Alzion menenangkan. Ia menarik Launa yang bergetar ketakutan itu ke dalam pelukannya. Menenangkan istrinya lewat pelukan hangatnya. Ia usap rambut Launa pelan-pelan, dibarengi dengan senyuman yang tidak terartikan. "Jangan menangis, itu lebih menyakitkan dari luka ini sayang."

Launa semakin terisak, ia membalas pelukan Alzion erat-erat. Kecemasan itu datang lagi, bersamaan dengan rasa bersalah dan perasaan-perasaan lainnya yang membuatnya kesakitan dalam batinnya.

Alzion cemas, namun senyum tipis kemenangan terukir di bibirnya. Pria itu memejamkan matanya menikmati pelukan. "Tenang sayang, tenangkan dirimu. I'm okay."

"Kenapa kau melukai dirimu sendiri Zion?" ucap Launa lirih, menangis perempuan itu tidak mengerti akan keadaan hatinya yang semakin tak terkendali. Ia membenci pria ini, namun tangannya bergetar tak berani hanya untuk sekedar melukai. Launa membenci situasi ini.

"Itu sakit, itu pasti sakit..."

Alzion mengangguk pelan. "Hm, ini sakit sayang," katanya berbohong lagi. "Tapi aku tahu, Launaku yang cantik ini tidak akan mampu melukaiku, sedalam apapun kau membenciku." Alzion mengungkapkan, dengan sedikit kelicikan yang lagi-lagi ia teteskan dalam perkara permintaan maafnya. "Jadi biarkan aku yang menghukum diriku sendiri," bisiknya bernada sesal meminta ampunan.

Tentu saja Alzion tidak mau mati sia-sia. Ia sedari awal tahu kelemahan Launa. Melihat orang lain terluka saja Launa tak tega, bagaimana bisa ia mampu membunuhnya?

Alzion sendiri menjadi pelaku, ia yang menarik pelatuk itu sedikit menggesernya ke bahu dengan gerakan natural. Seakan lesatan itu meleset, padahal itulah niatnya.

"Maafkan aku...maafkan aku..." gumam Launa terhantam rasa bersalah. Sedikit guncangan trauma akan suara ledakan peluru membuat detak jantungnya berdebar-debar ketakutan. Ia meremat baju Alzion semakin kuat, menyalurkan kecemasannya di sana.

"Zion maafkan aku... aku nggak mau jadi pembunuh, aku nggak mau." Alzion membasahi sedikit bibirnya, ia melepaskan pelukan hendak menenangkan Launa yang ketakutan semakin menjadi-jadi.

"Baby... lepas dulu sayang." Launa menggeleng dan semakin mencengkram dalam pelukan.

"Aku nggak mau jadi pembunuh, aku bukan pembunuh Zion. Bukan..." racau Launa lagi. Alzion semakin tak tega mendengarnya. Anxiety Launanya kembali kambuh, dan itu karena dirinya. Bodoh. Ia sangatlah bodoh.

"Launa, my Love, listen to me. Launaku wanita paling baik, paling cantik, dan sempurna. Launaku bukan pembunuh, sayang. Bukan." Alzion mengecup pucuk kepala Launa dan kembali berkata, "Maaf karena aku lupa kau trauma dengan benda ini, sayang. Maafkan aku... okay? Sekarang tenang, ya. Kamu nggak mau bayi kita kenapa-napa kan?"

A Frozen Flower [ Terbit ]Kde žijí příběhy. Začni objevovat