"Tentu saja ketahuan," gumam Kai, menoleh ke kanan-kiri, "kita harus segera pergi dari sini, Rani. Cepat atau lambat, mereka pasti tahu bahwa kaulah yang menginfiltrasi dinding barat daya tadi."

Aku teringat pada sepeda yang kutinggal di bawah pohon. Para opsir yang menemukannya pasti akan langsung tahu bahwa aku berasal dari wisma. Dan kalau mereka sampai menggeledah kamarku, maka mereka akan melihat…

"Kai, bisakah kau mengantarku ke wisma lebih dulu?"

"Untuk apa???"

"Kita harus mengamankan jurnalku. Ada mantra-mantra di sana—"

"Oh, kau benar." Kai mengangguk. "Kalau begitu, bayangkan kamarmu dengan jelas, lalu pegang tanganku."

Aku mengangguk, mencoba menampilkan kamar nomor 48 di dalam benak. Kuraih tangan Kai, dan tiba-tiba saja dunia mengabur. Kami tak lagi berada di tengah hutan, melainkan berjalan dalam sebuah ruang hampa. Bukan di sini dan bukan di sana. Kemanapun aku menoleh, hanya ada pemandangan-pemandangan berkelebat, seperti tirai tipis yang disinari proyektor. Kebanyakan dari pemandangan itu tidak kukenali, seperti bukan pemandangan bumi.

"Kita di mana?" tanyaku lirih.

"Di antara dunia-dunia," jawab Kai. Sebelah tangannya bergerak, seolah sedang menggeser-geser tirai berpemandangan itu. "Tenang saja, selama kita bersentuhan, kau tidak akan tersesat. Oh, kita sudah sampai."

Kai menyibak sebuah tirai, dan tiba-tiba saja kami sudah berada di dalam kamarku. Menatap sekeliling, aku tercenung selama beberapa saat. Ini adalah pengalaman teleportasi pertamaku, dan butuh waktu untuk mencernanya sebagai kenyataan.

"Rani, apa saja yang kau perlukan? Ayo, cepat!" Kai mendesak. Ia mengambil langkah-langkah lebar untuk menyambar ransel hitamku yang tergeletak di pojokan.

Berusaha menguasai diri, aku mengerjap. Mulai mengumpulkan catatan-catatan penelitian dan semua buku jurnal yang kupunya, lalu kusurukkan ke dalam ransel. Semua alat tulis yang kupunya, dan beberapa baju—asal sambar saja. Gadget dan alat tulis menyusul setelahnya.

Memastikan tak ada yang tertinggal, aku mengangguk pada Kai. Tanpa mengatakan apa-apa, ia langsung menyambar tanganku dan kami kembali masuk ke dunia antara.

Kali ini, tirai-tirai bergerak lebih cepat di sekitar kami, seperti pemandangan yang lewat di luar jendela kereta. Mungkin Kai sedang mempercepat proses, karena wajahnya berkerut oleh konsentrasi. Tanpa sadar, aku menggenggam tangannya dengan lebih erat, tak mempedulikan dinginnya gelang baja yang melingkari pergelangan laki-laki itu.

Sedetik kemudian, kami sudah berpindah ke dalam habitat. Seharusnya, para Jaga masih berkumpul di meja makan, karena ini belum jauh dari jam makan malam.

Namun, ruangan itu… kosong.

"Kemana yang lain?!" aku bertanya tanpa guna, melongok satu-persatu jendela. Semua sel bersih, tanpa satu makhluk pun di dalamnya.

"Jangan-jangan mereka sudah diamankan," desis Kai, mengecek sel-sel lain.

"Apa yang harus kita lakukan se—"

Kalimatku tidak selesai, karena pintu ganda tiba-tiba saja terbuka. Seorang opsir muncul di ambangnya, tampak sama terkejut denganku. Sayangnya, si opsir yang lebih dulu sadar dan mengangkat senapan laras panjangnya.

"Awas!" Kai berseru, mendorongku ke samping tepat saat satu tembakan meletus.

Tubuhku terbanting ke lantai, setengah tersembunyi di balik meja. Meskipun begitu, aku masih bisa melihat si opsir, menodongkan pucuk senjata ke arahku sambil berbicara pada komunikator.

"Infiltran di habitat subjek, kode 10-34."

Kai melepaskan tangannya dariku, masih merunduk di bawah meja. Sedetik kemudian, dia sudah menghilang.

Aku membuka mulut untuk protes, namun tak ada suara yang keluar. Mataku masih tertuju ke popor senapan, sementara si opsir mengambil satu langkah lebih dekat…

Dan Kai menjelma di belakang si opsir, mengangkat kursi tinggi-tinggi dan mengayunkannya sekuat mungkin ke bawah. Refleks, aku memejamkan mata, tepat saat bunyi krak keras terdengar, disusul gedebuk benda berat tumbang ke lantai.

Kelopak mataku membuka, dan aku menjerit histeris saat menyadari bahwa wajah si opsir tergeletak tak jauh dariku, darah mengalir dari sisi kepala. Kai cepat-cepat menghampiri, menarikku berdiri.

"Kau baik-baik saja, Rani?"

"Ya," jawabku singkat, menunduk pada tubuh si opsir, "apa dia mati?"

"Mungkin." Kai membungkuk, menarik komunikator dari telinga tentara bayaran itu. Samar, terdengar suara-suara dari sana.

"Subjek sudah diamankan di Gajasura, ganti."

"Opsir Heru, kode 10-34 menuju habitat."

"Opsir Heru, Opsir Heru? Bantuan menuju habitat. Sekali lagi, Opsir Heru?"

Kai menjatuhkan komunikator ke lantai, dan menginjaknya sampai hancur. "Kita harus ke Gajasura sebelum para opsir datang ke sini. Rani, tidak bisakah kau mencari keberadaan yang lain?"

"Bagaimana caranya?"

"Gunakan mantra, atau sesuatu. Cepat, kita tidak punya banyak waktu."

Percaya pada instingku sebagai Pelindung, itu yang selalu Suho katakan. Maka aku mengambil pulpen dan meletakkan ujungnya di lengan bagian dalam, mulai menulis tanpa benar-benar berpikir.

Tunjukkan padaku keberadaan Agni.

Kalimat itu mulai berpijar, dan Kai menyambar tanganku. Satu tempat membayang di balik pelupuk mata, ketika pintu ganda terbuka lagi dan lebih banyak opsir berderap masuk.

Seiring dengan suara tembakan, kami kembali terlempar ke antara dunia-dunia.

Gajasura, Ravana Dasa Mining District, North Borneo [3°00'N 116°20'E]

"Sialan, sialan, sialan!" Chanyeol berseru, untuk kesekian kalinya memukulkan gelang besi ke lantai. Gelang itu bahkan sama sekali tidak penyok.

"Kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri, Chanyeol," tegur Suho dari pojok ruangan.

"Tapi kita harus melakukan sesuatu. Bagaimana kalau Kai dan Rani dalam bahaya?" gerutu Chanyeol frustasi, menjentikkan jari tanpa hasil, "mereka benar-benar melumpuhkan kekuatan kita!"

"Untuk ukuran seseorang yang selalu mengajak Rani bermusuhan, ternyata kau peduli juga padanya," goda Sehun, satu sudut bibirnya tertarik ke atas.

Ingin sekali Chanyeol berteriak kesal. Bagaimana bisa para saudaranya ini terlihat santai? Mereka sedang dikurung dalam sel Gajasura. Seluruh sisi dinding, hingga lantai dan langit-langit, dilapisi baja tebal. Pintunya rapat, hanya bisa dibuka dari luar.

Yang lebih parah lagi, hanya ada setengah dari para Jaga di sini. Chanyeol, Sehun, Suho, dan Kyungsoo. Setengahnya lagi dibawa ke sel lain, entah di mana. Sepertinya, para opsir memang sengaja memisah mereka agar tidak bisa kabur dengan mudah.

Di pojokan, Suho memejamkan mata. "Rani akan baik-baik saja. Atau setidaknya, kuharap begitu."

"Hyung—"

"Diamlah, Chanyeol. Aku mengantuk," gumam Kyungsoo, berbaring di sebelah Sehun. Tulang pipinya bernoda ungu pada satu sisi—hasil dari berusaha melawan opsir saat mereka dipindah dari habitat. Chanyeol yakin kulitnya sendiri pun sudah dihiasi memar dan lecet dimana-mana.

Chanyeol mengertakkan gigi, tidak menemukan cara untuk melampiaskan kekesalan. Ia menarik nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.

Namun, tiba-tiba sesuatu terjadi. Rasanya seperti dipanggil, tapi dia tidak mendengar namanya disebut. Celingukan bingung, Chanyeol berusaha mencari dari mana sensasi aneh itu berasal. Ia baru akan bertanya pada Suho, ketika dua sosok muncul begitu saja di tengah ruangan, yang satu jatuh tersungkur ke lantai.

Para Jaga melonjak berdiri, mata nanar pada Rani yang berseru kalut sambil memegangi bahu Kai.

"Tolong, dia tertembak!"

J A G AWhere stories live. Discover now