VII

55 22 2
                                    

North Borneo [3°00’N 116°20’E]

Keesokan harinya.

Sepanjang perjalanan dari wisma sampai fasilitas, aku dan Aditya tidak banyak berbicara. Benakku masih dipenuhi oleh cerita-cerita dalam artefak yang kemarin. Tentang para subjek penelitian Project Asura, dan Jaga yang disebut-sebut dalam manuskrip kuno.

Hari ini, aku langsung masuk ke Ruang Inventori dan memasukkan hasil penafsiran ke database proyek. Menurut Aditya, atasan-atasan memang lebih sering memantau pekerjaan bawahannya lewat database itu. Intinya, mereka tidak peduli bagaimana cara karyawan mereka bekerja, yang penting hasilnya sampai di database. Perintah-perintah kerja pun disampaikan lewat sana.

“Yang sering mondar-mandir disini ya karyawan-karyawan biasa seperti kita,” ucap Aditya saat aku bertanya soal itu, “bos-bos mah jarang kelihatan. Paling-paling cuma sampai Kepala Peneliti. Kabarnya sih, ‘orang-orang atas’ di proyek ini adalah orang-orang asing.”

Saat jam makan siang tiba, aku dan Aditya berjalan bersama ke gedung Gajapura, menuju kantin. Berjam-jam memasukkan laporan ke database membuat mataku sedikit berkunang-kunang, jadi aku sangat butuh istirahat.

Kami makan di meja pojokan, meja yang lama-lama menjadi kekuasaan kami berdua. Sesekali, beberapa teman Aditya akan ikut duduk dan mengobrol, tapi seringnya hanya ada aku dan Aditya saja di meja itu.

Karena itulah, saat seorang peneliti wanita mendekat, aku tidak menyangka dia akan memanggil namaku.

“Anggraini?” tanya si Peneliti, sedikit tidak yakin.

“Saya?” aku menyahut, refleks.

“Hei, Kak Lisa,” sapa Aditya. Orang yang dipanggil Kak Lisa itu mengangguk sekilas pada Aditya, lalu kembali berbicara padaku.

“Ada permintaan khusus dari subjek. Mereka ingin kamu yang membawakan makanan untuk mereka,” ujar Kak Lisa tanpa basa-basi.

Mendengar itu, alisku terangkat. “Aku? Kenapa aku?”

“Aku juga nggak tahu.” Kak Lisa mengangkat bahu. “Kamu nggak keberatan kan? Toh kerjaan kamu juga nggak sepadat kerjaan peneliti yang lain.”

Aku tidak sempat mengatakan apa-apa karena Kak Lisa sudah keburu menyambar lagi, “jam enam sore temui aku di dapur.”

Dengan itu, Kak Lisa berbalik dan pergi begitu saja. Aku berpandangan dengan Aditya.

“Mungkin subjek-subjek suka karena Kak Rani ramah sama mereka.” Laki-laki itu menawarkan satu alasan.

“Tapi itu kan cuma basa-basi standar. Memangnya orang lain gak pernah melakukan itu?” tanyaku bingung.

Aditya menggeleng. “Disini, orang-orangnya terbagi dua. Yang menganggap rendah subjek dan yang takut pada subjek. Dan faktanya, yang takut lebih banyak. Kalau Kak Rani sudah mengalami sendiri bagaimana saat mereka mengamuk, pasti Kak Rani juga takut.”

Aku mendecakkan lidah. Yang benar saja.

Pukul enam tepat, aku sampai di dapur Gedung Gajasura. Kak Lisa sudah menunggu, dan tanpa banyak bicara, ia menyerahkan setumpuk tray kepadaku. Tak lama kemudian, Danum dari lab empat juga muncul. Kak Lisa memberi tumpukan tray lain padanya.

Kami lalu menaiki mobil buggy sampai Gedung Bayasura. Sambil berjalan beriringan menuju sel subjek, Kak Lisa menjelaskan beberapa hal padaku.

“Makan malam subjek berbeda dengan makan paginya. Karena waktu makan malam adalah waktu bagi mereka untuk berkumpul dan keluar dari sel, jadi kita hanya masuk ke dalam habitat, meletakkan makanan di atas meja, lalu keluar. Tidak perlu berlama-lama kalau tidak ingin dikerjai subjek-subjek itu.”

J A G AΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα