XVII

52 18 0
                                    

Di dalam dinding [3°00'N 116°20'E]

Chanyeol membanting sendok ke tray makanan yang sudah kosong. Luka di lengannya masih berdenyut nyeri, meski Lay sudah melakukan semua yang ia bisa untuk menyembuhkan luka itu. Namun, tak banyak yang bisa dilakukan si Penyembuh saat gelang-gelang besi sialan ini menghambat kekuatannya.

"Ada apa, Chanyeol?" tanya Suho, kening berkerut halus, "tanganmu masih sakit?"

"Kalau iya, aku bisa memeriksanya lagi," Lay menawarkan.

"Tidak, aku baik-baik saja." Chanyeol menggeleng. "Hanya sedikit terganggu dengan nyerinya, tapi ini sudah jauh lebih baik."

"Kau beruntung hanya terserempet peluru, bukan benar-benar tertembak," ujar Lay lagi, "aku tidak yakin bisa membantu banyak kalau peluru itu bersarang di sana."

Chanyeol tidak sempat menjawab, karena Kai tiba-tiba melompat berdiri, mengagetkan semua yang ada.

"Apakah kalian merasakan itu?" tanya Kai dengan mata nanar.

"Merasakan apa?" Suho balik bertanya.

"Mantra pengekang yang mengelilingi fasilitas ini… mantra itu hilang."

"Apa? Bagaimana mungkin?"

"Hanya ada satu kemungkinan…" Kai menoleh pada Chanyeol, yang baru saja terpikir pada satu nama. Satu-satunya orang yang bisa menghapus sigil-sigil pengekang di sekitar fasilitas.

"Rani."

Detik ketika Chanyeol mengucapkan nama itu, bunyi sirine bergaung lantang. Kali ini, bukan hanya Kai, tapi hampir semua Jaga melompat berdiri. Lampu-lampu berkedip, cahayanya berubah warna menjadi merah terang. Speaker berkeresak, dan suara peringatan terdengar berulang.

"Infiltran, infiltran di dinding barat daya sektor C. Sekali lagi, infiltran di dinding barat daya sektor C."

Kengerian merayap ke tengkuk Chanyeol, menyadari apa yang sedang terjadi. Tanpa sadar, ia berseru, "Rani! Dia pasti butuh bantuan!"

"Aku akan ke sana!" sahut Kai sigap, dan tiba-tiba saja, dia sudah menghilang.

Di luar dinding [3°00'N 116°20'E]

Aku berlari tanpa memikirkan arah, yang penting menjauh dari kejaran para opsir. Masuk kembali ke dalam hutan, mengabaikan semua tengara yang kubuat tadi.

"Di sana! Dia mengarah ke sana!"

"Hei, berhenti!"

Sebuah perintah yang percuma. Mana ada orang yang berhenti dengan sukarela saat dikejar? Aku menyumpah dalam hati, mempercepat lari. Derap langkah para opsir terdengar jauh lebih keras dalam kepalaku, seolah mereka persis hanya satu langkah di belakang.

Nafasku mulai terengah, dan tenagaku menurun drastis. Bagaimanapun, aku adalah seorang arkeolog, bukan atlet maraton. Tubuhku punya batasan, jauh lebih rendah daripada para opsir yang memang dilatih sebagai tentara bayaran.

Ketika aku tidak mampu lari lebih jauh lagi, sepasang tangan menarikku ke belakang pohon besar. Aku menjerit, hendak meronta kalau saja tidak mendengar suara yang familiar.

"Rani, ini aku. Kai."

Barulah mataku terfokus pada wajah itu—wajah yang juga kukenali. "Kai! Kau berhasil teleport ke luar fasilitas!"

Laki-laki itu nyengir boyish. "Semua karena perjuanganmu. Apa yang kau lakukan sebenarnya?"

"Menghapus sigil. Tapi entah bagaimana, aku ketahuan."

J A G ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang