XIII

54 19 1
                                    

North Borneo [3°00' N 116°20' E]

Sepanjang hari berikutnya, aku tidak bisa menghilangkan gelisah. Jemariku bergetar halus dari waktu ke waktu, seolah ada ancaman yang mengintai. Bahkan aku hampir menjatuhkan piring saat mengambil makan siang di kantin.

"Ada apa, Kak?" tanya Aditya, memegangi piring sebelum sempat terlepas dari tanganku. "Kayaknya hari ini Kakak sedikit nggak fokus. Banyak kerjaan?"

"Kira-kira begitu," jawabku sekenanya.

"Kalau aku jadi Kak Rani, mungkin aku udah pulang aja ke wisma."

"Nanti kerjaanku malah makin nggak selesai."

Aditya tidak banyak berkomentar lagi, dan kami makan siang seperti biasa. Sebenarnya, benar kata Aditya. Tidak akan ada yang peduli kalau aku membolos barang setengah hari. Belum ada artefak baru yang menjadi fokus para petinggi, jadi sebagian besar waktuku dihabiskan untuk mengatalog yang sudah ada.

Namun, sejak apa yang terjadi pada Chanyeol dan gelang talu mantra, tanpa kusadari aku semakin hati-hati dalam memasukkan informasi apapun ke database. Jika ada hal-hal yang mungkin bisa digunakan untuk menyakiti para Jaga, aku hanya mencatat di jurnalku sendiri. Memastikan kejadian kemarin tidak akan terulang lagi.

Kuharap, ini bisa menjadi awal tugasku sebagai Pelindung—mengendalikan apa yang aku tulis untuk melindungi Jaga.

Ketika sore menjelang, aku kembali menyelinap ke Bayasura. Menggunakan ID card untuk masuk, tepat saat pintu-pintu sel terbuka. Para Jaga melangkah keluar, satu-persatu. Suho tersenyum santai padaku, memberi gestur ke meja panjang agar aku duduk.

Tapi mataku sudah lebih dulu tertuju pada Chanyeol, yang melangkah tersaruk-saruk. Wajahnya jauh lebih pucat dari biasa, dan aku bisa melihat tanda kemerahan dari balik gelang besinya. Matanya sudah kembali ke warna onyx, melirikku tajam. Hanya sepersekian detik, sebelum ia mengalihkan pandang dan duduk di meja putih seolah aku tak ada di sana.

Dia pasti sangat marah padaku, tapi aku tidak tahu harus mengatakan apa. Sejak awal, Chanyeol memang keberatan dengan kehadiranku di antara mereka, dan apa yang terjadi kemarin seolah membuktikan semua kecurigaannya.

"Hei, Rani. Bagaimana harimu?" tanya Baekhyun tiba-tiba, meletakkan sesuatu yang terbungkus tisu di depanku.

"Hariku tidak terlalu baik," aku menjawab sambil meraih benda itu, "ini apa?"

"Roti dengan selai stroberi, sisa makan malam kami tadi," kata Baekhyun riang, "aku selalu merasa lebih baik setelah makan makanan enak, jadi kuharap itu juga bisa membuatmu sedikit tersenyum."

"Kau baik sekali."

"Jadi, bagaimana? Sudah siap untuk pelajaran pertama menjadi Pelindung?"

"Sejujurnya, belum."

"Tidak perlu terlalu tegang." Suho mendekat, meletakkan sebuah buku sementara aku menggerigiti roti dari Baekhyun. Itu bukan buku tulis, tapi buku bacaan. The Merchant of Venice, yang halamannya sudah menguning. "Mereka tidak pernah memeriksa buku-buku fiksi yang kupunya, jadi ini aman. Tuliskan sesuatu di sini, Rani."

"Tulis… apa?" tanyaku ragu, mengeluarkan pulpen, "sudah kubilang, aku tidak tahu apapun tentang tugasku sebagai Pelindung."

"Kau mungkin tidak tahu, tapi darah itu mengalir dalam dirimu." Suho duduk di sebelahku. "Sekarang, lepaskan benakmu dari pikiran apapun. Biarkan kekuatanmu lepas."

Demi seluruh semesta dan penciptanya, aku tidak mengerti apa yang Suho katakan. Meskipun begitu, aku tetap meraih pulpen dan meletakkan ujungnya di lembaran buku. Mataku hanya menatap, bibir terkatup sambil berusaha mengosongkan pikiran. Membiarkan insting dan kekhawatiran berkecamuk di dadaku.

J A G AWhere stories live. Discover now