Tagetes

659 116 10
                                    

Seminggu setelah kejadian besar itu, mereka tidak berkomunikasi sama sekali. Janu tak menghubungi Na Ra, begitu pun Na Ra. 

Na Ra justru sibuk dengan pekerjaannya. Beberapa kali keluar kota demi menyukseskan pemasaran produknya. Namun dibalik itu semua, Na Ra sedang berlari dari kenyataan. Ia membunuh rasa bersalah sekaligus rindu kepada Janu dengan bekerja tak mengenal waktu.

Na Ra memang munafik. Ia masih mencintai Janu. Namun ada batu besar yang membuat dirinya memilih berhenti di titik ini. Ia hanya berharap, dengan bekerja keras, maka semua rasa rindu dan cintanya terkikis. Namun ternyata, ketika ia sendirian, ia selalu teringat Janu.

Na Ra selalu berandai jika ia akan bersama dengan cinta pertamanya. Namun espektasi itu kini tinggal kenangan. Na Ra harus mampu menjadi dirinya sendiri. Ia harus mengubur dalam-dalam apa itu cinta dalam hidupnya.

"Ibu, jadwal selanjutnya adalah rapat dengan manager pemasaran. Masih ada waktu sekitar setengah jam."

Na Ra tersentak dari lamunannya. Ia mengangguk kecil dan kemudian sekretarisnya meninggalkan ruangannya. Ia lantas mengembuskan napasnya panjang. 

Waktu setengah jam cukup bagi Na Ra untuk makan sekaligus beristirahat sejenak. Na Ra memakan bekal makan siangnya. Ia memasak nasi merah dengan lauk semur daging dan sayur brokoli. Tak lupa ia membawa buah yang sudah dipotong-potong. 

Sembari makan, Na Ra menghubungi Meli. Ia rindu dengan sahabatnya itu. Sudah lama mereka tak bertemu. 

"Yaa! Na Ra Kim! Akhirnya lo inget gue juga. Dasar!"

Pertama kali yang diucapkan Meli bukanlah salam, tetapi omelan dengan suara lantang. Hal tersebut membuat Na Ra menjauhkan gawainya sejenak.

"Mianhae, Meli. Kemarin aku lagi rapat, makanya aku tolak teleponmu. Pas udah selesai, aku telpon kamu malah kamu off. Ya udah baru bisa sekarang."

"Gue tuh khawatir sama lo. Lo chat gue katanya lagi galau. Mau langsung nyamper lo, tapi gue masih di luar kota." Meli sekarang sibuk sebagai tim marketing dan sales hotel ternama di Jakarta.

"Gimana sekarang? Masih galau? Lo kenapa?"

"Nanti malam tidur di apartemenku, ya?Please, temenin aku. Nanti aku cerita."

"Ada apa sih, Ra? Gue kepo banget tau."

"Makanya nanti dateng, biar nggak penasaran," sahut gadis itu kemudian. 

"Iya deh iya. Gue dateng asal nggak lo kasih kimchi aja, sih." Na Ra seketika tertawa. Meli sudah bosan dengan kimchinya. Padahal ia baru saja dikirim sang bibi kimchi dua box berukuran sedang. 

"Nanti aku masakin. Kol?" (Setuju?) 

"Kol!!" sahut Meli dengan semangat dan membuat Na Ra menjauhkan gawainya karena suara Meli yang kencang. 

"Kalau gitu aku matiin dulu ya, Mel. Aku mau meeting habis ini."

"Okay bestie. Tunggu gue nanti malam, ya. Semangat kerjanya! Biar bisa nonton konser sama gue. Eh gue yang harusnya dikasih semangat. Duit lo mah udah banyak," sahut Meli dengan gayanya dan Na Ra hanya terkekeh pelan.

Sambungan telepon mereka terputus. Na Ra menghabiskan makanannya yang terasa hambar di lidahnya. Ia tak nafsu makan, namun memaksa diri untuk makan supaya badannya kuat dan ternutrisi. 

Sementara itu, di tempat tak jauh dari kantornya karena hanya berjarak tak lebih 30 km, Janu tengah duduk di kantin setelah menyelesaikan makan siangnya. Setelah pertengkaran yang tak masuk di akalnya, Janu menjalani hidup seperti biasa. Namun begitu, hatinya tak nyaman. 

Menghitung KarsaWhere stories live. Discover now