Rosa alba

652 116 5
                                    

"Soto lagi?"

Suara penuh keheranan keluar dari mulut Meli. Saat ini mereka tengah makan siang di salah satu restoran kuliner Betawi.

"Nggak ada bosen-bosennya lu? Heran gua dah."

"The most suop delicious adalah soto. Apapun sotonya, pasti enak," belas Na Ra dengan lugas.

"Oh iya?"

"Dan lo kayaknya mati kalau nggak ada soto. Kalau kayak gitu mending kita makan sushi aja tadi," gerutu Meli kembali. Ia bosan dengan pilihan menu Na Ra. Setiap mereka bertemu untuk makan di restoran, pasti Na Ra memesan soto jika di restoran tersebut terdapat menu soto.

Mereka makan siang bersama di restoran yang dekat dengan tempat kerja Meli. Sengaja Na Ra meluangkan waktunya. Ia tak bisa terus-terusan mengabaikan dirinya sendiri. Jika bukan dirinya sendiri yang peduli terhadap dirinya, siapa lagi?

"Tumben akhir-akhir ini sering ngajak gue makan? Kenapa?" tanya Meli tiba-tiba.

"Pengen aja. Setidaknya kalau aku mati besok, aku masih ada kenangan yang baik sama kamu. Ya contohnya makan siang gini."

Meli yang baru saja mengunyah, seketika menghentikan kunyahannya. Gadis itu menatap Na Ra dengan pandangan tak percaya.

"Lo kok ngomongnya gitu sih? Lo kena kanker?"

Refleks Na Ra terkekeh dengan pertanyaan Meli.

"Anjir kenapa malah ketawa? Gue nggak lagi becanda!" sahut Meli dengan nada naik. Gadis itu tak habis pikir dengan pemikiran Na Ra.

"Nggak, Mel. Namanya kematian itu nggak ada yang tahu."

"Kenapa? Sini cerita," ujar Meli saat melihat raut wajah Na Ra yang berubah menjadi tenang.

"I am okay. Tapi terkadang aku merasa bahwa kalau aku terus-terusan kayak gini itu perlahan membunuh diriku sendiri. Kerja nggak kenal waktu, mengabaikan kesehatan, dan belum masalah hidup, aku sepertinya punya peluang besar buat mati muda. Makanya setelah aku sadar bahwa aku sendiri dan hanya punya diriku seorang, aku mau buat kenangan yang indah di masa muda. Nggak melulu kerja, rapat, dan pusing mikirin kerjaan. Pengen bawa santai aja."

Meli langsung mendengus keras. "Lu mah bebalnya minta ampun! Kalau nggak sekarat, nggak mau minum obat. Punya ambisi boleh, tapi jangan ngorbanin diri lo sendiri, Kim Na Ra. Emang ya beda banget dengan keturunan klan Gyeongju satu ini."

"Emang ada apa dengan klan Gyeongju? Who cares?"

"Peduli, lah. Menurut sejarah Korea, klan Kim Gyeongju mengklaim memiliki nenek moyang dari wangsa Kim kerajaan Silla. Artinya lo masih keluarga-"

"Enough, Mel," potong Na Ra dengan cepat. Wajahnya sudah menunjukkan muka malas. Gadis itu lalu mengembuskan napasnya panjang.

"Kadang aku merasa lelah banget. Pengen istirahat, pengen berhenti, tapi nggak tahu gimana caranya. Aku mau mati tapi takut juga dengan kematian."

Meli menatap Na Ra dengan seksama. Tak lama kemudian, Meli mengembuskan napasnya panjang.

"Gwaenchanha." Na Ra tersenyum menyakinkan pada Meli. (Aku tidak apa-apa)

"Lanjutkan makannya. Aku nggak mau buat kamu kepikiran lagi sama masalahku. Udah banyak kamu merasakan sedih sama aku, Mel. Nggak bisa aku balas jasamu."

Meli berdecak keras. "Lo ngomong apa sih? Gue 'kan udah bilang kalau gue lebih suka lo yang terbuka sama gue."

"Lo juga udah tahu segalanya tentang gue. Kita udah sama-sama berbagi, Na Ra. Jadi lo nggak perlu merasa sedih dan nggak enak sama gue."

Menghitung KarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang