Bab 4 - Kucing

147 34 22
                                    

Sebagai makhluk, aku tak bisa memilih takdirku. Termasuk saat Tuhan memberiku tugas menjadi induk dari empat makhluk mungil yang kini mengeong lapar di hadapan.

Kardus kusam yang sudah lembab berbau apak menjadi tempat tinggal kami sejak aku melahirkan mereka minggu lalu. Ada manusia yang berbelas hati meletakkan kain di kardus dan membiarkanku bertaruh nyawa sendirian dengan cukup nyaman di sini.

Akan tetapi, manusia itu tak lagi hadir membantu, hingga akhirnya sisa darahku pun mengering dan berbau. Rintihan keempat bayiku terasa menyiksa batin. Namun, bukankah hidup adalah rentetan ujian demi ujian hingga kita tutup usia?

Aku menjilati wajah mereka penuh kasih, tapi itu tentu saja tidak bisa menghilangkan lapar. Aku mungkin bisa memberikan kalimat-kalimat agar mereka bersabar, bahwa ini memang takdir terbaik dari Tuhan. Namun, apa pemilik perut-perut mungil itu bisa mengerti?

Tidak.

Mereka terlalu kecil untuk memahami betapa kerasnya kehidupan. Orang tua lah yang harus pelan-pelan mengajari cara bertahan mengarungi badai ujian dunia.

Sayangnya, aku harus berjuang sendiri. Ayah mereka baru saja mati tergilas truk kala mengejar tikus untuk makan malam kami. Sebagai satu-satunya induk yang tersisa, aku harus tegar.

Bukankah Tuhan menjamin tidak akan memberi ujian yang tidak bisa ditanggung makhluk-Nya?

Ada rasa gigil sisa hujan tadi pagi. Bulu basah yang membuatku menyerap dingin lebih banyak. Apa aku boleh berharap bisa meneguk minum susu hangat atau mengunyah ikan segar? Ataukah harapan itu sama dengan tidak merasa bersyukur dengan rezeki yang Tuhan beri?

Aku mendongak ke langit yang masih menggatungkan duka seolah merengkuhku yang masih bimbang melangkah. Aku masih tak sanggup berburu. Tubuhku rasanya seperti seonggok kayu yang terlalu berat untuk digerakkan.

Nafsu makanku hilang. Setiap aku mengais sampah mencari makan, aku hanya mampu memuntahkannya kembali. Kepalaku berkunang-kunang. Anak-anakku tampaknya tidak mungkin memakan makanan yang tidak layak itu.

Aku harus bagaimana? Bukankah Tuhan menjamin rezeki setiap makhluk-Nya? Apakah karena aku dinilai kurang berusaha hingga makan pun sejak pagi tak kudapati?

Dengan perasaan campur aduk, aku pun kembali menjilati keempat anakku dan meminta doa tulus mereka agar aku bisa pulang membawa sedikit makanan.

Kakiku pun melangkah sembari mengedarkan makanan. Berharap ada pedagang sayur yang masih membuang kepala ikan, atau sisa-sisa potongan daging ke tanah. Namun, aku lupa kalau hari sudah hampir senja. Tidak ada lagi pedagang sayuran.

Lalu aku harus bagaimana?

Dengan gontai aku menyusuri rumah demi rumah yang menguarkan aroma lezat, tapu pintu mereka tertutup rapat. Seandainya ada yang sudi berbagi sedikit saja rezeki mereka padaku, aku akan sangat berterima kasih.

Akan tetapi, aku tahu bahwa tidak boleh mengemis. Tuhan tidak suka hamba-Nya meminta-minta. Lalu aku harus bagaimana?

Pandanganku tertumbuk pada sebuah jendela yang terbuka lebar. Aroma lezat terhidu sempurna.

Tanpa sadar aku melompat masuk mencari di mana asal aroma penggoda perut itu. Mataku membeliak. Ada dada ayam besar di wajan yang belum menyala. Tampaknya pemiliknya sedang sibuk mengulek bumbu.

Sementara itu aroma pindang tongkol di rak tampak menggoda. Jaraknya lebih jauh, tapi pasti lebih lezat daripada yang masih mentah di wajan.

Lagi-lagi insting membuatku melompat turun dari jendela tanpa suara. Mengendap perlahan menuju dapur.

Akan tetapi, batinku meronta. Apa benar aku harus mengambil apa yang bukan hakku? Apa benar anak-anakku akan senang jika makan mereka adalah hasil curian?

Aku tak punya cara! Hatiku seolah membantah keraguanku sendiri. Kalau aku tidak mencuri, mereka bisa mati!

Saat itulah instingku memberi alarm bahaya. Suara langkah sandal yang setengah diseret di lantai terdengar.

Jantungku berdebar keras. Aku harus segera mengambil keputusan!

Ayam atau ikan?

"NGAPAIN KAMU, CIING!"

Dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki, aku pun melompat menjauh tanpa mengambil satu pun. Aku tidak boleh merampas yang bukan milikku! Meskipun selapar apa pun perutku.

Napasku memburu ketika aku tersaruk-saruk menuju tempat anak-anakku tertidur.

Kelelahan….
Kelaparan….

Aku ingin tidur saja. Tidur panjang yang lelap.

Namun, bukankah aku tidak boleh menyerah? Demi anak-anak yang dipercayakan kepadaku.

Aku mengeong lirih menumpahkan segala lara di dada. Anak-anakku di depan sana. Namun, aku seolah tak lagi punya tenaga untuk bergerak. Langkahku semakin lambat dan akhirnya aku tersuruk di tepi jalan.

"Astagfirullah! Ada kucing sekarat, Dik!" Suara seseorang terdengar. Aku bahkan terlalu lemah untuk membuka mata melihat siapa yang bicara.

"Ya Allah… itu anak-anaknya, Mas? Kurus semua. Kasihan."

Aku berusaha menjawab, tapi leherku seperti tercekik.

"Kita pelihara saja, ya, Mas? Kasihan."

"Semua?" Sejenak suara pria itu terdiam sebelum berkata, "Baiklah. Anak-anak InsyaAllah juga akan senang."

Kepalaku semakin terasa berat sebelum terdengar suara manusia perempuan berkata, "Beristirahatlah, Kucing Hebat. Kami akan merawat anak-anakmu."

Ya … Tuhan pasti menjamin rezeki bagi setiap hamba-Nya. Rezekiku hanya sampai di sini. Kini, anak-anakku lah yang akan mendapat rezeki mereka. Entah itu sedikit atau banyak, pastilah itu yang terbaik.

Terima kasih … aku sekarang akan beristirahat.

“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezkinya sendiri

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(QS. Al Ankabut: 60).

Dari event Swap Idea NPC2301

Uname: Catsummoner
Prompt:
Antara dada ayam di wajan atau pindang tongkol di atas rak, Oyen tidak bisa memilih, padahal suara langkah sandal karet yang sering digunakan untuk menyambitnya sudah mendekat. Ngeongan manis dan manja para cemengnya yang kelaparan dalam kardus terngiang, Oyen harus segera menentukan pilihan.

Bertunas Setiap HariDonde viven las historias. Descúbrelo ahora