Episode 9

647 71 2
                                    

Malam hari kembali menyapa, jarum pendek menunjuk di angka 20.00 wib. Sekarang di luar sedang hujan lebat.

Dalam sebuah rumah megah, terlihat sosok Dehan yang mondar-mandir di teras rumah. Raut wajahnya begitu gelisah, sembari sesekali menggigit jemarinya. Sedang apa di teras rumah malam-malam begini dan juga dalam keadaan hujan lebat.

"Duh, kemana sih tu anak?! Masa dari pagi belum pulang juga. Apa jangan-jangan dia benaran pergi?"

"Mampus kalau dia benaran pergi, aku bakal dimusuhi Mama sampai kiamat."

"Duhhh, pusing!"

"Mana laper lagi, belum makan dari siang tadi,"

Itulah umpatan-umpatan yang terdengar dari mulut Dehan sembari terus mondar-mandir di teras rumah.

Oh, rupanya Nesya belum pulang juga sedari pagi tadi, sehingga itu yang membuat Dehan gelisah. Sepertinya dia gelisah bukan karena takut kehilangan Nesya, melainkan takut dimarahi Mamanya.

.....

Sementara itu di tempat lain, ada Nesya yang sedang duduk menyendiri di ruang tengah sederhana panti asuhan mereka. Dia sedang asik membaca buku di tangannya. Sepertinya ia memang tidak berencana pulang malam ini. Atau jangan-jangan ia memang ingin menghilang selamanya dari kehidupan Dehan.

"Ekhem,"

Tiba-tiba seorang laki-laki tampan menghampiri Nesya yang sedang asik membaca. Laki-laki itu mengenakan baju koko biru muda, dan sarung abu-abu yang terlilit rapi, serta peci hitam mengkilat yang begitu berkarisma di kepalanya. Wajahnya tampak begitu berseri, aura kelembutan terpancar jelas dari dirinya. Kalau dilihat-lihat, usianya memang berada sedikit di atas Nesya.

Nesya menoleh sedikit kaget terhadap laki-laki itu, ia langsung berdiri dan merapikan pakaian yang sebenarnya tidak berantakan.

"Assalamu'alaikum," sapa laki-laki itu terdengar riang, bersamaan dengan senyum manis yang menghias kedua sudut bibirnya.

"Wa'alaikumussalam,"

"Eh, u-utadz Ilham," balas Nesya tampak grogi.

Oh, rupanya laki-laki tampan ini adalah seorang ustadz. Pantas saja wajahnya begitu berseri, dan pantas juga Nesya terlihat segan dan gugup.

"Tadi saya dapat kabar dari Bu Ratih kalau Nesya berkunjung kesini, makanya buru-buru pulang mengajar," celetuk laki-laki itu yang ternyata bernama Ilham, lengkap dengan senyum riang yang tak kunjung memudar dari wajahnya sedari tadi. Sepertinya itu bukan senyuman biasa, melinkan memiliki arti khusus.

"Oh i-iya ustadz, Nesya disini udah dari pagi tadi," balas Nesya masih terlihat gugup.

"S-silahkan duduk, ustadz," sambungnya dengan menunjuk bangku di hadapannya.

"Kenapa sekarang jadi manggil ustadz, ganjel di telinga tau dengarnya," ucap Ilham dengan lagak bercanda, sembari mengambil posisi duduk di bangku yang Nesya tunjuk tadi.

Nesya tampak menggaruk kepalanya yang tak gatal, kegugupan di wajahnya semakin tak terkontrol, "Kan m-memang udah j-jadi ustadz sekarang, udah ngajar juga di ponpes kualitas unggul. Jadi Nesya harus menyesuaikan keadaan, panggil ustadz biar sopan."

Ilham terkekeh mendengar alasan sederhana Nesya, sembari menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, "Udah, panggil kayak dulu aja, Bang Ilham."

"t-tapi kan gak sop....,"

"Kalau Nesya manggil ustadz, rasanya jauh banget. Saya gak mau karena kita adalah keluarga, mengerti Nesya!"

Hm, Nesya bisa menjawab apa lagi kalau laki-laki tampan di hadapannya itu sudah berkata demikian, "Yaudah deh, Bang Ilham."

Bukan Santri IdamanWhere stories live. Discover now