MOMEN LIMA - SURPRISE

Depuis le début
                                    

"Ma ...."

Ucapan dari luar kamar membuat Ami buru-buru menyusupkan foto Lelaki itu ke bawah bantal. Dia juga mengusap air matanya. "Iya, Sayang. Masuk."

Pintu kamar terbuka. Kelana membawa nampan yang di atasnya berisi segelas air putih serta beberapa plastik obat. "Mama kelupaan buat minum obat kan? Obatnya malah disimpen di atas TV."

"Ah ..." Ami menggeleng. "Makasih, Sayang. Kalau sudah tua ya begini. Pelupa. Terakhir minum obat kan tadi siang."

"Sejauh ini, apa nggak kambuh lagi, Ma?" tanya Kelana setelah menyimpan nampan di atas meja. "Kalau ada apa-apa, kasih tahu Lana ya? Kalau perlu istirahat, jangan memaksa untuk jualan dulu."

"Iya." Ami mengangguk-angguk. "Sejauh ini, Mama merasa lebih baik, kok. Semoga saja bisa sembuh total dalam waktu dekat."

"Pasti sembuh. Tadi siang aja kita joget-joget Tiktok kan? Nggak ada tuh gejala-gejala yang bikin dada Mama sakit. Nggak sesak juga, " ucap Kelana sambil menyimpan nampan di atas meja, menyiapkan beberapa butir obat, lantas menyodorkannya kepada Ami.

Setelah ucapan itu terlontar, Kelana menelan ludah. Sebenarnya, Kelana hanya berusaha berpikir positif tentang penyakit ibunya. Kata-kata 'bisa sembuh' seolah asing di telinga Kelana. Semenjak Ami didiagnosis memiliki penyakit gagal jantung tahun lalu, Kelana rutin menemani Ami check up ke rumah sakit, setidaknya sebulan sekali. Kata dokter, gagal jantung yang diderita Ami berkemungkinan kecil untuk sembuh. Selama hidup, yang bisa dilakukan Ami hanya mencegah perluasan rasa sakit, salah satunya dengan meminum obat secara rutin.

"Besok jam berapa, Sayang?" tanya Ami setelah meminum obat.

"Jam berapa apanya, Ma?" Kelana duduk di sisi ranjang. "Kalau dagang kan emang dari jam delapan."

"Soal basket," kata Ami. "Besok jadi pergi kan?"

Mendengarkan ucapan itu, Kelana menghela napas, lalu mengembuskannya perlahan. "Kayaknya Lana nggak jadi berangkat deh, Ma. Mending Lana nemenin Mama jualan. Biar bisa sekalian ngawasin Mama juga. Selama ini, Lana sibuk sekolah. Minimal, Lana bisa bantu Mama selagi dalam masa hukuman."

"Mama nggak apa-apa, Lana. Sudah biasa juga jualan dari dulu. Lagian, Bian itu teman baik kamu. Nanti dia kecewa kalau kamu nggak dateng. Gimana kalau pertandingannya kalah karena kamu?"

"Kok jadi aku?"

"Mama lihat, Bian itu suka sama kamu." Ami menyenggol anaknya dibarengi kekehan gemas. "Mama sering lihat di sinetron. Biasanya kehadiran orang yang dicintainya bisa jadi tenaga. Jadi ya ..."

"Mamaaaa." Kelana memberenggut. "Apaan sih. Aku sama Bian nggak ada apa-apa."

"Nggak ada apa-apa bukan berarti nggak ada perasaan apa-apa, kan?"

Mendengar pertanyaan enteng mamanya, Kelana membuang wajah. Pipinya terasa panas dalam sekejap.

***

Kelana melihat jam di tangan. Sudah pukul setengah delapan. Dia tidak yakin bisa sampai ke sekolah tempat Bian bertanding dalam waktu sekejap. Apalagi, sekolah itu berada dekat dengan gedung-gedung perkantoran. Jalan-jalannya juga rawan macet. Cewek yang baru beres sarapan itu terlihat gelisah.

"Mau dianterin Bang Dadan aja?" Ami yang juga baru beres menyendok nasi terakhir, berbicara.

Bang Dadan adalah tukang ojek langganan Ami yang sekarang lebih tepat disebut ojek pribadi. Setiap pagi dan sore, Dadanlah yang mengantar jemput Ami ke pasar.

"Nggak usah, Ma." Kelana tersenyum lebar. "Udah, Bang Dadan biar nganterin Mama aja. Masa Kelana nyerobot supir pribadi Mama sih?"

Ami terkekeh. "Tapi kan kamu juga perlu. Kalau pake motor bisa nyari jalan-jalan pintas juga supaya cepat sampai."

"Nggak usah. Lana naik ojek online aja. Nganterin Mama lebih penting. Nanti calon pembeli kecewa kalau Toko Kertarani tutup."

"Ya sudah. Hati-hati. Salam sama Bian. Semoga menang."

"Siap, Bos!" Kelana mengacungkan jempol.

Setelah bersalaman dengan mamanya, Kelana beranjak ke luar rumah.

Seharusnya gue pesen ojek sebelum sarapan. Biar pas selesai sarapan, ojeknya udah ada di sini. Dasar bloon! Kelana merutuk di dalam hati sambil mengenakan sepatu. Repot kan kalau udah gini?

"Beres!" ucap Kelana. Sesaat sebelum Kelana memesan ojek online di ponsel, dia mendongak ke depan. Dia luput memperhatikan gerbang rumah beserta lalu lalang kendaraan di jalanan. Dan saat mulai fokus, Kelana menyadari sesuatu.

Kelana yang berencana memesan ojek, urung. Dia memilih bergerak menuju gerbang depan. Ada mobil! Bukan apa-apa, mobil itu tepat ada di depan gerbang rumah Kelana. Tidak pernah ada orang yang dengan sengaja menyimpan mobil di sana.

"Pak, maaf saya mau keluar. Mobil Bapak menghalangi gerbang saya. Jadi ..."

"Surprise!"

Teriakkan itu membuat Kelana terperanjat. Muncul dua kepala dari dalam mobil yang jendelanya terbuka. Rupanya, ada Iti dan Puan di sana.

"Kalian ..." Kelana mengerutkan kening.

"Bian ngangkut kami juga dari sekolah. Kata dia, lo bakal seneng kalau ada gue sama Iti," jelas Puan. "Nah, ini supir pribadinya keluarga Bian. Pak Maman."

Kelana masih beku mendapati informasi itu. Kemarin, Bian sempat bertanya soal 'dijemput atau tidak'. Meskipun Kelana bilang tidak, ternyata Bian tetap nekat mengirim supir yang dipikiran Kelana, itu supir baru. Selama kenal Bian, Kelana belum pernah bertemu dengan orang itu. Yang bikin Kelana shock, Bian mengirimkan mobil berwarna abu-abu dengan merk terkenal. Kelana tahu itu BMW meski tak tahu seri berapa.

"Buruan naik!" teriak Iti. "Lo deg-degan ya, naik mobil keren? Gue sama Puan aja nggak bisa diem dari tadi, Lan. Gilaaa, kursinya empuk banget. Beda sama angkot yang sering kita-kita naiki. Kursi angkot udah mirip keranda!"

"Emang pernah nyobain keranda?" tanya Puan.

"Belum sih. Gimana kalau elo yang nyobain?"

"Sinting. Sama aja lo ngedoain gue meninggoy duluan!"

Mereka berdua tertawa terbahak. Supir di depan juga tersenyum penuh wibawa.

"Diem deh. Gue masih kesel sama kalian." Kelana duduk di kursi depan. "Kalian nggak nge-chat gue sama sekali."

"Ini mendadak, Lan. Barusan, ada salah satu staf sekolah yang manggil kami berdua di kelas. Eh, ternyata dimintai hadir buat jadi supporter di sekolah sebelah."

Tidak semua orang bisa hadir sebagai supporter di acara-acara lomba olahraga. Biasanya, supporter akan dikirim dari anak ekskul basket atau anak ekskul lain yang kebetulan turut bertanggung jawab dalam pergerakkan acara seperti anak-anak OSIS. Nah, Kelana dan dua kawannya ini tidak mengikuti kegiatan intra atau ekstra apa pun. Berkat kekuasaan Bianlah mereka bisa hadir di acara itu.

"Ngomong-ngomong, cuman gue kali ya yang pake pakaian biasa? Kayaknya 90 persen pengunjung bakalan pake seragam," kata Kelana. "Kan masih situasi sekolah."

"Nggak apa-apa pake pakaian biasa. Yang penting, lo nggak pernah terlihat biasa di mata Bian." Puan terkekeh sambil menyenggol Iti.

"Dasar gilaaa!" Kelana melipat tangan di dada dengan wajah merah.

Dalam sekejap, mobil yang dikemudikan Bapak pendiam itu melaju cukup kencang. Kelana tidak yakin kendaraan itu akan sampai tepat pukul delapan. Namun meski begitu, dia cukup tenang karena sudah berada di dalam mobil Bian.

Bian, Bian, kenapa sih lo segitunya sama gue? Udah gue tolak, udah gue jutekkin, tetep aja lo bikin gue ngerasa istimewa. Heran gue sama elo. Tapi, thanks ya. Lo udah ngubah sudut pandang gue kalau orang kaya nggak semuanya semena-mena.

***

Enak ya jadi Kelana. Dia dapet perhatian dari siswa nomor satu di sekolah, hehehe.

Glow Up Moment (Tamat)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant