MOMEN EMPAT - PASAR TANAH ABANG

Start from the beginning
                                    

"Cie. Mentang-mentang udah viral. Ketagihan, ya?"

"Urusannya sama elo apa?" Kelana semakin garang.

"Eh, Nak Bian ...." Ami datang dari ruang belakang. "Nggak sekolah? Kan ini bukan hari libur."

"Eh, Ibu." Bian mencium tangan Ami. "Ini, Bu. Bian ke sini mau ngawasin Lana. Meskipun dia di-skors dari sekolah, dia harus tetap belajar. Eh, ternyata dia malah joget-joget nggak jelas."

"Bacot banget lo, Bi." Kelana mendengkus. "Gue udah baca buku. Gue juga udah ngerjain tugas yang masih bisa gue kerjain. Masalahnya sekarang adalah elo!" Kelana mengamati Bian dari atas sampai bawah. "Bukannya harusnya lo tanding basket ya?"

"Diundur." Bian tersenyum lebar. "Jadinya besok. Nah, anak-anak yang ikut basket diliburkan sehari biar bisa istirahat."

"Terus, ngapain lo di sini? Harusnya lo istirahat di rumah. Biar besok lancar. Elo ..."

"Cieeee." Bian menunjuk Kelana dibarengi tawa tengilnya. "Perhatian banget sampe-sampe nyuruh gue istirahat segala. Khawatir ya?"

"Uwooook." Kelana terbatuk-batuk. "Pengen muntah gue dengernya. PD banget lo?"

"Lana." Ami memicingkan mata. "Kok galak banget ke Bian? Harusnya diajak ngobrol baik-baik dong. Atau kalian mau jalan-jalan di foodcourt?"

"Boleh, Bu. Bian juga pengen yang seger-seger." Bian terlihat bersemangat.

"Ah, Mama. Ngapain sih tawarin dia begitu. Dia ...."

"Lana." Ami menggeleng. "Bian itu putra ketua yayasan lho. Gimana kalau kamu dapat masalah gara-gara judesin dia?"

Ucapan itu disambut tawa seorang Bian. Hanya Kelana yang cemberut mendapati ibu dan sahabatnya terlihat kompak.

Kios Ami memang berada di lantai enam Blok A tanah Abang Lama. Nah, di lantai delapanlah terdapat foodcourt yang makanannya lumayan bervariasi. Dari mulai makanan modern, sampai makanan tradisional yang beberapa di antaranya dijajakan di gerobak. Mirip seperti makanan pinggir jalan.

Kelana berjalan menyusuri berbagai kios di lantai enam. Sementara, Bian berusaha untuk mengimbangi langkah Kelana. Cowok itu sama sekali tidak terlihat canggung. Padahal, Kelana sendiri malah tidak percaya diri berdekatan dengan Bian. Sejak Kelana dan Bian berteman dua tahun lalu, Kelana selalu dibayang-bayangi kegelisahan. Bian dan dirinya seperti langit dan bumi. Bian anak dari salah satu konglomerat yang juga ketua yayasan sekolah, sedangkan Kelana?

Saat sampai di lantai delapan, kursi dan bangku yang disusun di tengah-tengah ruangan besar itu masih terlihat kosong. Hanya ada beberapa orang yang mengisi bagian pojok dan pinggir-pinggir bangku. Sementara, para penjual terlihat sibuk. Mereka sedang menyiapkan makanan yang mungkin akan segera diserbu saat menuju waktu duhur.

Kelana dan Bian memilih melangkah ke arah bangku paling ujung. Sambil melangkah, mereka juga melihat-lihat makanan yang berjejer. Baik makanan modern dari berbagai resto ternama, maupun makanan tradisional Indonesia seperti bakso gerobakan, soto, dan makanan lainnya. Sebelum duduk, mereka memutuskan memesan minuman segar rasa buah-buahan.

"Jadi, kenapa elo repot-repot dateng ke sini?"

Bian masih saja cengar-cengir. Sekarang, gaya rambut yang dipotong low fade dengan bagian atas medium itu terlihat semakin jelas gara-gara tangannya tidak berhenti menyisir. Gradasi di rambutnya membuat pesona Bian dua kali lipat lebih memancar.

"Gue mau, lo dateng ke pertandingan gue besok," ucap Bian.

"Hah?" Kelana memicingkan mata. "Elo siapa maksa-maksa gue?"

"Lo sahabat gue yang bentar lagi bakal jadi pacar." Bian terkekeh. "Ayolah, Lan. Gue perlu buktiin apalagi sih sama lo? Bisa nggak, bersikap ramah? Dua tahun lo kita temenan. Masih aja jutek. Nggak ngerti gue sama kokolot Tanah Abang ini."

"Biaaaan." Kelana mencubit tangan cowok itu. "Seharusnya gue yang heran. Lo masih aja deketin gue, padahal gue udah sangat jutek sama elo."

"Ya kenapa lo jutekin gue terus? Ada yang salah sama gue?"

"Karena elo anak ketua yayasan! Gue nggak mau dianggap manfaatin elo. Kita itu beda, Bi. Kita ...."

"Lana." Bian menyetop ucapan Kelana dengan membekap mulut cewek itu. "Sekali lagi lo ngomong gitu, gue pastiiin lo ditendang dari sekolah. Gue tulus temenan sama lo."

Bian melepaskan tangan dari mulut Kelana setelah cewek itu berhasil diam.

"Jadi, elo mau kan datang ke pertandingan gue besok?"

"Gue lagi dihukum. Mana boleh gue datang ke acara sekolah?"

"Kan acaranya di sekolah sebelah." Bian masih mencari cara. "Gue pastiin elo aman dari siapa pun. Gue bakal bilang kalau keberadaan lo di sana juga berdasarkan undangan dari bokap gue."

Meski Kelana sejutek itu kepada Bian, tetapi sebenarnya, Bian termasuk teman dekat Kelana. Bahkan Bian adalah satu-satunya cowok yang dekat dengannya saat ini. Setiap Bian punya acara, nyaris Kelana tidak pernah absen untuk hadir. Ya, meskipun ujungnya dicengin sama geng elit. Menurut mereka, Kelana adalah satu-satunya cewek paling beruntung yang bisa berdekatan dengan Bian.

"Gimana?" Bian menggerak-gerakkan tangan di depan wajah Kelana. "Jangan ngelamun! Entar gila! Kalo lo gila, lo nggak bisa joget imut kayak gini lagi." Bian melipatkan kedua tangan sejajar dengan muka, kemudian tangan beserta bahu digerakkan dengan enjoy ke kanan dan ke kiri. Mimik wajahnya sengaja dibuat jelek hingga Kelana menabok bibir Bian.

"Bener-bener ya elo, Bi." Kelana melipatan tangan di dada.

"Becanda." Bian terkekeh. "Lagian, masalah hadir atau enggak aja ngelamunnya sampe berabad-abad. Gue nggak mau tahu ya, pokoknya, elo harus hadir. Titik."

"Emang jam berapa?" tanya Kelana.

"Jam delapan di SMA Krida Utama." Bian mengangguk-angguk. "Perlu gue kirim supir buat jemput lo ke rumah?"

"Emang gue udah bilang 'iya' buat hadir?" Kelana menyenderkan badan di kursi. "Lagian, ngapain pake kirim sopir segala? Gue bisa pergi sendiri."

"Atau perlu gue yang jemput?"

"Bisa diem nggak?" Kelana mengangkat tangan, hampir menabok Bian. "Nggak berhenti-berhentinya ya lo godain gue, Bi?"

"Ya siapa tahu aja elo maunya sama gue." Bian masih menggoda dengan senyum mematikan.

"Jijik gue." Kelana bergidik. "Baru pertama kali gue nemu cowok modelan elo."

"Cowok ganteng maksudnya?"

"Udah ah. Gue harus bantuin Mama lagi. Udah beres kan ngobrolnya?" Kelana berdiri dari kursi.

"Gue boleh bantuin elo jualan lagi?"

"Kagak!" Kelana berjalan meninggalkan Bian untuk membayar minuman.

Beberapa menit selanjutnya, Bian sudah ada di dalam toko milik Kelana. Dia ikut melayani para pembeli yang datang. Bukan hanya melayani satu pembeli, Bian dikerumuni ibu-ibu dan beberapa gadis perawan.

Di sisi lain, Kelana menggeleng-gelengkan kepala. Sekeras apa pun Kelana melarang Bian, cowok itu tidak akan pernah bisa dibantah. Ditambah ada dukungan Ami yang senantiasa terbuka untuk Bian.

"Yang beli dua baju, saya kasih bonus nomor HP yaaa," ucap Bian sambil tertawa.

Kelana menjentikkan bibir ke atas, tanda dia mulai jengah dengan Bian yang super narsis.

***

Bersambung ....

Glow Up Moment (Tamat)Where stories live. Discover now