10 | Hoax!

22.5K 1.6K 81
                                    

Sore hari, Ara sudah sadar. Namun ia tak melihat keberadaan Atthar di dalam kamar. Selesai sholat ashar, ia mencari ke dapur namun juga tidak menemukannya.  Saat hendak membuka pintu untuk cek ke halaman depan, Atthar muncul di hadapannya. Dari yang Ara lihat, Atthar habis dari luar. Ia tak berniat bertanya, takutnya Atthar malah kepedean.

"Mau kemana?" tanya Atthar.

"Duduk aja cari angin."

"Saya mandi dulu." Ara menjawabnya dengan deheman.

Atthar berlalu untuk melakukan ritual mandi. Sementara Ara duduk di kursi yang ada di halaman depan rumah. Seketika Ara tampak murung karena merindukan orang tuanya. Sudah hampir seminggu sejak pernikahan, Ara belum pernah mengunjungi kediaman keluarganya. Meskipun hari Minggu nanti mereka pasti akan bertemu karena acara resepsi. Namun, Ara belum puas bermain dengan baby Ala. Ara rindu rumahnya, ia rindu kamarnya, sangat. Tak terasa air matanya mengalir.

Atthar yang baru selesai mandi turun ke bawah. Ia menghampiri istrinya yang sedang duduk di kursi. Atthar sedikit terkejut melihat gadis itu menangis. Apakah gadis itu menangis gara-gara dirinya terlalu tidak peduli? Atau karena ia tau jika tadi Atthar sudah menyuntiknya diam-diam?

"Saya ada salah apa?" tanya Atthar to the point. Ia duduk di sebelah istrinya.

"Banyak."

"Sebutkan."

"Pertama, Dokter bikin hidup saya gak tentu arah. Kedua, saya tidak mau jadi istri Dokter. Ketiga, Dokter udah jauhin saya dari keluarga saya. Keempat, Dokter udah hancurin impian saya buat jadi wanita karier. Kelima, saya tidak mau nikah di usia dua puluh tahun."

"Banyak juga ya salah saya. Lalu, bagaimana cara menebus itu semua?"

"Ceraikan saya."

Tak!

Suara apa lagi jika bukan berasal dari Atthar yang menyentil jidat istrinya. Sepertinya itu sudah menjadi kebiasaan Atthar jika istrinya asal bicara. Memang tidak kuat, tapi Atthar senang saja melakukannya.

"Apaan sih!" teriak Ara.

"Ka—— MasyaAllah ... Jadi, kamu maunya punya anak sepuluh?"

Ara menganga lebar, heran mengapa Atthar tiba-tiba aneh ngomongnya. Atthar juga menarik paksa tubuhnya agar bersandar di bahunya. Bahkan Atthar mengelus kepalanya dengan lembut. Saat hendak melayangkan protes, suara seseorang menghentikan mulut Ara.

"MasyaAllah! Serius kalian mau punya anak sepuluh?!" tanya Zakiyyah yang ikut duduk di kursi satunya.

"Eh, Umi. Iya nih Umi, katany gitu. Atthar sih siap kalo istri Atthar sanggup."

Tidak. Semua yang terucap dari mulut laki-laki itu adalah kebohongan. Dalam hati Ara sudah menggerutu kesal. Jika bukan karena mengikuti akting di depan mertuanya, ogah Ara direndahkan begitu. Apalagi topiknya malah Ara yang dipojokkan menginginkan 10 anak. Yang benar saja laki-laki itu? Bisa-bisanya ia menjatuhkan harga diri Ara.

"Memangnya kamu sanggup sayang?" tanya Zakiyyah pada Ara.

"I-itu, InsyaAllah Umi. Tapi jika dipikir-pikir lagi, mungkin lebih baik dua aja ya Umi?"

"Aduh ... Jangan dong. Kalo bisa ya sepuluh biar ramai."

Ara mencubit pinggang Atthar dengan sangat keras. Obrolan tidak berfaedah itu disebabkan oleh Atthar. Untung saja Ara menantu yang baik, yang menjaga perasaan mertuanya. Atthar yang dicubit pun dengan susah payah menahan rasa sakitnya. Ternyata cubitan gadis itu lumayan menyiksa.

"U-umi, Umi a-ada perlu apa kesini?" Nyeri, sungguh. Itulah yang Atthar rasakan. Ucapannya jadi tertahan akibat menahan rasa sakit itu.

"Iya ya, tadi Umi mau ke masjid ada pengajian. Kalo gitu Umi pergi dulu ya, kalian semangat bikin cucu buat Umi."

ATTHARA : My Personal Doctor! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang