MOMEN DUA - RUANG KEPALA SEKOLAH

Start from the beginning
                                    

"Kelana ...." Baron menatap Kelana. "Saya tahu, kamu berusaha membela harga diri di hadapan ibumu. Tapi data ini valid. Beberapa kali guru BK memberikan pengarahan. Sekarang, saya yang turun langsung untuk tahu duduk masalah terbaru saking terlalu seringnya kamu dipanggil ke ruang BK."

Kelana menatap ibunya. Dalam tatapan itu, Kelana seolah sedang bertanya: ibu percaya kan sama, Lana? Tentu, Ami tahu bagaimana anaknya. Dia mengangguk meski dalam situasi ini, keadaan Kelana sangat terpojok.

"Saya tidak bermaksud memojokkan anak Ibu," ucap Baron. "Saya memiliki tugas yang sama untuk bisa mengevaluasi setiap murid. Hanya saja, saya memang perlu menunjukkan bukti riwayat kejadian yang berhubungan dengan Kelana. Begitupun dengan Clarissa. Saya juga sudah memberitahukannya kepada Pak Surya sebelum Ibu dan Kelana hadir di sini. Perlu ibu ketahui, riwayat masalah Clarissa tidak sebanyak riwayat masalah Kelana."

"Bapak yakin?" Kelana menatap tajam ke arah Baron. "Yang tercatat memang tidak sebanyak masalah saya, Pak. Tapi sudah jadi rahasia umum kalau mulut dan tingkah Caca tidak semanis yang ditunjukkan di hadapan Bapak sekarang."

Clarissa melotot meski hanya beberapa detik. Dia kembali tampil anggun di hadapan Baron dan ayahnya.

"Sudah." Baron menghentikan ketegangan. "Sekarang, kita beralih ke masalah utama." Baron melirik ke Clarissa dan Kelana secara bergantian. "Jadi kenapa kalian bisa berkelahi di kelas?"

"Video Tiktok saya viral, Pak," kata Kelana. "Saat masuk ke kelas, hampir semua siswa menertawakan saya. Tentu saja, tawa mereka bukan suatu masalah buat saya. Saya justru senang bisa menghibur mereka lewat video. Tapi ...." Kelana melirik Clarissa. "Dia mengejek saya dengan sebutan Artis Pasar Tanah Abang. Dia juga sok-sok-an bilang kalau video saya merusak citra sekolah. Saya nggak terima diejek seperti itu. Karena alasan itulah saya membalasnya dengan mengungkit kejadian Caca yang jatuh saat dance bersama tim Cheerleaders-nya. Setelah itu, Caca memulai duluan dengan menonjok saya hingga kami berkelahi. Kami berhenti berkelahi setelah ada Bu Enggar yang kebetulan akan mengajar pagi itu."

"Benar begitu, Clarissa?" tanya Baron.

"Silahkan Bapak tanya kepada Iti dan Puan. Bapak juga bisa tanya ke teman-teman lain di kelas kami. Mereka tahu semuanya. Clarissa nggak bisa mengelak," tambah Kelana.

"Jadi begitu ceritanya?" Baron kembali memastikan.

"I-iya, Pak." Clarissa menghela napas. "Saya cuma becanda, Pak. Eh, dia malah mengungkit soal kejadian yang menimpa saya saat dance. Jadi saya kesal dan ...."

"Bapak dengar kan?" Kelana terkekeh. "Dia itu nggak nyadar diri, Pak. Kerjaannya ngejek orang lain, giliran diejek balik malah main tangan."

"Keduanya salah!" tegas Baron. Kali ini, Baron menatap Kelana dan Clarissa secara bergantian. "Di sini, saya tidak akan membela siapa pun. Saya akan menilai keduanya secara objektif." Baron melirik Surya dan Ami. "Mohon maaf Pak, Bu. Mau tidak mau, saya harus memberikan sanksi. Masalah antara Clarissa dan Kelana sudah beberapa kali terjadi. Selama ini, mereka hanya diberi pengarahan biasa. Mungkin sudah saatnya untuk diberi effek jera."

Ucapan itu membuat Clarissa melotot. Kontan, dia megusap tangan ayahnya. "Pah, bantuin!"

"Sudah, diam dulu," bisik Surya.

"Dari penjelasan Kelana, saya bisa menyimpulkan jika Clarissa yang memulai perkelahian. Tapi, saya tidak bisa membenarkan perkelahian. Jadi dengan berat hati, saya scors kalian berdua selama dua minggu."

"Pak!" Kelana langsung berdiri. "Ini nggak adil, Pak. Masa hukuman saya disamakan dengan Caca? Dia yang memulai, dia yang nyari gara-gara. Harusnya ..."

"Lana." Ami menarik tangan anaknya. "Sudah ...." Sekarang, Ami mendongak ke arah Baron. "Terima kasih atas bimbingannya, Pak. Terima kasih juga sudah menindak tegas perbuatan anak saya. Insya allah, selama masa hukuman, Lana akan banyak belajar."

"Bu ...." Kelana menatap penuh kekecewaan.

"Sttt. Lana. Sudah." Ami menghentikan protesan Kelana.

Layaknya pemimpin pada umumnya, Baron mulai memberikan pandangan umum tentang kelakuan Kelana dan Clarissa yang salah. Mereka berdua juga dinasihati untuk tetap menjaga nama baik sekolah dan ketertiban. Selain soal sikap, Baron menyinggung soal video viral Kelana. Baron sendiri merasa jika video itu bukan bagian dari pencemaran nama baik sekolah. Toh Kelana masih ada di dalam batas wajar. Justru baginya, video viral itu bisa dijadikan peluang untuk memperkenalkan sekolah. Saat Baron berkata begitu, Kelana bisa bernapas lega meskipun masih kecewa karena harus di-scorse dengan waktu yang lama.

Senyum lebar Baron menandai bahwa pertemuan sudah selesai. Lantas, dia angkat bicara, "Terima kasih atas kehadirannya, Bu, Pak. Saya lega karena prosesnya berjalan lancar. Yang saya harapkan kedepannya, tidak ada perkelahian lagi. Saya juga harus memastikan kalau Kelana dan Clarissa sudah saling memaafkan."

Kelana dan Clarissa sempat saling diam setelah kalimat Baron mengudara. Sampai kemudian, Kelana mengambil inisiatif untuk menyodorkan tangan ke arah Clarissa. Pelan, Clarissa menyambut tangan itu. Mereka bersalaman. Tentu saja, Kelana tahu bahwa Clarissa tidak benar-benar ingin berdamai. Clarissa mengenggam tangan Kelana cukup keras. Di pikiran Kelana, tindakan Clarissa adalah tanda jika perang akan terus berlanjut. Spertinya, kejadian meditasi ini malah akan jadi gerbang menuju babak baru untuk mereka berdua.

"Maaf ya, Lana," ucap Clarissa dengan tatapan tajam.

"Ya ...." Kelana tersenyum lebar dengan tatapan tak kalah menusuk.

***

Kelana berani banget ya? Wkwkwkwk. 

Glow Up Moment (Tamat)Where stories live. Discover now