Chapter 1 : Belas Kasih

Start from the beginning
                                    

Ya Ulfa tahu hal menyedihkan itu dia mengangguk paham.

Kehidupan Asmara memang pilu, dia mesti menanggung segala kebutuhan keluarganya karena sang ayah yang tengah sakit hingga tidak mampu bekerja. Belum lagi, keperluan rumah serta biaya sekolah Nadin—adiknya yang baru saja menginjak bangku sekolah dasar.

Berjuang sendiri memang tidak mudah, namun Mara berhasil melewatinya selama tiga tahun kepergian sang ibu yang bernama Naila. Beliau pergi bukan hanya meninggalkan luka mendalam dalam keluarga mereka, tetapi juga trauma menyakitkan bagi ayahnya, Haris. Yang justru menyalahkan Asmara atas kematian Naila.

Ya Tuhan... kenapa hidupnya harus semenyedihkan ini?

"Mara, lo nggak pernah kepikiran buat putus kuliah gitu terus fokus kerja?" tanya Ulfa.

"Sering kok, tapi aku selalu ingat nasihat almarhumah ibu aku Ulfa, aku nggak boleh putus kuliah sesulit apa pun keadaannya. Pokoknya sampai aku dapat ijazah buat melamar kerja. Ya minimal sampai kuliah kata ibu," jawabnya tersenyum yakin. Yang ditanggapi Ulfa usapan ke bahu gadis itu. Ulfa kagum, meskipun temannya satu ini dilanda masalah, dia tetap berusaha tersenyum.

"Sorry ya, Ra. Gue nggak bisa bantuin lo terus. Gue cuman bisa doain."

"Nggak apa-apa, jangan merasa bersalah mulu Ulfa. Udah dulu yaa, sekarang aku mau ke ruang prodi buat ketemu pak Wira. Semoga beliau bersedia ngasih aku keringanan buat bulan ini ... aja. Supaya aku boleh ikut ujian."

"Amin Ya Allah!" Ulfa pun menyahut serius. "Semangat, Ra!"

***
 

"Gue udah keluar, cepet lo bangun. Engap!"

Sesuai titah, wanita bertubuh polos itu pun bangkit dari atas tubuh seorang pria sembari menampilkan wajah sebalnya. Sementara pria itu—Arven, langsung saja bangun sambil menaikkan resleting celananya lalu meletakkan segepok uang berwarna pink hadapan wanita itu.

"Bawa semua dan jangan pernah temuin gue lagi," ujarnya memerintah. "Lo boleh keluar sekarang."

"Thanks." Dan tentu dengan wajah berseri tanpa basa-basi wanita itu bergegas memakai kembali dress ketatnya. Dimasukannya segepok uang pemberian Arven tadi ke dalam tas penuh suka cita kemudian melenggang mengeluari kamar.

Suara musik berdentum, keras dan memekak saat wanita itu membuka pintu terdengar jelas di telinga Arven. Sayang, dia tak tertarik turun ke bawah demi menikmati keriuhan di sana. Ia lebih memilih menikmati rokoknya di kamar sehabis melakukan percintaan semalam bersama wanita bayarannya.

Sampai telepon miliknya di nakas berdenting. Arven mau tak mau mengangkat sebab layar pipih itu menampilkan nama sang ibu.

Flora is calling.

"Arven, cepet pulang sekarang, Nak! Ini loh Viona nungguin kamu di rumah. Kamu dimana?"

"Kelab."

"Kelab? YA TUHAN BUKANNYA IBU MINTA KAMU GANTIKAN PAPA BUAT KUNJUNGAN KE SEKOLAH ARVEN?!"

Pengang, Arven menjauhkan ponselnya dari telinga. "Habis ini, aku mau berangkat."

"Astaga Arven, kenapa nggak berangkat sejak tadi sih, Nak?! Kasihan Viona mumet nungguin kamu."

"Suruh pulang apa susahnya? Aku nggak ada waktu ketemu dia, beres."

"Tapi Nak—"

"Arven sibuk, Ma. Sorry."

Maka panggilan pun diputuskan lebih dulu oleh Arven.

Sungguh, malas sekali rasanya pulang cuman untuk bertemu Viona. Arven tau, hal itu hanyalah akal-akalan Flora agar dia bersedia menerima perjodohan dengan anak teman ibunya tersebut.

Boyfriend With BenefitsWhere stories live. Discover now