Dia Pikir, Pikir-pikir Itu Tak Semestinya Dipikirkan

10 7 1
                                    

Dunia Elang memang penuh kompetisi sedari awal

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dunia Elang memang penuh kompetisi sedari awal. Persaingan adalah satu-satunya penghubung Elang dengan orang-orang yang berseliweran di hidupnya. Semua orang menginginkan yang terbaik bagi dirinya sendiri. Belajar dengan baik, masuk SMA favorit, lolos perguruan tinggi bergengsi .... Dan di sini, Elang malah menemukan seorang anak perempuan yang tampak senang sekali sekolah di Pertitas, sekolah yang sering kali dicap sebagai sekolahnya anak-anak buangan. Iya, Pertitas adalah opsi terakhir jika kau tak diterima di SMA mana pun dan tidak punya cukup uang untuk sekolah di swasta. 

"Kenapa mau sekolah di Pertitas?" Tanda tanya Elang akhirnya tersuarakan. Pasalnya, Raya itu punya kapasitas yang lebih dari cukup untuk masuk sekolah terbaik di Tasikmalaya. Mungkinkah Raya mengalami hal yang sama dengan Elang? Akan tetapi, anak perempuan itu tampak tidak keberatan sama sekali sekolah di sini ....

Langkah Raya terhenti ketika keduanya sedang berjalan menuju anak tangga, hendak kembali ke kelas yang letaknya di lantai dua. Sesaat, ia membiarkan senyap melingkupi keduanya. "Aku pengin berbagi."

"Hah?" Elang berpikir keras. "Maksudmu ... kayak mengajari mereka, gitu? Demi berbagi, kamu sampai rela mengorbankan kesempatan untuk belajar lebih banyak hal di sekolah favorit?"

Raya menatap Elang lekat-lekat. "Sekolah di kota yang persaingannya lebih ketat memang pilihan terbaik untuk meningkatkan kemampuan, tapi apakah hidup ini hanya untuk diri sendiri? Membosankan! Lagian, ya, tanpa perlu sekolah favorit, aku masih bisa memaksimalkan proses belajarku. Aku justru belajar banyak hal di sini! Belajar beradaptasi dan berinteraksi dengan orang-orang yang lebih beragam, belajar menjaga motivasi belajar di tengah demotivasi massal dan orang-orang putus asa sepertimu ...."

Alis tebal Elang terangkat. "Hanya karena itu?"

"Tidak hanya, ya!" koreksi Raya. Anak perempuan itu mengangkat bahu. "Aku memang seorang raya alias besar ... punya mimpi besar, dunia yang besar, bisa terbang di angkasa raya ... tapi aku maunya di sini. Kalau semua anak berbondong-bondong masuk sekolah favorit, lantas siapa yang mau memajukan sekolah-sekolah terbelakang kayak Pertitas ini? Kenapa harus repot-repot menuju titik tertinggi, kalau bumi saja belum sepenuhnya dijelajahi?"

Manik hitam legam Elang mengembara di kaki langit dengan matahari yang mulai meninggi. Sejak awal bertemu, Raya memanglah suatu substansi yang tak pernah bisa Elang pahami. Raya adalah nada yang tak pernah ia dengar di partitur musik mana pun.

Raya melipat tangan di depan dada. "Biar kutebak. Kau sekolah di sini bukan karena keinginanmu sendiri. Keputusan Ayah? Atau Ibu? Yah ... apa pun alasannya, aku yakin ini yang terbaik untukmu. Kamu harus punya refraksi atmosfer yang baik, Tuan Emosian. Tidak peduli kau berpijak di mana pun, kamu adalah kamu. Tak peduli garis start-nya dari bukit atau palung, pilihannya hanya berdiam diri atau bergerak walau merangkak."

Keputusan terbaik? Ibu bahkan tidak mau mendengarkan sudut pandang Elang sama sekali!

Eh ... sudut pandang? Elang menunduk, mengamati bayangannya sendiri di lapangan. Pernahkah Elang mencoba memahami sudut pandang Ibu lebih dahulu? Pernahkah Elang menolehkan kepala untuk menyadari bahwa bayangan tak selamanya suram, melainkan berdampingan dengan mentari untuk menjalin satu-kesatuan yang utuh?

 Pernahkah Elang mencoba memahami sudut pandang Ibu lebih dahulu? Pernahkah Elang menolehkan kepala untuk menyadari bahwa bayangan tak selamanya suram, melainkan berdampingan dengan mentari untuk menjalin satu-kesatuan yang utuh?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Dia Pikir, Burung Tidak untuk Hidup di PalungWhere stories live. Discover now