Dia Pikir, Mentari Tak Pernah Benar-benar Mengiringi Buminya

15 7 0
                                    

Saingan, ya? Kedua manik hitam legam Elang terpancang kuat pada sosok yang kini berbalik badan dan berjalan riang menuju anak-anak kecil yang sedari tadi hanya bisik-bisik di kejauhan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Saingan, ya? Kedua manik hitam legam Elang terpancang kuat pada sosok yang kini berbalik badan dan berjalan riang menuju anak-anak kecil yang sedari tadi hanya bisik-bisik di kejauhan. Perlahan, jarak itu kembali terentang di antara keduanya. Punggung Raya berangsur-angsur menjauh, tetapi tidak dengan spektrum warna yang sempat dihadirkannya pada dunia Elang, meski berlangsung tak lebih dari satuan detik.

Dalam diam, Elang terhantam suatu kesadaran yang tidak akan pernah ia akui. Kesadaran bahwa jalan keluar dari segala resah yang mengungkungnya bukanlah arus tenang sungai maupun indahnya pasukan jingga di kaki langit yang siap menjemput sang surya untuk pulang ke garis peraduan ... melainkan seorang Raya Maharani. Iya. Nama itu memuat tak lebih dari dua kata, tetapi mampu mengalahkan segala diksi puitis buatan pujangga terbaik sekalipun.

"Bagus. Yuk, duduk yang rapi, semuanya! Kalau belum rapi juga, enggak akan Kakak mulai, lho!" Demi mendengar suara Raya, Elang mengerjap cepat, lekas mengembalikan diri pada dunia yang tengah dipijaknya. Ah, sejak kapan tikar itu dihamparkan? Mungkinkah Raya sempat menginstruksikan para bocil untuk menggelar tikar selagi ia bicara dengan Elang, tadi? Masih memerlukan jawaban, Elang terus mengamati kerumunan bocil yang hanya berjarak beberapa meter darinya.

Aih. Raya sudah seperti seorang bocah yang menggiring opini publik ... eh, bukan, maksudnya menggiring bebek. Elang memiringkan kepala. Apa yang mau mereka lakukan, sih? Raya tidak berniat melakukan atau mengajarkan ritual pemujaan kultus maupun sekte-sekte menuju kesesatan, 'kan?

"Kalian tahu, enggak, sih, ke mana perginya matahari saat terbenam?"

Anak-anak yang tadinya ricuh karena ledakan antusiasme, kini sempurna terdiam. Lengang menggantung di sekitar untuk sesaat. Hingga akhirnya, salah satu anak perempuan dengan boneka lusuh di tangannya angkat suara. "Pergi tidur, mungkin?"

"Meninggal!" sahut anak laki-laki di barisan kedua. Tangannya teracung. "Makanya matahari terbenam itu ke bawah. Pasti lagi dikuburin, itu!"

Raya menimpali, "Oh, ya? Berarti, matahari meninggalnya setiap hari, ya? Terus pas terbit di pagi hari itu, matahari habis mati suri!" Anak-anak tergelak, menertawakan ketidaklogisan teori salah satu temannya yang dibongkar oleh Raya. Ia membiarkan langit sore dihiasi tawa terlebih dahulu. Setelah kondisinya dirasa lebih kondusif, barulah Raya kembali angkat bicara. "Sebenarnya, matahari itu tidak benar-benar pergi, lho. Ada yang ingat perbincangan kita soal bumi, pekan lalu? Bentuk bumi itu seperti apa?"

"Bulat! Seperti cimol dan cilok versi raksasa!"

"Betul!" Raya ikut kegirangan mendapati kekompakan anak-anak. "Barang-barang titipan Kakak ada di kalian, 'kan? Oke, sip. Coba bayangkan kalau senter ini adalah matahari, dan bola kasti ini adalah bumi. Nah! Kelihatan, 'kan? Yang kena cahaya senternya cuma sebagian bola kasti. Di bagian yang kena cahaya matahari ini jadi siang, sementara bagian lainnya yang gelap ini jadi malam hari. Karena bumi juga berputar kayak gasing punya Bagas, jadi siang-malamnya gantian! Itu juga yang bikin perbedaan zona waktu. Misal, suatu hari nanti, Keyla pergi ke Amerika buat ketemu Spongebob, sementara Gilang ke Jepang buat ketemu Naruto. Pas mereka teleponan, nih, ternyata, kalau di Kayla udah jam sembilan pagi, di Gilang malah baru jam tujuh malam, lho!"

Petang itu terasa cepat sekali berlalu. Elang terus mendengarkan Raya dari balik punggungnya. Tahu-tahu, malam sudah siap merajai angkasa. Mega jingga mulai berpamitan dari garis horizon. Anak-anak pun sudah menggulung tikar dan mengangkutnya bersama. Ketika Raya hendak mengantar anak-anak itu pulang, Elang sedikit kebingungan karena tatapan mereka tiba-tiba saja terarah kepadanya. Serempak, mereka berteriak, "Dadah, Kakak Tuan Emosian!"

Apa? Elang melirik Raya yang menahan cekikikan. Ini pasti ide darinya.

 Ini pasti ide darinya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Dia Pikir, Burung Tidak untuk Hidup di PalungWhere stories live. Discover now