Dia Pikir, Elang Tak Bisa Mengejar Jet dan Roket Sampai Kapan pun

16 8 0
                                    

Sedang apa anak itu di sini? Elang mengernyitkan kening

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sedang apa anak itu di sini? Elang mengernyitkan kening. Ini sudah menjelang tiga jam semenjak bel pulang sekolah, tetapi Raya masih mengenakan seragamnya, hanya dilapisi jaket berwarna lavender saja. Tak sampai di sana kebingungan Elang. Ia mendapati anak perempuan itu menggiring rombongan anak-anak kecil di kanan dan kirinya. Setelah memanggil Elang, Raya tampak bicara sebentar dengan para bocah, lalu menghampiri Elang sendirian.

"Tuan Emosian sedang apa?" Kedua manik cokelat terangnya berbinar antusias seperti biasa, padahal di sekolah tadi, Raya tampak begitu marah kepadanya. Sekilas, Elang mengamati penampilan Raya dari puncak kepala hingga ke ujung kaki. Seragamnya tak lagi rapi, tetapi rambut hitam panjangnya yang diikat kanan-kiri membuat Raya tampak lebih segar.

Harusnya aku yang tanya begitu, tahu. Elang mendengkus malas. Entah apa alasan konkretnya ... tiba-tiba saja, Elang merasa konektivitas waktu ini begitu tepat dirancang semesta. Elang, Raya, juga debur resah yang bergulung-gulung di dalam sana. Menyadari pikir-pikir itu akan tumpah tanpa bisa ia kendalikan, lekas saja Elang mengalihkan pandangan pada arus sungai yang mengalir tenang. "Aku maunya ke Angkasatas."

Eh? Suara Elang barusan itu rendah nan pelan sekali. Meski kalimatnya masih bisa ditangkap indra pendengaran Raya dengan baik, tetapi bukankah teramat janggal ketika nada bicara itu digunakan oleh seorang Tuan Emosian? "Angkasatas ... SMA favorit itu, ya?" Menyadari situasi ini langka sekali Raya temui, anak perempuan itu membiarkan hening merajai sekitar untuk sesaat. Raya mengamati puncak rambut Elang yang dimainkan semilir angin sore. "Kenapa? Ini masih tentang kamu yang tidak terima bersekolah di Pertitas?"

"Kau tahu? Burung itu terbang bebas di angkasa, bukan mendekam di palung terdalam."

"Jadi menurutmu, Angkasatas itu angkasa, sementara Pertitas hanyalah palung?" Raya melipat tangannya di depan dada. Anak perempuan itu maju beberapa langkah, membuatnya berada tepat di samping Elang, hanya terentang beberapa senti saja. Raya mengikuti pandangan Elang yang terpaku pada kedalaman sungai, sementara manik hitam legam Elang kini terarah sempurna kepadanya, kepada anak perempuan yang tak pernah kehilangan eksistensi lengkung indah di kedua sudut bibirnya. "Kalau kamu memang Elang, entah di mana pun kamu berpijak ... tinggal kepakkan sayapmu aja, 'kan? Semesta cuma merenggut angkasamu, bukan sayapmu!"

Elang terpaku. Meski begitu, ia tetap angkat suara. "Tapi sainganku di SMP memasuki sekolah-sekolah favorit! Setinggi apa pun Elang terbang, ia tidak akan bisa mengalahkan mereka yang mengenakan pesawat jet maupun roket! Pada akhirnya, Elang tetap tertinggal, ditinggalkan saingan-saingannya yang sudah mengangkasa lebih dulu ...."

"Lho, kata siapa semua sainganmu pergi duluan?" Manik cokelat terang Raya menabrak tatapan Elang. Begitu mendengar kalimat selanjutnya yang terlontar dari mulut Raya, rasanya Elang benar-benar tenggelam di antara dua bola mata yang berbinar itu. "Aku, kan, sainganmu juga! Kamu melupakan tantanganku untuk jadi nomor satu di awal semester ini?"

 "Aku, kan, sainganmu juga! Kamu melupakan tantanganku untuk jadi nomor satu di awal semester ini?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dia Pikir, Burung Tidak untuk Hidup di PalungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang