Dia Pikir, Semesta Menjebaknya dengan Nona Sok Bijaksana

16 8 0
                                    

Pekan MPLS berlalu dengan lambat, persis seperti bayi yang merangkak

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Pekan MPLS berlalu dengan lambat, persis seperti bayi yang merangkak. Setidaknya, begitulah menurut Elang yang hari-harinya selalu sama. Melanggar peraturan, diburon pasukan OSIS, bertindak semena-mena, mudah terpancing emosi ... pulang sekolah pun, Elang memilih untuk tidak pernah berinteraksi intens dengan Ibu. Elang jadi benci belajar, apalagi bersentuhan dengan buku. Ia sengaja mogok bicara dan mogok belajar sebagai bentuk protesnya pada sang ibu.

Kegiatan belajar mengajar sudah mulai efektif terlaksana di Pertitas. Ruang kelas berangsur-angsur jadi terasa familier. Anak-anak makin mengenal satu sama lain, asyik bercerita banyak hal. Apalagi Raya, anak perempuan yang ternyata sekelas dengan Elang itu cepat sekali beradaptasi. Tak hanya teman-teman sekelas, Raya juga berkenalan dengan anak-anak lain dari kelas sebelah. Tipikal social butterfly sejati, memang.

Bagaimana dengan kehidupan sosialisasi Elang? Aduh. Tidak usah ditanya. Tidak ada yang mau menjalin pertemanan dengan orang sensitif nan emosian seperti beliau ini. Jangankan berteman, ada orang yang mengajaknya berkenalan saja sudah Elang marahi habis-habisan ... bagaimana anak lain tidak kena mental?

Elang mendengkus. Tak heran jika dirinya selalu sendirian di bangku pojok paling belakang sejak hari pertama. Sepanjang waktu, ia hanya menonton interaksi orang-orang dengan tatapan tidak suka. Wajah-wajah itu berseliweran di depan mata Elang, tetapi tidak ada satu pun yang benar-benar ia kenali. Kecuali anak perempuan yang pernah memanggilnya Tuan Emosian, tentunya.

Entah kenapa, anak perempuan itu serasa selalu saja menguasai atensinya. Segala gerak-geriknya, cara dia bicara, caranya yang antusias menanggapi cerita orang ... aih. Elang mengerjap cepat. Pasti itu hanya karena Raya satu-satunya orang yang Elang kenal di kelas ini. Termasuk ketika jam pelajaran matematika peminatan sekarang. Setelah memberikan materi eksponen di awal semester ini, Pak Prana memberikan latihan soal untuk dikerjakan sebelum guru tersebut meninggalkan kelas lebih awal dari jam pelajarannya karena ada sesuatu yang harus diurus.

"Raya, ajarin aku yang nomor dua ini, dong."

Tak sengaja, kedua manik hitam legam Elang tertarik pada potret Raya yang menepuk-nepuk mejanya dengan pelan. "Sini, Sil. Pertama, ingat dulu sifat eksponensial. Kalau a pangkat f(x) sama dengan b pangkat f(x), alias cuma sama pangkatnya, dengan catatan nilai a sama b-nya lebih dari nol dan tidak sama dengan satu, maka nilai f(x) sama dengan nol. Coba substitusiin dulu pangkatnya jadi sama dengan nol, deh."

Raya tampak senang sekali menjelaskan setiap langkah pengerjaan pada Silva. Di luar kendalinya sendiri, Elang malah tersihir untuk ikut menyimak penjelasan Raya dengan saksama. Sialnya, Elang masih memperhatikan Raya ketika anak perempuan itu selesai bicara. Merasa ada mata yang membuntutinya, refleks saja Raya balas menatap Elang yang kini mengumpati dirinya sendiri di dalam hati.

"Oh, Tuan Emosian. Mau ikut belajar juga?"

Cih. "Belajar apaan? Materi anak SD begitu."

Meremehkan, seperti biasa. Raya sendiri tidak begitu terusik karena dirinya juga sudah menguasai materi eksponen sejak di bangku SD. Akan tetapi, masih banyak anak-anak lain yang baru mengenal konsep itu di sini. Kalimat Elang pasti menyinggung orang-orang yang baru mau belajar perlahan-lahan seperti Silva. Elang sudah keterlaluan.

Ketika bangkit dari duduknya, Raya tak sengaja menggebrak meja cukup keras. Raya menghampiri bangku Elang dengan kilatan amarah di kedua manik cokelat terangnya. "Merendahkan orang bikin kamu merasa lebih tinggi, ya? Bahkan sejak hari pertama masuk Pertitas pun, kamu enggak berubah sama sekali. Setinggi apa, sih, kamu ... sampai merasa Pertitas enggak cukup layak buatmu?"

"I'm just not belong here."

"Nonsense. Jadilah nomor satu di ranking paralel semester satu ini." Raya menyipitkan mata. "Kalau kamu bisa, kamu bisa berbuat apa pun semaumu, Tuan Emosian. Aku enggak akan mengusikmu lagi."

Jadi nomor satu? Oh, apakah anak perempuan ini sedang menantangnya? Elang terkekeh hambar. "Dasar, Nona Sok Bijaksana."

"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Dia Pikir, Burung Tidak untuk Hidup di PalungWhere stories live. Discover now