Dia Pikir, Nyala Itu Tak Lagi Ada di Semestanya

11 8 1
                                    

Malam beranjak matang

Oops! Bu görüntü içerik kurallarımıza uymuyor. Yayımlamaya devam etmek için görüntüyü kaldırmayı ya da başka bir görüntü yüklemeyi deneyin.

Malam beranjak matang. Rembulan memancarkan sinar paripurnanya di antara kelam kanvas semesta yang ditumpahi jutaan liter cat gelap bertabur kelip gemintang. Nyanyian binatang malam menjadi penutup hari yang tenang.

Begitu kembali ke rumah, Elang disambut oleh aroma masakan dari dapur. Ah. Ibu pasti sudah pulang sejak tadi. Elang melewati dapur untuk menuju kamarnya. Ia kira, sepersekian detik sejak ia menginjakkan kaki di rumah ini, beribu pertanyaan akan langsung menghujaminya. Akan tetapi, wanita yang sedang sibuk memasak nasi goreng itu menoleh saja tidak. "Habis ini, Ibu mau ke rumah Bu Dede kayak biasa. Jangan lupa makan malam, ya."

Elang bergeming untuk sesaat. Ibu menyempatkan waktu untuk sekadar membuatkannya makan malam, ya? Tanpa perlu melontarkan sepatah kata pun, Elang langsung berlalu ke kamarnya. Jaket hitam ia gantungkan di atas kenop pintu selagi menutupnya perlahan. Punggung Elang sudah teramat merindu kasur usang di kamar pengapnya. Namun, entah apa penyebab konkretnya, raga Elang lebih tertarik untuk duduk di atas lantai, lalu mengamati buku-buku di pojokan.

Jadi nomor satu di awal semester ini ... tantangan itu sukses membangunkan kembali keping-keping mosaik jiwanya yang sudah lama mati. Haruskah Elang meneruskan langkahnya, meski itu berarti mesti mendaki palung yang tak terukur kedalamannya? Demi menggapai angkasa yang hanya menyisakan bait-bait penyesalan untuknya? Demi meraih gemintang yang tak lekang menyanyikan nada-nada kemustahilan untuknya?

Jika Elang mengulang segalanya dari awal ... akankah kehidupan menyisakan ruang bagi rasa penerimaan?

Elang memejamkan kedua manik hitam legamnya erat-erat. Baru beberapa minggu sejak hari pertaman masuk sekolah di Pertitas. Diam-diam, Elang menguraikan segala hal yang telah terjadi dengan gurat-gurat imajiner di kepala. Marah, sesal, kesal, sesak, kecewa ... Tuan Emosian, perseteruan, Nona Sok Bijaksana, tantangan di awal semester, juga tentang kata semesta yang disaksikan mentari di kaki langit.

Rasanya, garis-garis takdir itu tak lagi melaju ke arah yang salah. Tidak. Mungkin, sejatinya memang sudah seperti itu sedari awal. Kompas kehidupan Elang saja yang sempat kehilangan arah.

Masih lekat dalam ingatan, binar antusias dari bola sewarna cokelat terang yang dibasuh mega jingga kala itu memancarkan cahaya tak dikenal. Cahaya yang tak pernah Elang temui di spektrum gelombang elektromagnetik. Luminositas yang dipancarkannya tidaklah seberapa, tetapi fluks yang diterima Elang begitu besar, seolah kurva di kedua sudut bibir itu sukses memporakporandakan logika astrofisika yang pernah Elang pelajari di bangku SMP.

"Semesta cuma merenggut angkasamu, bukan sayapmu!"

Mata Elang terbuka. Tatapan itu masih tajam seperti biasa. Akan tetapi, kali ini, ada nyala yang telah lama sekali tak singgah di sana.

 Akan tetapi, kali ini, ada nyala yang telah lama sekali tak singgah di sana

Oops! Bu görüntü içerik kurallarımıza uymuyor. Yayımlamaya devam etmek için görüntüyü kaldırmayı ya da başka bir görüntü yüklemeyi deneyin.
Dia Pikir, Burung Tidak untuk Hidup di PalungHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin