32 ; Kompromi

53.8K 5.6K 729
                                    

TAK PERNAH GEMA berpikir bahwa suatu saat dia akan mengundang Gala ke tempat barunya dengan sukarela. Keputusan mengenai perceraian sudah teramat bulat. Namun, rangkaian kejadian dan alasan lain membawanya pada kondisi yang sekarang.

Gema menahan senyuman masam. Dia mengajak Gala ke ruang makan, mulai menata hidangan yang sudah kembali dipanaskan. Pria itu sempat menatap ragu selagi menawarkan bantuan. Gema hanya memintanya untuk ikut membawa perabotan makan. Masakan yang dibuat atas permintaan Rafa itu tersaji rapi beberapa saat kemudian.

Gema duduk di samping sang lelaki. Seperti rutinitas mereka dulu, Gema menuangkan makanan untuk sang suami, seolah sudah terbiasa untuk memenuhi peran sosial sebagai istri. Ketika menyadari Gala yang menatapnya, dia lantas mengerjap, lalu kembali menyerahkan piring di tangannya.

"Kurang banyak?" tanya Gema, terdengar ragu.

Gala menggeleng. Dia menerima uluran piring tersebut dan lanjut mengambil lauk sendiri.

Suaranya terdengar rendah ketika dia berucap, "Kukira kamu masih marah."

Gema kini memahami arti tatapan tadi.

"Aku nggak bisa terus-terusan marah," terangnya. Dia menarik kursi dan kembali duduk. Helai rambut disematkan ke belakang telinga. Dia menatap pria di sampingnya, melihat gurat lelah di wajahnya. "Akhir-akhir ini kamu sering lembur?"

Gala terdiam sesaat.

"Seperlunya aja."

"Bohong," tembak Gema langsung. Dia mengembuskan napas pelan. "Kamu 'kan gila kerja. Udah nggak ada orang di rumah pasti jadi lebih suka lembur."

Gema mulai menyuapkan makanan, kembali berbicara ketika selesai menelan.

"Aku sempat telepon asisten kamu tadi siang, mastiin kamu emang bisa datang," jelasnya. "Dia bilang kamu jarang pulang ke rumah."

Kini giliran Gala yang mengembuskan napas pendek.

"Adit ngomong apa aja?"

"Not much. Cuma tentang kamu yang jadi lebih moody dan ngantor tanpa kenal waktu," ungkap Gema. "Di rumah masih ada Hasna, Pak Asep, Pak Ridwan, sama tukang kebun. Kamu percayain rumah gitu aja ke mereka sampai yakin buat nggak pulang?"

"Pak Asep sama Pak Ridwan udah lama kerja buat aku, aku nggak mempertanyakan kejujuran mereka," terang Gala. "Akan lebih masalah juga buat mereka semisal melakukan hal yang buruk. Rumah itu nggak akan ke mana-mana. Selain itu," tambah Gala, dia menatap Gema. "Nggak ada alasan buatku pulang."

Gema menoleh.

"Karena nggak ada Rafa?"

"Nggak ada Rafa dan kamu," koreksi Gala.

Gema mengerling sesaat, tampak skeptis.

"Biasanya juga kamu pulang malam." Dia mengambil lauk lain dan mulai mencampurnya dengan nasi. "Kerjaan lebih penting buat kamu, 'kan?"

"Both are important, kerjaan dan keluarga," jelas Gala. "Dua-duanya tetap jadi tanggung jawabku."

Gema terdiam. Dia tersenyum masam dan kembali melanjutkan makan.

Detik jarum jam terdengar jelas di telinga. Mereka menyantap hidangan dalam diam, hingga Gema kembali berbicara.

"Gugatan ceraiku udah ditarik," ungkapnya tiba-tiba, terdengar sangat tenang. "Pagi tadi aku minta tolong ke pengacaraku. Surat pencabutan udah disampaikan ke pengadilan, tinggal nunggu kamu dan kuasa hukum kamu buat mengonfirmasi persetujuan. Sekarang mungkin lagi diproses."

Gala langsung menoleh, mengabaikan suapan terakhirnya.

"Kamu—apa?"

"Aku cabut gugatan cerainya," ulang Gema. Dia menarik napas pelan. "Ada banyak pertimbangan sampai aku memutuskan itu. Tapi, bukan berarti masalah kita selesai begitu aja. Ada banyak hal yang perlu kita perbaiki. Aku nggak mau kondisi kita kayak dulu lagi."

Gugat. [END - Telah Terbit]Where stories live. Discover now