16 ; Sebuah Surat

52.6K 5.3K 120
                                    

GEMA PERGI DARI rumah mereka dengan membawa Rafa.

Kali pertama Gala mendapati ketiadaannya, dia hanya menarik napas kasar, kemudian lanjut melakukan rutinitasnya yang biasa.

Perlawanan Gema terhadap hubungan mereka tidak akan bertahan lama. Gala tidak ambil pusing setelah mengetahui kepergian perempuan itu. Ancaman dan gertakan Gema jarang terealisasi. Gema kadang hanya membual agar Gala tidak macam-macam. Gala tahu, Gema adalah sosok yang nekat. Namun, dia juga sosok yang amat memperhatikan keselamatan orang-orang yang berharga buatnya. Selama ada Rafa, Gema takkan bertindak gegabah. Perempuan itu akan kembali setelah mengatasi kemarahannya. Gema akan kembali dan melanjutkan hidup bersamanya demi kelangsungan hidup putra mereka.

Bagaimanapun juga, Gema bukan orang yang akan mengorbankan kepentingan hidup orang lain hanya untuk kesenangannya. Gala sudah amat mengetahui kecenderungan itu.

Gema tidak akan mengorbankan Rafa demi perceraian mereka. Sejak awal, Gala sudah mempertimbangkan kehadiran seorang anak yang akan mempersulit keinginan Gema untuk berpisah. Surat pranikah itu takkan membuat Gema tinggal, berbeda dengan Rafa.

Rafa akan menggoyahkan keinginan egoisnya untuk pergi dari kehidupan Gala.

Gema tidak akan benar-benar menggugatnya.

Paling tidak, itulah yang selama ini Gala pikirkan. Dia tak pernah membayangkan kedatangan surat gugatan cerai dari pengadilan, surat gugatan yang diajukan oleh istrinya sendiri.

Surat undangan kehadiran sidang itu ditatap nanar.

Suara ketukan seseorang sedikit mengalihkan perhatiannya. Dia menoleh dan mempersilakan sosok di luar sana untuk masuk. Surat yang baru sekali dibaca itu telah kembali dilipat. Dia berdiri ketika mendapati kehadiran adiknya, Nareswara Caturangga.

Lelaki dengan usia empat tahun lebih muda darinya itu merangsek masuk. Sebelum sempat dipersilakan, dia sudah duduk dengan leluasa di sofa, sama sekali tak memperlihatkan sikap segan terhadap kakaknya.

Gala menatapnya sesaat sebelum beranjak untuk menghampiri Nares. Suaranya terdengar monoton ketika berucap, "Kenapa harus ke sini? Bukannya udah dibilang buat ngomong lewat Adit?"

Nares berdecak ketika mendengarnya.

"Ribet. Mendingan gue langsung konsul ke elo."

Gala duduk di hadapan Nares. Dia melipat sebelah kakinya ke kaki yang lain. Sorot matanya tampak pasif, tidak peduli, seperti biasa.

"Masih tentang LMT, 'kan?" tembak Gala. "Gue udah denger, lo kalah tender."

Nares langsung berdecih, terlihat begitu muak.

"Lagi untung aja 'tu anak. Ide yang diajukan padahal masih mentah, cuma ide amatir anak magang. Asesor sekarang udah nggak bisa menilai barang bagus sama sampah."

"Nggak bisa menilai atau nggak bisa lo suap dengan mudah?" tanya Gala blak-blakan. Nares mengerutkan kening tidak suka ketika mendengarnya. Gala tak begitu memedulikan reaksi itu. Dia melipat kedua tangannya di depan dada. "Kalau udah gini, lo mau apa?"

"Gue mau Prasada," tandasnya. "Gue harus dapet Prasada."

Gala menatapnya sedetik, dua detik.

"Kinerja lo udah bener?" tanyanya lagi. "Tahun kemarin udah bisa dapet profit?"

Nares kembali berdecak.

"Gue bukan lagi ngomongin profit—"

"Investor di LMT udah pada kabur gara-gara lo nggak becus mengelola perusahaan," komentar Gala. "Yang harus lo lakukan itu minta saran ke gue, gimana cara balikin sumber-sumber duit itu, bukan minta hambur-hamburin duit lagi." Gala menatap Nares lurus-lurus. "Mau sebanyak apa pun perusahaan yang lo punya, semua itu nggak ada nilainya kalau lo selalu rugi waktu tutup buku."

Gugat. [END - Telah Terbit]Where stories live. Discover now