28 ; Guncangan

44.8K 5K 230
                                    

BUNGKAM DAN TERUS menyembunyikan masalah dalam pernikahannya tidaklah baik. Keseriusan untuk membawa urusan pernikahan ke pengadilan semakin menyudutkan Gema untuk buka suara pada kedua orang tua. Rasa tanggung jawab untuk menjadi lebih terbuka kepada ayah dan ibu meyakinkan Gema untuk kembali ke Semarang. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa pemberitahuan—yang bahkan belum terucap secara langsung—mengenai perceraiannya dengan sang suami dapat membawa petaka seperti ini.

Kekalutan sang ibu masih terngiang. Nada kecewa yang bercampur dengan frustrasi masih membayangi. Gema belum mencoba menjelaskan. Dia baru berujar bahwa keputusannya didasarkan pada setumpuk alasan. Ujaran tersebut belum sepenuhnya tersampaikan ketika ibunya mencengkeram dada keras-keras dan langsung jatuh pingsan.

Rasa lelah dan kesal yang memenuhi kepala langsung terganti dengan ketakutan. Gema tahu, ibunya memiliki sederet riwayat penyakit kronis. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa sang ibu akan sampai terpicu hingga kolaps seperti ini. Ketakutan dan kekhawatiran serasa mencekiknya.

Gema langsung membantu sang ayah untuk mengeluarkan mobil. Orang-orang di rumah neneknya sampai ikut terperanjat ketika menyaksikan kejadian itu. Paman dan bibinya sempat ingin ikut mengantar ke rumah sakit, Gema meminta mereka tinggal karena di rumah itu masih ada sang nenek yang tidak dalam kondisi sehat. Dia juga menitipkan Rafa yang sedang terlelap.

Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Gema terus merapalkan doa. Dia bukan sosok yang dekat dengan Tuhan. Namun, untuk masalah sang bunda, dia kembali diingatkan bahwa nyawa tiap orang memang ada di tangan-Nya.

Rasa bersalah menusuk dada. Gema tak kuasa untuk menekan pikiran, kalau saja dia tidak bercerita, kalau saja dia tak mencoba memberi tahu ibunya ....

Pemicu serangan jantung itu jelas-jelas karenanya, karena keinginan egoisnya. Kalau saja dia memilih waktu yang lebih tepat untuk berbicara, petaka ini takkan menghampiri mereka.

Kedua mata memanas.

Rumah sakit pertama tak dapat menerima pasien karena ruang UGD yang penuh oleh korban kecelakaan yang baru saja datang. Sang ayah perlu berputar balik untuk mengunjungi rumah sakit swasta yang jaraknya cukup jauh dari tempat mereka berada. Waktu yang terbuang di perjalanan semakin meredupkan harapan.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, baru sekarang dia merasakan ketakutan sebesar ini.

Dia dan sang bunda memang sering berbeda pendapat. Ibunya juga tak dapat dia jadikan tempat untuk mengadu. Walau begitu, bukan berarti Gema tak menyayanginya, bukan berarti dia akan baik-baik saja tanpanya.

Ibu tetap berharga untuk Gema. Dia yang memberi kasih sayang yang tak dia dapatkan dari sang ayah kandung. Dia yang menopang kehidupan mereka ketika memilih lepas dari ayahnya yang bajingan.

Hubungannya dengan sang ibu memang tak selalu bagus. Namun, rasa sayang sang ibu teramat tulus, sebuah sumber kekuatan yang tak akan Gema dapatkan dari orang lain, apalagi pasangannya yang sekarang.

Panas air mata itu mengalir menjatuhi pipi. Gema mengusapnya kasar ketika mereka sampai di tempat tujuan. Ayah membantu menggendong ibunya sementara Gema menghampiri petugas rumah sakit. Kasur dorong langsung dikeluarkan dari ruang gawat darurat. Ayah menidurkan istrinya di sana. Dia dan Gema langsung mengikuti para pegawai rumah sakit menuju ruang pemeriksaan darurat, berjalan cepat selagi memberi informasi singkat terkait kondisi pasien.

Pintu yang ditutup menjadi batas langkah Gema untuk terus menemani ibunya. Dia memandang nanar pintu berwarna putih itu. Ketakutan dan rasa bersalah masih menyesakkan dada. Tatapan sang ayah membuatnya menarik napas pelan dan mencoba menahan desakan air mata.

"Gema ke loket pendaftaran dulu," tuturnya, tak ingin semakin terlihat menyedihkan di hadapan sang ayah tiri.

Santoso menahannya, mencoba menenangkannya. Akan tetapi, Gema tampak terlalu tangguh untuk hanya sekadar ditenangkan. Anak sulungnya ini memang dilanda kesedihan. Namun, dia tampak ingin menyembunyikannya karena tak ingin semakin membebani. Santoso ingin Gema lebih melonggarkan diri dan tak terlalu keras pada diri sendiri. Namun, ujaran untuk membuatnya lebih terbuka bisa saja malah menyakitinya. Untuk itu, Santoso hanya mengangguk. Dia membiarkan Gema mendapatkan waktu sendiri untuk menghadapi situasi sulit ini.

Gugat. [END - Telah Terbit]Where stories live. Discover now