V

383 44 10
                                    

Dalam tidurnya, Raia banyak mengigau dan gelisah, Theo berkali-kali menepuk bahunya lembut untuk menenangkan. Hingga akhirnya Raia mulai terisak Theo tidak punya pilihan selain membangunkan putranya.

"Dek?"

Theo kembali mengguncang lembut bahu Raia.

"Adek! Hei bangun... Sayang kenapa?!"

Raia membuka mata, genangan di sudutnya perlahan mengalir deras. Ia spontan meneriakkan nama Taiga, menoleh kiri kanan mencari keberadaan abangnya. Hanya Theo yang ada di sana bersamanya, tangisnya kini tersedu hingga napasnya kembali berat, Raia terus memanggil-manggil Taiga. Theo sibuk menenangkan tanpa bertanya, ia khawatir tangisan Raia justru membuatnya semakin sesak.

"Shuut hey! Tenang yuk?"

Raia tampak menuli, ia tidak menghiraukan Theo.

"Dek dengerin papah, kamu tenang dulu!"

Raia terkejut, suara Theo cukup keras untuk menegurnya. Raia kini terdiam, namun sedetik kemudian ia mulai mengerti kenapa Theo menghentikannya. Ia gelagapan mencari udara yang sejak tadi ia lupakan. Kini Raia bisa merasakan gerayang panas dari perut yang menjalar memenuhi rongga dadanya, ia bahkan tidak mampu mengeluarkan suara. Nafasnya tercekat, tangannya lemah meraih kemeja Theo mencari pertolongan. Kini Raia bimbang, mana yang harus ia lakukan terlebih dahulu, meraup udara sebanyak mungkin atau membiarkan dirinya kehilangan kesadaran saja.

"Pelan-pelan dek, ikutin papah..."

Theo dengan telaten membimbing Raia agar bisa bernapas perlahan tidak lupa ia membenarkan sungkup yang miring akibat amukan Raia barusan. Raia bisa mengikuti namun tampaknya masih belum cukup, Theo duduk di samping bed merangkul Raia pada posisi duduk dan mengulang instruksinya. Setelah belasan menit, barulah Raia tampak tenang. Theo membaringkannya perlahan, Raia kembali menangis namun tidak mengamuk.

"Paah..."

Theo membungkuk, mendekatkan wajahnya pada Raia agar ia bisa mendengar jelas permintaan putranya.

"Abangh"

Theo paham, Raia mungkin saja bermimpi buruk tentang Taiga. Ia membelai rambut lepek penuh keringat itu, menatanya rapi di belakang telinga Raia.

"Abang masih di rumah sayang..."

Theo menahan kalimatnya, setelah memastikan tidak ada bantahan ia melanjutkan.

"Tadi baru pulang sama mamah... Abang kamu nggak tidur semalaman nungguin kamu, nanti malem baru ke sini lagi sama mamah... Adek istirahat aja ya"

Masih terisak, Raia pelan-pelan memejam. Ia berharap bisa segera bertemu dengan Taiga, entah mengapa Raia tiba-tiba merindukan sosoknya. Bagi Raia mimpi singkat itu terlalu mengerikan untuk disaksikan.



🍉🍉🍉



"Eh mbak! Baru dateng juga?"

Hanna segera merangkul Pavetta yang tiba di depan pagar bersamaan dengannya, sedangkan Taiga tetap melanjutkan memarkir mobil.

"Baru aja Han, dari mana? Sikembar masih di sekolah ya? Aku kangen manjanya Raia deh..."

Pavetta balas merangkul Hanna, ia tampak sumringah, Pavetta bicara seolah tidak sabar ingin bertemu putra-putri temannya itu.

"Masuk dulu yuk mbak..."

Pavetta berjalan di samping Hanna, langkahnya ringan seperti tanpa beban.

TERRARIUMWhere stories live. Discover now