F

1K 97 2
                                    

Pagi itu keluarga kecil Buamana sedang berkumpul di meja makan, bahkan Taiga sudah bisa ikut bergabung. Anak sulung keluarga itu sudah sehat sekarang. Empat orang yang hadir di sana sedang menunggu seorang Raia yang katanya akan meyusul sebentar lagi setelah tadi dipanggil oleh Jenta.

Raia masih belum diberitahu jika penantiannya yang membosankan sudah berakhir. “Hari ini kamu pergi sama siapa dek? Mau abang antar nggak?” Taiga membuka bicara dengan menawari Jenta, suaranya sudah tidak sengau. “Abang baru aja sembuh, aku maunya abang istirahat dulu…lagi pula aku ikut papah kok, iyakan pah? ” pertanyaan Jenta dijawab anggukan mantap oleh sang kepala keluarga.

“Iya Ga, nanti Jenta ikut papah soalnya papah sekalian ada urusan di Sana… ” Theo tidak menyelesaikan kalimatnya, ia hanya tersenyum membayangkan wajah bahagia Taiga dan Raia setelah mendengar berita yang akan segera ia sampaikan ini.

Hana sendiri sudah tahu, itulah sebabnya ia hanya diam sambil mengulum senyum selagi menyajikan makanan. Ia akan memberi suaminya kesempatan untuk bicara lebih banyak terkait keputusan berat ini.
“Urusan? Kamu nggak papa kan dek?” bukannya curiga akan Raia, Taiga malah menghawatirkan keadaan Jenta.

Ia takut adiknya mengalami masalah di sekolah  elit itu. Yah, itu memang bukan sekolah yang buruk. Siswa di sana pun tidak pernah terlibat dalam hal kekerasan di dalam maupun luar sekolah, SMA St. Mikael adalah sekolah yang terkenal menjunjung toleransi dan kesetaraan yang tinggi. St. Mikael tidak dikatakan sekolah elit  hanya  karena menampung siswa  kaya semata ataupun karena biaya sekolah yang mahal.

Di sekolah ini, siswa dapat membayar  biaya sekolah berdasarkan kemampuan orang tua. Kendati demikian, sekolah ini tetap dapat menyediakan gedung dan fasilitas terbaik, hal ini karena SMA St. Mikael secara rutin menerima dana dari beberapa donatur yang memiliki tujuan sama. Yaitu, menyediakan sekolah elit  yang berkualitas bagi siswa dari segala tingkatan ekonomi.
Berdasarkan cerita Jenta, selama ini memang tidak pernah terdengar ada masalah diantara siswa, khususnya pembulian.

Hanya saja Taiga sedikit khawatir karena kemarin katanya nilai evaluasi adiknya itu sedikit menurun. Biasanya Jenta selalu melewati evaluasi ataupun ujian dengan sempurna sejak sekolah dasar, hal itu pula yang membuat Jenta bisa mengikuti tes akselerasi dan melewati beberapa semester dengan cepat. Kini ia sudah kelas 2 SMA sedangkan Raia baru akan menyusul jenjang SMA, masih dengan Homeschooling tentunya.

“Aku nggak ada masalah kok, Abang tenang aja… nggak usah hawatir  oke?!” Jenta membuat simbol dengan tangan kanannya untuk meyakinkan Taiga, raut wajah sang Abang memperlihatkan kalau saat ini Taiga benar-benar menghawatirkannya.

“Mas…” Melihat itu, Hana bermaksud untuk meminta suaminya ikut menenangkan Taiga, putra sulungnya itu sepertinya salah faham.”Taiga, bukan gi-“  belum juga Theo sempat ikut campur, teriakan melengking mengagetkan semua yang ada di meja makan dan memaksa semuanya mengarahkan pandangan pada sumber suara.

“Bang Taigaaaaaaa!” setelah memekik dan melompat kegirangan, Raia yang berdiri agak jauh dari meja makan itu berlari menuju Taiga dengan brutal. Tidak membiarkan itu, Taiga segera berdiri dan berlari cepat menghampiri Raia. Bocah itu tidak boleh berlari! Bagaimana dia bisa melupakan hal penting seperti itu hanya karena kegembiraannya saat melihat Taiga ada di meja makan.

“RAIA JANGAN LARI!”

“KAKA JANGAN LARI!”

“SAYANG JANGAN LARI!”

Teriak Theo, Jenta, dan Hana bersamaan. Mereka tidak menyangka jika Raia akan bereaksi seperti ini setelah seminggu lebih berpisah kamar karena Taiga sakit. “Adek! Kamu nggak papa?” Taiga memeluk erat Raia untuk mengehentikannya saat berlari, tubuh keduanya sedikit bertabrakan namun mampu diseimbangkan oleh Taiga.  Lari adalah hal berbahaya bagi Raia dan ia hapal diluar kepala akan pantangannya yang satu itu.

Namun, gejolak di dadanya saat ini tidak mampu ia kendalikan.
Setelah melewati banyak hari tanpa Taiga, ia merasa rindunya memuncak saat melihat punggung kokoh abangnya itu. “ah… Hah… hah” alih-alih menjawab, Raia justru bernapas dengan terengah. Raut terkejutnya jelas tergambar bersama kerutan dalam di dahinya “Duduk dulu sayang, Raia tenang dulu” Hana mendekati dua saudara itu dan membiarkan Taiga untuk membimbing Raia mendekati meja makan, Hana menarik satu kursi kosong untuk Raia. Ia segera mengambil inhaler  dari laci kitchen set , benda itu selalu ada di sana untuk berjaga-jaga jika Raia membutuhkannya seperti sekarang ini.

Raia mulai terbatuk
semakin keras. Hana menyerahkan benda itu pada Taiga agar Raia bisa segera menggunakan inhalernya dibantu Taiga. “Ini bang!” Taiga memberikan satu semprotan setelah mengocoknya lalu memberi jeda sebentar sebelum memberi semprotan kedua. Selanjutnya Taiga membiarkan obat itu bekerja, ia kemudian mengocok inhaler itu lagi untuk berjaga-jaga jika Raia masih membutuhkannya.

Sementara itu, Theo berdiri dengan lututnya  di samping kursi Raia sambil mengelus pelan dada putraya itu. dari sana bisa Theo rasakan detak jantung Raia yang cepat tidak beraturan.”Raia tenang ya nak, atur napasnya”  Ia terus membisikan kata-kata itu agar Raia mampu mengontrol napasnya.

“Gimana kak?” Jenta bertanya dari balik badan Taiga, ia yang paling terkejut. Jenta paling tidak tega melihat Raia seperti ini, ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang dihempaskan hingga remuk menjadi kepingan. Tangannya gemetar sambil memegangi air hangat yang ia siapkan untuk Raia.

Setelah sedikit tenang, barulah Raia berani bicara. “Mah… af” Raia menunduk, ada penyesalan yang sedang ia tanggung dan saat ini ia belum mampu menyampaikan maaf dengan benar. Jujur saja, ia masih merasakan sesak karena detak jantungnya yang begitu cepat. Sesaat yang lalu, Raia belum berlari terlalu jauh karena Taiga lebih dulu menghentikannya. Raia seperti ini karena terkejut sekaligus terlalu senang saat melihat Taiga.

Bagaimanapun, ia sudah sangat merindukan sang abang. Di samping itu, Raia juga sangat menghawatirkan Taiga yang membutuhkan waktu cukup lama untuk kembali sehat seperti ini.

“Raia ke kamar lagi aja ya sayang… istirahat dulu” spontan Raia menatap wajah Hana yang berada di seberang meja makan. Dari tatapan memelas itu Hana tahu apa yang sedang dirasakan putranya. “Ayo dek! Abang  gendong” Taiga sudah siap menyodorkan punggungnya di depan Raia.

Tapi anak itu masih bergeming menatap Hana. “Nggak papa sayang, kamu nggak mengacaukan apapun… istirahat dulu aja ya” kali ini Theo yang bicara, ia tau jika saat ini putranya itu sedang menyalahkan dirinya karena membuat keributan pagi-pagi sekali. “Mah, aku makannya di kamar aja bareng adek” Taiga menggendong Raia dengan hati-hati, langkahnya tegap menaiki satu-satu tangga menuju kamarnya dan Raia.

“Iya sayang, nanti mamah antar makanan buat kalian” Hana menatapi punggung keduanya penuh hawatir, ia harus meminta maaf pada Raia karena tadi meneriakinya. Meski itu untuk kebaikan Raia sendiri, Hana tetap merasa bersalah. Tidak hanya Hana, Theo dan Jentapun merasakan hal yang sama. Seisi rumah itu tau jika Raia mudah kaget dan itu bukan hal yang baik untuk kelangsungan hidupnya, sebab itulah Theo membangun mansion Buamana jauh di pedesaan untuk menghindari bising. Namun hari ini mereka semua meneriaki Raia. Apapun alasan baik dibaliknya, hal itu tetap saja menyakiti putra berharga mereka.











Nanti lagi yes😁🤗

Aku sangat menantikan kritik dan saran kalian🤭

TERRARIUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang