G

917 96 22
                                    

"Rai lu apaan sih! Ngerepotin gue tau nggak" Taiga bicara dengan nada tegas yang dipelankan, takut jika ada yang menyusul tanpa ia sadari "Gue baru sembuh udah harus gendong lu, naik tangga segala lagi" Taiga masih melanjutkan bicaranya, sesekali ia melirik ke arah pintu untuk memastikan ketika ada yang datang maka orang itu melihat ia sedang membantu Raia mengenakan selang oksigennya.

"Mah... af" Ada banyak sekali yang ingin Raia sampaikan, tapi ia belum bisa bicara. Bernapas saja ia kewalahan. "Nebunya butuh gue yang siapin nggak nih?" dan dijawab gelengan oleh Raia, Taiga menatapnya malas. "Gue tau lu harus nunjukin drama di depan semua orang, tapi ya jangan sampai nyusahin gue lah. Lagian lu alay banget sampe harus kambuh gini. Sumpah lu ngerepotin tau nggak?" Taiga berbisik setelah ia menarik Raia kedalam pelukannya, ia mendengar suara langkah kaki mendekat dan harus menyiapkan scene selanjutnya.

"Balas pelukan gue, itu mamah sama papah" Taiga memperketat pelukannya pada Raia, anak itupun membalasnya. Taiga memeluknya terlalu kencang hingga membuat dadanya semakin sesak, ia bisa merasakan kemarahan Taiga dari sana. Raia terbatuk beberapa kali namun Taiga mengabaikannya, tidak lama pintu terbuka menampilkan Theo disusul Hana dan Jenta yang membawa sarapan untuk mereka berdua.

Taiga melepaskan pelukannya kemudian berpindah tempat ke belakang Raia, ia membiarkan Raia bersandar padanya lalu mengusap lembut dada Raia sambil mengucapkan kata-kata penenang. Raia sungguh muak.

Tiga orang lainnya mendekat, Theo segera mengambil beberapa alat untuk memeriksa saturasi dan tekanan darah Raia. 85% dan 140/90, Theo meraba dada putranya yang berdebar hebat. Ia segera meminta Hana menyiapkan obat- obatan, Theo langsung memberikannya pada Raia dan ditelan dengan baik, Jenta masih berdiri di ujung ranjang memperhatikan gerakan orang-orang yang sudah terbiasa itu dengan cekatan. Jenta belum mampu, rasa bersalah dan empaty membuatnya tidak bisa bergerak dalam situasi ini. Ia hanya bisa berdoa tanpa melepaskan mata dari saudara kembarnya yang kepayahan mempertahankan nyawa.

"Kak saturasinya jelek banget? Kamu kambuh sejak kapan?" Theo hanya merasa janggal, angka serendah itu biasanya terjadi kalau Raia sudah kambuh 1 atau 2 jam. "Papah kan udah bilang, kalo Raia sakit ngomong kak. Jangan di tahan-tahan, kondisi kamu harus dijaga bener ini" Raia masih tidak menjawab, Theo memandangi Hana berharap istrinya itu dapat mengatakan sesuatu untuk menegur amarahnya. Ia takut bereaksi berlebihan sedangkan ia tahu bukan omelan yang Raia butuhkan saat ini.

Hana mengerti suaminya, ia kemudian mengajak Theo dan Jenta keluar. Menyerahkan Raia kembali pada Taiga, Hana bisa mengandalkan Taiga. Semua orang tau itu. "Sayang tahan dulu, biar Raia istirahat yah. Kamu juga harus nganter Jenta, Raia biar sama Taiga dulu" Theo menurut, mereka bertiga meninggalkan kamar Raia. "Maafin papah ya" Theo mengecup kening Raia sebelum meninggalkan mereka berdua, ia menyesal karna menaikan nada bicaranya.

🍉🍉🍉

Taiga masih pada posisinya, kini hanya tinggal ia dan Raia di kamar itu. Bisa ia rasakan detak cepat jantung Raia yang tidak terlalu kuat menembus punggung ringkih yang menempel didadanya itu, Raia tidak bicara sepatah katapun. Hanya ada bising dari mesin nebulizer yang menyembunyikan siulan napas Raia, anak itu bahkan kini sudah tidak mampu duduk tegak sendiri. Ia bersandar sepenuhnya pada Taiga, seolah tidak perduli jika Taiga mengambil kesempatan itu untuk menutup mulutnya untuk selama-lamanya.

Taiga pun tidak mengatakan atau melakukan apapun, ia tetap pada posisi yang sama hingga menyadari Raia tertidur. Padahal terapinya belum selesai. Taiga menyingkir, membiarkan Raia bersandar pada tumpukan bantal yang ia susun.

Taiga melepas masker nebu lalu menggantinya dengan selang oksigen. Beberapa saat yang lalu ia sempat mengecek jendela kamar Raia karena takut jika Hana atau bi Suci menemukan sesuatu di sana, dari situlah ia tahu Raia pasti tidak tidur. Anak itu pasti sudah membereskan kekacauan yang ia buat semalam, untuk saat ini ia akan membiarkan Raia. Lagi pula ia tidak bisa melakukan apapun pada Raia jika masih ada orang lain di rumah itu.

Tidak lama, Hana datang untuk mengecek keadaan kedua putranya. Ia memutuskan untuk berjaga di sana dan menyuruh Taiga makan lalu membereskan barang-barangnya untuk bersiap kembali tidur bersama Raia. Ia mengatakan pada Taiga bahwa Raia sangat merindukannya dan tidak sabar menunggu abangnya itu kembali tidur bersamanya, Hana juga bilang Raia pasti akan sangat senang jika ketika bangun nanti Taiga sudah kembali sekamar dengannya.

Taiga tersenyum mengiyakan perkataan mamahnya itu, tentu tidak siapapun menyadari sudut aneh di bibirnya. Hanya Taiga yang tahu betapa adik kecilnya itu sangat membenci dirinya dan fakta kelam yang mereka sembunyikan bersama.







Nanti lagi yaa...😬

TERRARIUMHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin