D

1.2K 107 4
                                    

"Hhah… ah…achim” 

Taiga menutup mulut dan hidungnya rapat dengan tisu yang sejak tadi ia genggam.  jika tidak hati-hati, ia bisa saja menularkan sakitnya pada Raia dan akan berakibat fatal bagi adik lelakinya itu. “Ini sayang, obatnya diminum dulu” Taiga mengangguk sembari menerima uluran segelas air minum dan dua butir obat dari Hana, sosok lembut itu sudah Taiga anggap seperti ibu kandung sendiri begitupula dengan Hana yang mencintai Taiga dengan tulus. Baginya Taiga adalah Putra pertama  sekaligus kakak tertua bagi Raia dan Jenta.

“Makasih mah… oh iya,   Raia  gimana? Dia aman kan?”  Taiga membuang tisu yang tadi ia gunakan ke tempat sampah kecil disamping ranjang. Tisu itu sudah agak basah.
“Adik kamu nggak papa sayang, malam ini biar mamah yang temenin Raia. Kamu istirahat aja ya… cepat sembuh sayang” Hana mengecup kening Taiga lalu menaikan selimut setinggi lehernya, Hana dapat merasakan hawa panas dari tubuh putranya itu.  Setelah memastikan Taiga tertidur lelap ia kembali ke kamarnya untuk mandi, karena setelah ini ia akan mengantarkan makan malam untuk Raia.

🍉🍉🍉

“Jen!” Raia memanggil nama itu dengan suara sedikit lebih tinggi dari sebelumnya dan kali inipun hanya dijawab deheman dari sang adik. Raia sedikit kesal, terlintas keinginan untuk menjitak jidat Jenta yang tengah mengabaikannya. Namun bayangan akan kemarahan Jenta membuatnya urung. Ia hanya kembali menarik selimutnya dan berbaring dengan tenang sambil memperhatikan si bungsu yang tengah duduk di sisi ranjangnya. Anak itu sedang bermain game online dan sudah mewanti-wanti Raia untuk tidak mengajaknya bicara.

Sudah dua hari sejak Raia pulang dari rumah sakit, dan harus beristirahat total ditempat tidur membuat  Raia  begitu bosan. di temani oleh Jenta bukanlah ide yang bagus. Meski bersama Jenta sepanjang haripun Raia akan tetap merasa seperti sedang sendirian, bagi Jenta memecahkan segala misteri dikepala Raia adalah hal konyol yang merepotkan. Berbeda dengan Taiga yang akan dengan senang hati meladeninya mengobrol, menemaninya bermain monopoli sampai bangkrut atau bahkan hanya sekedar menjawab  pertanyaan-pertanyaan anehnya dengan serius. sudah hampir seminggu ini ia harus berpisah dengan sosok itu karna Taiga sedang Flu.

“Haah…” Raia menghela nafas karena bosan dan mengundang spontanitas dari sesosok makhluk yang sejak tadi ada di sana namun terasa  seperti tidak ada.  Kaka!” Jenta memekik sambil melempar pelan hpnya ke sembarang tempat, ia beringsut mendekati Raia sambil mengamati pergerakan dada lelaki itu, ada sedikit penyesalan yang menggerayangi Jenta. Sudah beberapa kali Raia memanggilnya namun ia terlalu acuh untuk bermain game sendirian, bisa saja sejak tadi Raia sedang merasa tdak sehat atau bahkan anak itu sedang sesak.

Brak!

Bersamaan dengan suara  benturan benda yang menghantam lantai dan teriakan Jenta, pintu terbuka setengah dibanting. Sosok Hana muncul sambil berlari tergopoh menghampiri kedua buah hatinya. Di tangannya membawa nampan berisi makan malam untuk sang putra. “Jen, Aku nggak papa okay!… “ mendengar itu Jenta dan Hana merasa  lega, keduanya menarik dan menghembuskan napas panjang untuk membantu mereka menenangkan diri. Hana sempat berpikir apakah Raia menyembunyikan sesaknya, setelah menaruh nampan di nakas. Ia mengambil sebuah alat dari dalam laci lalu memasangnya di salah satu jari Raia. Setelah beberapa detik muncul angka 92% dari alat bermonitor kecil itu.

“Aku beneran nggak papa mah… Sorry ya bikin kaget ehe” Raia kembali menegaskan kondisinya sambil cengengesan, Hana pun menyerah. Angka yang ditujukan alat itu memang tergolong rendah untuk orang pada umumnya, namun bagi Raia itu bisa dikatakan sangat  bagus. “Oke sayang, maaf ya, mamah cuma hawatir” Hana kembali memasukkan tangan Raia ke dalam selimut.

“Trus tadi kaka kenapa?” Ada Jenta yang menuntut penjelasan, jantungnya sempat berpacu karena ulah Raia. Ia tidak akan puas jika kakanya itu hanya bercanda. “Aku bosan, Jenta main game terus mah” Raia mencebikkan bibirnya manja, seketika Hana melayangkan tatapan menyelidik pada anak bungsunya.
Sorry” si pemilik suara mengulum bibirnya. Berusaha membuat ekspresi semenyesal mungkin agar dua orang didepannya itu mau memaafkannya.

TERRARIUMWhere stories live. Discover now