T

433 54 6
                                    

Raia memasukan beberapa buku paket ke dalam ranselnya, ruangan kamar yang luas itu begitu sepi tidak seperti biasa. Ada Taiga yang duduk di sana, di tepi kasur miliknya sedang mengutak-atik layar handphone sambil menimbang-nimbang bagaimana ia akan bersikap pada Raia hari ini.

"Abang ayok!"

Taiga berhenti sebentar, melirik Raia sekilas lalu segera berdiri meraih tas berat milik adiknya itu. Raia tampak lelah namun Taiga belum ada niat untuk mengajaknya bicara. Di belakangnya, Raia menyusul sambil menggendong o2 concentratornya di punggung.

Hingga keduanya sudah masuk ke mobil dan perjalanan ke sekolah hampir sampai pun mereka tidak saling bicara, Raia segan jika harus kembali memulai, ia khawatir Taiga akan lebih marah dan mungkin saja akan meninggalkannya di jalanan. Meski Raia yakin abangnya itu tidak akan berbuat terlalu jauh, tapi tetap saja ia tidak tahu sisi Taiga mana yang sedang ia hadapi kali ini.


🍉🍉🍉


Gerbang besar St. Mikael Sudah terlihat, Raia mulai memungut barang-barangnya.

"Udah nanti gw yang beresin, lu istirahat aja"

Raia menghentikan kegiatannya, ia membalikkan badan ragu-ragu. Raia sudah cukup lama mengumpulkan keberanian untuk membahas kejadian kemaren pada Taiga.

"Aku minta maaf ya, aku janji nggak bakal bikin Abang khawatir lagi"

"Iya"

Taiga bahkan tidak mengalihkan pandangan dari jalanan di depannya. Cowok itu dengan mahir memarkirkan mobil lalu membuka pintu untuk Raia, ia meraih tangan Raia membantunya turun lalu membawakan tas hingga ke dalam kelas. Ini sudah dilakukan Taiga sejak hari pertama Raia sekolah.

Tidak dapat dipungkiri, meski selama ini Raia tidak pernah mengeluhkan apapun terkait kehidupan sekolahnya, Taiga tetap merasakan khawatir dengan hiruk pikuk aneh setiap kali ia mengantar adiknya itu. Sesekali ia masih mendengar bisikan halus yang mengatai adiknya bocil, manja dan sebagainya. Namun untuk Taiga, mereka akan tetap aman selama suara pekak memuakan itu tidak sampai ketelinga Raia.

"Belajarnya yang rajin ya, Abang ke kampus dulu"

Raia tersenyum, ia tahu Taiga sudah tidak marah padanya. Sebenarnya ia ingin memeluk Taiga tapi sang abang sudah lama berbalik dan kini punggungnya sudah semakin jauh

"Makasih abang" gumamnya


🍉🍉🍉

Taiga tidak bisa fokus, kendati sekarang ia sedang duduk bersama temannya di taman kampus namun pikirannya terus terpaku pada Raia. Taiga merasa bersalah, ia tidak seharusnya sekasar itu pada adiknya

"Ga?"

"Taiga!?"

Panggilan Damian mengagetkannya

"Ngelamunin apa? Di rumah ada masalah?"

Taiga hanya tersenyum kikuk, melirik jamnya lama lalu berdiri dan menepuk bahu damian

"Aku cabut dulu, nanti sisa tugasnya aku kelarin sendiri di rumah... Raia bentar lagi pulang nih"

Damian sedikit cemberut namun kemudian segera mengangguk, toh ia tidak merasa dirugikan sedikitpun dan Taiga sudah berjanji akan menyelesaikan sisa tugas mereka, maka tidak akan ada masalah. Bagi Damian, Taiga adalah lelaki yang dapat dipegang omongannya. Belum lagi Damian cukup lama mengenal Taiga, ia tahu bahwa Raia adalah pusat dunianya. Damian memakluminya begitu saja.

Seiring dengan pergerakan Taiga yang tergesa, ia mendapat telpon dan tergesa pula menutupnya. Ia segera berlari kencang entah kemana dan melupakan segalanya di sana. Damian tidak sempat bertanya karena Taiga meninggalkannya begitu saja



TERRARIUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang